Thomas Robert Malthus tahun 1798 telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman karena ketidakmampuan penyediaan pangan memadai bagi penduduknya. Teori Malthus ringkasnya menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan.
Setelah sekian lama berlalu dengan berbagai dinamika inovasi teknologi pangan dan pengendalian penduduk, ekonom terkemuka Jeffrey D Sach (Scientific American, 2008) masih mengajukan pertanyaan besar apakah benar kita telah mengalahkan Perangkap Malthus? Waktu dua abad pun belum bisa meyakinkan kita akan jawaban tersebut.
Penduduk dan Kebutuhan Pangan
Jumlah penduduk dunia senantiasa tumbuh. US Census Bureau memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasific saja mencapai 4 miliar. India dan China menyumbang lebih dari 2 miliar. Indonesia juga berkontribusi besar dengan jumlah penduduk yang mendekati seperempat miliar jiwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia dipandang cukup sukses dalam implementasi program keluarga berencana (KB) yang diintroduksi sejak 1968. Secara nasional tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan dari 2,31 persen pada tahun 1970-an menjadi 1,49 persen tahun 2000-an.
Angka pertumbuhan penduduk yang telah dicapai tersebut dipandang masih belum cukup jika dikaitkan dengan total penduduk nasional. Selain itu, pasca reformasi dan implementasi otonomi daerah, kebijakan program KB berada dalam otoritas daerah.
Pada banyak kasus cenderung mengalami stagnasi bahkan menurun karena rendahnya concern birokrasi dan legislasi lokal pada masalah kependudukan. Jika hal ini terabaikan maka bukan tidak mungkin gejala ledakan penduduk akan terjadi dan berdampak sosial ekonomi yang lebih rumit dan membahayakan.
Menggunakan pendekatan pertumbuhan penduduk sepuluh tahun terakhir (1990-2000) sebesar 1,49 persen (BPS, 2009), dan data terakhir kependudukan tahun 2007 sebesar 225 juta jiwa, secara sederhana dapat dikalkulasi bahwa setiap tahun ada penambahan penduduk 3,35 juta jiwa.
Besarnya jumlah penduduk terkait langsung dengan penyediaan pangan. Konsumsi pangan utama sumber karbohidrat adalah beras. Sebagaimana dilaporkan Pasandaran, sejak tahun 1970-1990 konsumsi beras per kapita per tahun meningkat nyata yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980)ย menjadi 149 kg (1990). Meskipun setelah tahun 1990, komsumsi beras sedikit menurun namun dipandang masih cukup besar yaitu 114 kg/ orang/ tahun pada tahun 2000 (BPS). Rerata konsumsi per kapita ini merupakan yang terbesar di dunia.
Ketidakmampuan menyediakan pangan pokok yang ditandai dengan besarnya impor beras beberapa saat lalu menjadi pertanda yang serius bagi kita agar memiliki perhatian pada persoalan kependudukan dan penyediaan pangan.
Produksi Pangan dan Persoalannya
Pertumbuhan penduduk yang pesat menuntut pemenuhan pangan yang sangat besar. US Census Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia akan meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2020. Kontribusi China dan India sebesar 26 dan 12 persen.
Persoalan krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan di pasar internasional tahun 2008. Salah satunya disebabkan karena membumbungnya permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India dengan penduduk masing-masing 1 miliar jiwa.
Dalam konteks Indonesia produksi pangan yang mampu menjamin kebutuhan penduduk merupakan persoalan yang serius. Meskipun selama 2 tahun terakhir dilaporkan swasembada beras dapat dicapai kembali. Namun, untuk jangka panjang masih menjadi pertanyaan besar.
Salah satu solusi dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan areal danย produktivitas. Meskipun hal tersebut telah dilakukan dengan berbagai strategi namun data menunjukkan masih jauh dari cukup. Selama 5 tahun terakhir (2004-2008), areal panen padi hanya meningkat 0,47 juta ha dengan komposisi 11,92 juta ha tahun 2004 menjadi 12,39 juta ha tahun 2008. Dari segi produktivitas mengalami peningkatan 0,32 ton/ ha dengan komposisi 4,54 ton/ha tahun 2004 dan 4,86 ton/ha tahun 2008.
Dengan prediksi jumlah penduduk 300 juta tahun 2015, kebutuhan beras akan membacapi 80-90 ton/ tahun. Menggunakan asumsi luas panen yang tidak akan banyak berubah dari angka 12 juta ha/ tahun, maka solusinya pada tuntutan produktivitas hingga 10 ton/ ha.
Hal tersebut hampir dipastikan sebuah mission impossible. Sejarah produksi beras dunia mencatat bahwa negara yang memiliki sejarah dan tradisi produksi beras paling panjang dan teknologi paling hebat seperti Jepang, Taiwan, Korea, dan China hanya mampu memproduksi beras di lahan petani secara stabil dalam skala lapangan paling tinggi 7 ton/ ha.
Agenda Masa Depan
Meskipun berbagai inovasi telah diciptakan perangkap Malthus masih tetap menghantui kita. Kemampuan kita secara terus menerus menyediakan pangan yang melampaui pertumbuhan penduduk akan terus diuji sepanjang waktu.
Program pengendalian penduduk diikuti program pendukung seperti layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan menjadi prasyarat dan prioritas. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi dan juga membangun partnership dengan kalangan swasta dan korporasi terkait dengan hal ini.
Penciptaan lahan baru perlu didorong terutama untuk daerah yang layak dan potensial. Program ini tidak bisa sepenuhnya diharapkan karena kendala sosial, teknis, dan biaya. Solusi lainnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering.
World Bank (2003) mendata lahan kering di Indonesia sebesar sekitar 24 juta ha. Lahan tersebut sangat potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan, dan perkebunan.
Diversifikasi pangan menjadi salah satu kata kunci. Bahan pangan non-padi yang bisa diproduksi dari lahan kering non-sawah sangat potensial untuk dikembangkan dan dikampanyekan terus menerus kepada publik.
Penelitian, pengkajian, dan penyebarluasan melalui penyuluhan akan teknologi produksi baru seperti benih yang memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap kekurangan air, dan goncangan cuaca ekstrim mutlak diupayakan. Program pengendalian alih fungsi lahan pertanian utamanya sawah sangat mendesak dilakukan. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa selama 20 tahun terakhir kita telah kehilangan 1 juta ha sawah subur di Jawa karena alih fungsi lahan.
Subejo
Agricultural and Resource Economics
The University of Tokyo
Subejo1972@yahoo.com
81-8067454439
Penulis adalah Dosen UGM, PhD Candidate The University of Tokyo, Ketua IASA Jepang.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini