Tentu kemandirian sebuah bangsa tidak selalu terikat pada ukuran umur karena tidak sedikit negara yang lebih muda dari Indonesia rakyatnya telah lebih dulu menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Dan, tidak sedikit pula negara-negara yang lebih tua dari Indonesia masih mengalami nasib yang serupa. Jauh dari sejahtera.
Persoalan kemandirian sesungguhnya adalah persoalan kemauan dan kepercayaan diri. Sukarno pernah mengatakan ada tiga prasyarat yang harus tersedia untuk bisa menjadi bangsa yang mandiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari ketiga prasyarat tersebut Sukarno menyebut yang pertama dan kedua boleh belum tersedia. Tapi, yang ketiga mutlak harus ada. Artinya jika sebuah bangsa masih memiliki keyakinan diri maka ketersediaan pangan yang cukup dan militer yang kuat dapat diusahakan.
Sayangnya semangat kemandirian ini seringkali mendapatkan godaan-gudaan. Baik dari pihak asing yang selalu menginginkan Indonesia tergantung pada mereka. Bisa juga dari elit-elit domestik yang secara sadar atau tidak telah menjadi agen dari kepentingan asing. Godaan untuk melupakan semangat kemandirian terkadang dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian sehingga terkesan memiliki dasar rasional yang kuat.
Asean Development Bank (ADB) dalam publikasi penelitiannya tahun 2006 menyatakan bahwa sangat sulit bagi Indonesia untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri di tengah situasi jumlah lahan yang semakin berkurang, irigasi yang kurang memadai, minimnya penggunaan teknologi, dan banyaknya petani yang memilih alih profesi.
Menurut penelitian tersebut cara terbaik yang dapat dilakukan Indonesia untuk menjamin keamanan pangan adalah dengan memproduksi beras secara efisien sehingga harganya bisa bersaing dengan harga pasar dunia. Selain itu Indonesia harus membangun link serta pengaturan kontrak yang mapan dengan eksportir dunia.
Artinya Indonesia jangan berfikir untuk bebas dari impor beras. Pikiran mengenai ekspor adalah baik dan impor adalah jelek harus dibuang. Begitulah kira-kira pesimisme dikamuflasekan secara ilmiah.
Pada tahun 2008 kita menyaksikan Indonesia tidak hanya mampu membebaskan diri dari jeratan impor beras. Di bawah kepemimpinan Anton Apriantono Departemen Pertanian mampu mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dapat membawa Indonesia mengalami swasembada beras. Bahkan, swasembada kali ini tidak bisa dibandingkan dengan swasembada di era Orde Baru.
Definisi swasembada di era Orde Baru adalah ketika negara mampu memenuhi 90% kebutuhan beras secara mandiri. Waktu itu Indonesia tetap impor 10% kebutuhan beras meski menyandang predikat swasembada. Sementara swasembada saat ini bukan hanya mampu memenuhi 100% kebutuhan beras melainkan surplus sehingga siap untuk di ekspor.
Apa yang dapat kita lihat? Sebagai bangsa kita memiliki potensi yang besar untuk mandiri. Kita tidak memiliki alasan yang cukup untuk menjadi negara miskin dan bergantung pada pinjaman luar negeri dari negara donor yang memiliki motif ekonomi yang rakus. Kecuali bila para pemimpinnya memang telah menggadaikan semua sumber daya yang kita punya untuk kepentingan asing.
Para peneliti yang secara sadar maupun tidak telah menjadi agen-agen kepentingan asing di Indonesia seringkali memberikan legitimasi yang seolah ilmiah bahwa kita sangat butuh bantuan asing. Tidak mungkin lepas dari ketergantungan tersebut.
Kolaborasi pemimpin negeri dan peneliti yang seperti ini sangat efektif untuk membunuh semangat dan cita-cita kemandirian. Dalam perspektif kebangsaan dan kemerdekaan tentu kolaborasi ini sangat jahat dan menyesatkan.
Jika kita mampu membebaskan diri dari ketergantungan pangan pada negara lain tentu kita juga mampu membebaskan diri dari ketergantungan energi maupun ketergantungan yang lainnya. Kita hanya membutuhkan kepercayaan diri untuk bisa tampil sebagai bangsa mandiri. Karena pada kenyataannya kita memiliki semua yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia.
Tahun 2009 harus bisa menjadi momentum untuk membangkitkan kembali semangat kemandirian. Kita harus membantu terpilihnya pemimpin nasional yang berani melepaskan diri dari belenggu kekuatan-kekuatan asing. Rakyat jangan berhenti berharap dan frustasi memilih karena yakinlah perubahan itu pasti kan datang seperti keyakinan kita akan datangnya cahaya fajar yang segera menggantikan gelapnya malam.
Mukhamad Najib
The University of Tokyo International Lodge
4-6-41 Shirokanedai Minato-Ku Tokyo
mnajib23@yahoo.com
09098210982
(msh/msh)