Sudah sepantasnya Kartini bergelar 'Ibu' Bangsa. Hari kelahirannya, tanggal 21 April, selalu menjadi momen sarat makna. Hampir seluruh eleman masyarakat memperingatinya. Tanggal itu tak ubahnya hari kemerdekaan.
Beragam acara diadakan. Aneka parade dilakukan. Berbagai diskusi dan wawancara ditayangkan. Pada hari itu masyarakat mengenang Kartini. Namun demikian seberapa jauh sesungguhnya mereka mengenal Kartini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jajak pendapat yang pernah diadakan oleh harian nasional beberapa waktu lalu menguatkan "tuduhan" ini. Sebagian besar responden yang mengetahui atau pernah mendengar tentang buku kumpulan surat Kartini itu mengaku belum pernah membaca kumpulan surat Kartini. Bahkan, ironisnya, hampir separuh responden tersebut menyatakan tidak pernah melihat "wujud" buku tersebut (Nova Christina: 2003).
Dari situ kita cukup mafhum bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengenal Kartini dalam arti sesungguhnya. Mereka cukup mengetahui nama dan tanggal lahirnya. Mereka juga hanya ingat bahwa pada tanggal itu (mesti) mengadakan peringatan. Membuat acara perlombaan. Menyanyikan lagu 'Ibu Kita Kartini'. Hanya itu. Tak lebih.
Karena itu Kartini kemudian (di)tampil(kan) bagai mitos (mitologisasi). Dan kecenderungan mitologisasi ini nampak begitu besar. Sehingga, dalam hal ini, Kartini tak jauh beda dengan Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan. Mereka sama-sama diagungkan, dimitoskan. Ada upacara khusus untuk mengenang mereka. Bedanya, Kartini adalah manusia biasa, sedang Nyi Roro Kidul identik dengan roh halus dan dunia mistis.
Padahal, sesungguhnya Kartini lebih agung dari Nyi Roro Kidul maupuh tokoh mitos lainnya. Kartini adalah perempuan yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Kartini sangat peduli dengan perempuan dan pendidikan. Dalam suratnya tertanggal 21-1-1901, ia menulis "Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata.
Dan, bagaimanakah Ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? Surat ini menegaskan betapa ghirah dan syahwat Kartini untuk belajar tak dapat ditawar-tawar lagi.
Kartini juga seorang humanis dan egaliter. Ia tidak membeda-bedakan derajat manusia. Sikap ini tentunya bertentangan dengan adat pada waktu itu. Dan Kartini sangat risih terhadap tradisinya sendiri. Ia menggugat tradisi Jawa yang cenderung feodalistik di mana bawahan dan atasan bagaikan hamba dengan Tuhan.
Begitu juga dengan perempuan yang selalu diposisikan lebih rendah dari kaum Adam. Ketika timbul perlawanan, stereotype, bahkan, tak jarang, tindakan fisik sebagai hukuman pun dilakukan. Terkesan, manusia diperlakukan layaknya hewan. Sungguh tidak manusiawi (surat Kartini 18-8-1899).
Ia juga seorang taat beragama. Namun demikian tak segan ia mengkritik perilaku agama yang baginya menyimpang. Ia lantang menggugat metode pengajaran agama yang dilakukan pada waktu itu yang cenderung formalistik dan membodohkan.
Semasanya pengajaran agama yang dilakukan hanya sebatas membaca. Sedangkan maknanya sama sekali tidak diajarkan. "Sungguh pekerjaan gila", demikian gumam Kartini.
Melihat fenomena keberagamaan yang cenderung menimbulkan kekerasan Kartini membayangkan alangkah baiknya seandainya tidak ada agama. Sebab, agama yang seharusnya mempersatukan umat manusia justru sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan. Pangkal pertumpahan darah yang sangat mengerikan (6-11-1899). Termasuk dalam hal poligami yang (sepertinya) dilegalkan oleh teks otoritatif agama.
Toh, meskipun ditegaskan beribu kali oleh para penyokong poligami bahwa poligami bukanlah perbuatan dosa Kartini tetap menganggapnya dosa. Sebab, poligami kerap menistakan perempuan. Poligami adalah kekerasan terhadap perempuan. Baginya, semua perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita adalah dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain. Baik manusia atau binatang (6-11-1899).
Demikian teguh perlawanan yang dilakukan oleh Kartini demi meraih seteguk kebebasan meski ia dikeroyok oleh kaum agamawan maupun adat. Tapi, ia tak menyerah. Cita dan angannya yang besar membuatnya tetap tegar mendakwahkan 'kemerdekaan' perempuan.
Meski akhirnya ia tak kuasa menolak dipoligami(kan) ia tak patah arang. Kegetirannya itu malah kian memicunya untuk membebaskan perempuan dari belenggu adat, agama, dan kebodohan. Sehingga ia berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".
Membaca Kartini sejatinya bagai membaca roman yang hidup. Banyak hal bisa ditemukan dan direnungkan di situ. Mulai dari adat, etika, pendidikan, pandangan hidup, agama dan sebagainya. Surat-suratnya begitu menyentuh. Ada api perjuangan yang menyala-nyala. Ada kisah yang pahit. Pilihan hidup yang sulit yang dihadapi Kartini.
Tentunya kita bisa berkaca dari kisah 'dramatik' ini. Meski ia telah pergi sekitar seratusan tahun yang lalu makna perjuangan Kartini tak pernah usang. Selalu ada makna yang bisa kita petik dari kisah Kartini.
Namun demikian semua itu akan sia-sia belaka ketika Kartini tetap dan hanya dimitoskan. Karena itu, selayaknya kita melakukan demitologisasi atas Kartini. Kembali memposisikan Kartini sebagai manusia biasa yang yang tak lepas dari kekurangan dan kelebihannya yang mengalami suka duka memegang teguh semangat dan idealisme cita-citanya.
Dengan itu maka apa yang dilakukan Kartini menjadi sesuatu yang niscaya. Bukan lagi mitos yang sangat mungkin dilakukan juga oleh 'Kartini-Kartini' generasi sekarang. Sehingga, kemajuan kaum perempuan di Indonesia sebagaimana dibayangkan Kartini bukan lagi mimpi belaka.
Husnul Atiyah
Penulis adalah Pemerhati masalah perempuan, tinggal di Australia
Alamat: 9/27 The Espalanade, St Lucia, Brisbane, Queensland 4067
Hp:+61433027669,
email: ayang_sweety@yahoo.co.id
(msh/msh)











































