Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur Pulau
melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Melambai-lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia"
Masih ingat dengan lirik lagu di atas? "Rayuan Pulau Kelapa" ciptaan Ismail Marzuki.
Semoga masih ada yang mengingatnya meskipun tidak banyak. Seperti halnya lagu-lagu kebangsaan yang lain. Indonesia raya misalnya. Kenyataan yang kita temukan sudah tak banyak lagi anak usia sekolah SD yang hafal lagu ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka jangan tanyakan lagi tentang nasionalisme. Ketika budaya sudah mulai hilang. Ketika kekayaan negeri sendiri tak ada yang mau mengenali. Ketika harta karun itu hanya menjadi hiasan kertas di dalam sebuah buku bertuliskan "Kebudayaan Indonesia". Ketika tanpa sadar ternyata kitalah yang membuat negeri ini menjadi seperti onggokan sampah.
Contoh kecilnya saja adakah yang masih bisa mengingat tentang serunya permainan bentengan, gobak sodor/ selodor, dan semua jenis permainan tradisional? Semua sudah hilang, dan lagi-lagi kitalah penyebabnya.
"Saya akan mengganyang Malaysia sebelum matahari terbit tanggal 1 Januari 1965," teriak Soekarno beberapa puluh tahun yang lalu. Kata-kata itu (ganyang Malaysia) kembali terlontar baru-baru ini ketika negara tetangga kita Malaysia melakukan penjarahan budaya kita secara besar-besaran.
Artefak, Reog Ponorogo, Angklung, Batik, dan lain-lain. Antara sadar dan tidak ramai-ramai kita mengutuk. Ramai-ramai kita mengumpat. Mereka maling yang harus diadili. Mereka pencuri yang harus dihajar dan dibakar massa. Ironis memang kita mengumpat. Kita menuntut.
Kita berdemo tapi kita lupa kita untuk berkaca. Kita lebih suka budaya luar daripada budaya negeri sendiri. Kita lupa bahwa ternyata kitalah yang menelantarkan bangsa kita. Budaya-budaya kita. Kekayaan-kekayaan kita, dan semua milik kita yang berharga.
Ayam mati di lumbung padi mungkin pepatah yang tepat untuk bangsa, pemerintah, dan rakyat Indonesia saat ini. Di tengah keberagaman budaya. Di tengah kayanya kesenian. Di tengah indahnya alam. Sebagian besar kita tak pernah menyadari.
Justru kita terperanjat. Kita terkejut ketika ada orang lain "memungut" kekayaan yang kita miliki. Ketika mereka mengklaim bahwa kesenian itu milik mereka. Bahwa kebudayaan ini khas mereka. Lagi-lagi hanya bahasa kemarahan dan makian yang bisa kita hasilkan.
Kesalahan bukan hanya di pihak pemerintah yang selalu kalah cepat dan kurang tanggap dibanding pihak-pihak swasta. Atau perkumpulan-perkumpulan pecinta seni untuk mematenkan kekayaan bangsa ini mementaskannya dalam pergelaran-pergelaran, dan memperkenalkannya di dunia international.
Tapi, juga rakyat yang sebagian besar lebih suka dan tertarik kepada budaya asing dan melupakan budaya sendiri. Generasi yang ada sekarang adalah generasi yang bisa dibilang generasi yang kehilangan budaya. Atau mungkin generasi yang melupakan budaya. Jangankan kesenian daerah. Lagu kebangsaan sendiri saja kadang tidak hafal dan tidak tahu.
Tak hanya menampilkannnya dalam event tertentu dan berkelas international. Tapi, pemerintah juga dituntut untuk cepat dan tanggap dalam mematenkan kekayaan bangsa ini. Sudah terlalu banyak milik kita yang dicuri.
Apakah kita akan terus biarkan orang lain memunguti milik kita yang berharga? Mari bersama kita dukung pelestarian budaya bangsa Indonesia.
Fitrah Dhaniadi
69/702 Masakin Osman Nasr City Cairo Egypt
ring_kas04@yahoo.com
+20103781577
(msh/msh)