Neoliberalisme dan Budiono

Neoliberalisme dan Budiono

- detikNews
Selasa, 26 Mei 2009 08:45 WIB
Jakarta - Calon Wakil Presiden Budiono berkali-kali mengklarifikasi berbagai tuduhan terhadap dirinya yang dianggap sebagai agen kebijakan ekonomi liberal di Indonesia. Menurutnya pasar harus diberi kebebasan agar kreatifitas berkembang.

Namun, peran negara tidak boleh dilupakan. Bahkan, yang menarik beliau mengatakan bahwa Neoliberalisme sesungguhnya tidak pernah diterapkan di Indonesia.

Pernyataan terakhir Budiono tersebut tentu membuat mereka yang mengerti ekonomi tertawa. Karena, hal itu sama saja dengan misalnya Obama hari ini mengatakan Amerika Serikat (AS) tidak pernah menerapkan ekonomi liberal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena memang pada kenyataannya para ahli ekonomi sepakat bahwa saat ini tidak ada negara yang menerapkan ekonomi pasar murni. Sebagaimana juga tidak ada Negara yang menerapkan ekonomi sosialis murni. Masing-masing bergerak dalam sebuah spektrum. Tinggal condongnya ke mana.

Neoliberal sebenarnya merupakan versi liberalisme klasik yang dimodernisasi. Dengan tema-tema utamanya adalah: pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualism (Adams, 2004).

Liberalisme sendiri telah diterapkan di Barat sejak akhir abad ke-19
(Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya, The Wealth of Nations (1776).

Slogan berbahasa Prancis itu Inggrisnya adalah leave us alone. Artinya, "Biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah". Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar.

Kapitalisme liberal ini terbukti gagal. Ketika tahun 1929-1939 terjadi 'Depresi Besar' (Great Depression) di AS akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929.

Saat ini, di Negara-negara Barat seperti AS, peran negara sama sekali tidak mati. Negara selalu melakukan intervensi dalam praktek-praktek ekonomi.

Proteksi berupa subsidi dan quota yang dilakukan AS terhadap petaninya, subsidi (baik kepada petani maupun masyarakat lainnya) yang dilakukan oleh Jepang, juga model negara kesejahteraan yang diterapkan Jerman, adalah contoh di mana negara memiliki peran dalam ekonomi.

Ketika Budiono mengatakan negara harus intervensi sesugguhnya hal tersebut bukanlah sebuah klarifikasi yang utuh atas dugaan bahwa dirinya bukan agen Neolib. Tidak ada negara di dunia ini yang sama sekali tidak melakukan intervensi dalam ekonomi.

Persoalannya bukan terletak hanya pada perlunya intervensi negara dalam ekonomi. Melainkan kepada kelompok masyarakat mana kebijakan intervensi itu diarahkan.

Kita tentu masih ingat bagaimana intervensi negara begitu hebat dalam menghadapi kebangkrutan bank-bank di Indonesia pada era krisis yang terjadi di negeri ini. Pada tahun 1996-1998, ketika Boediono menjabat sebagai Direktur I BI urusan analisa kredit, terkucurlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 400 triliun.

Kemudian ketika Boediono menjadi Kepala Bappenas. Dalam masa itu terkucurlah dana rekap perbankan Rp 600 triliun. Ironisnya, para obligor BLBI justru diberikan Release and Discharge alias dibebaskan dari masalah hukum.

Kita juga tidak lupa. Tahun 2001-2004 ketika Boediono menjadi Menteri Keuangan. Keluarlah kebijakan privatisasi dan divestasi yang ugal-ugalan. Banyak aset strategis yang dilego: Indosat, BCA, dan lain-lain.

Seperti dikatakan sebelumnya. Tidak hanya di Indonesia intervensi negara dalam ekonomi ini terjadi. Di AS, Obama menyetujui bailout terhadap bank-bank bermasalah dengan mengucurkan dana lebih dari US $ 700 miliar.

Pertanyaannya adalah siapa yang diuntungkan dalam intervensi negara yang semacam ini? Dari ratusan triliun yang dikeluarkan untuk BLBI sebagai bentuk intervensi negara siapa yang diuntungkan.

Munculnya isu Neolib di balik pencalonan Budiono tidak lain karena selama ini rakyat melihat adanya ketimpangan dalam kebijakan intervensi yang dilakukan negara dalam bidang ekonomi. Kepentingan rakyat sering kali dikesampingkan dalam agenda-agenda kebijakan.

Bantuan Langsung Tunai yang menjadi andalan SBY-Budiono sama sekali tidak sebanding dengan pengambilalihan beban negara pada konglomerat yang bankrupt. Yang diinginkan adalah intervensi negara yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyat kecil, petani-petani kecil, nelayan-nelayan kecil, serta pengusaha-pengusaha kecil.

Yang diinginkan adalah intervensi negara yang mampu membangun kemandirian ekonomi bangsa. Bukan ekonomi yang bengantung pada hutang luar negeri atau investasi asing yang tidak adil.

Memberikan kemudahan kepada perusahaan-perusahaan asing untuk mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam kita tanpa memperhatikan dampak kesejahteraan langsung terhadap penduduk sekitar merupakan bagian dari kebijakan ekonomi liberal yang harus ditolak.

Semoga Budiono dapat membuktikan dirinya benar-benar bebas dari agenda neoliberal.

Mukhamad Najib
The University of Tokyo
4-6-41 Shirokanedai Minato-Ku Tokyo
mnajib23@yahoo.com
+81-90-982-10-982


(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads