Jika kita melihat kembali ke belakang mengenai kinerja para anggota legislatif tidak ada perubahan berarti yang terjadi di DPR RI selama 10 tahun berjalannya reformasi. Perbaikan hanya terlihat dari sisi fisik yakni meningkatnya fasilitas dan sarana pendukung yang diberikan negara yang notabene menggunakan uang rakyat.
Sementara dari sisi kinerja DPR seolah berjalan di tempat. Gambaran ini sangat mudah dilihat dari begitu banyaknya berita tentang bagaimana para anggota DPR yang hanya bersemangat untuk melancong ke luar negeri dengan dalih studi banding dibandingkan dengan kewajibannya menghadiri sidang-sidang rutin di DPR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanpa belajar dari pengalaman empat tahun terakhir lagi-lagi DPR menyusun daftar prioritas tahun 2009 yang irasional. Tidak tanggung-tanggung 84 RUU diputuskan masuk sebagai prioritas untuk masa kerja yang hanya bersisa beberapa bulan lagi. Padahal dengan kesibukan anggota DPR berkampanye menjelang Pemilu pemenuhan target itu menjadi suatu hal yang mustahil.
Padahal negara secara bertahap telah meningkatkan sumber daya yang diperlukan untuk proses legislasi secara signifikan. Di antaranya adalah meningkatkan uang pembahasan RUU sampai Rp 3,5 miliar pada awal 2008 untuk setiap RUU. Atau menyamai anggaran pembahasan RUU dari sisi pemerintah.
Kemudian merekrut sekitar 30 orang staf ahli yang duduk tetap pada Badan Legislasi untuk memberikan dukungan keahlian bagi proses legislasi. Dan, merekrut total 550 staf ahli. Atau satu orang untuk setiap anggota DPR untuk memberikan dukungan keahlian.
Sudah menjadi rahasia umum betapa rendahnya kualitas para anggota DPR saat ini. Ternyata sebagian besar dari mereka hanya terdiri dari orang-orang yang tidak lebih dari kelompok orang yang hanya mementingkan diri sendiri.
Mereka sudah tidak tahu lagi bahwa posisi DPR berada dalam tataran yang sangat tinggi dan berkaitan dengan kebijakan yang strategis. Hal ini dilakukan semata untuk mencari keuntungan pribadi. Kasus Al Amin Nasution (tersangka kasus korupsi proyek alih fungsi lahan hutan lindung di Tanjung Api-api) adalah salah satu contoh nyata dari perilaku model kerja yang seperti ini. Tidak mustahil hal yang sama juga dilakukan oleh anggota DPR lainnya.
Penderitaan rakyat saat ini tidak mampu menggugah nurani para wakilnya. Apa yang mereka rasakan dan lihat dari dalam mobil-mobil mewahnya melihat antrean rakyatnya yang dijadikan pengemis oleh pemerintah hanya untuk sekedar bertahan hidup. Kelihatannya tidak ada lagi kehendak baik para wakil rakyat untuk menyelamatkan rakyatnya dari kenistaan tersebut.
Wakil rakyat yang seharusnya lebih vokal menyuarakan aspirasi rakyatnya yang tengah menjerit akibat beban hidup yang makin berat. Malah sebaliknya wakil rakyat lebih mengedepankan azas kepentingan pribadi dengan "kreativitas" para wakil rakyat untuk mencari tambahan pundi-pundi pribadi mereka yang sebenarnya sudah jauh lebih tinggi dari pegawai negeri sipil (PNS) dan jauh dari harapan untuk berpihak pada rakyatnya.
Dari gambaran yang sangat jauh dari harapan itu di akhir tahun muncul setitik harapan dengan terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 dengan konsekuensi calon terpilih tidak berdasar pada nomor urut. Tapi, mengacu pada suara terbanyak.
Dalam menanggapi keputusan MK ini Ryaas Rasyid mengatakan keputusan itu merupakan pelajaran bagi DPR yang kerap mengutamakan kompromi-kompromi politik dalam menyusun undang-undang. Selama ini dalam pembahasan undang-undang DPR tidak menggunakan logika demokrasi dan hanya menggunakan kompromi-kompromi politik untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing.
Pengamat hukum Bambang Widjoyanto mengatakan keputusan MK itu sudah tepat. Sementara Azumardi Azra mengatakan implikasi dari keputusan MK tersebut adalah berkurangnya oligarki partai terhadap sistem pencalonan.
Dari berbagai komentar dan reaksi tersebut dapat diperoleh kesimpulan bagaimana rendahnya penilaian masyarakat luas terhadap kinerja para anggota DPR selama ini dan para pengurus partai yang kelihatan sekali hanya mementingkan diri sendiri, golongan, dan partainya saja.
Banyak yang berharap walaupun masih harus dibuktikan kemudian dengan keputusan MK itu setidaknya akan ada perubahan kinerja DPR di periode selanjutnya. Rakyat sudah muak dengan pameran kekuasaan dari sebagaian besar mereka yang duduk sebagai wakil rakyat.
Kesenjangan yang kian melebar antara aspirasi rakyat dan perilaku para wakilnya menunjukkan mereka memang tidak layak untuk duduk di Senayan sebagai wakil rakyat. Mereka lebih cocok disebut pekerja yang tiap bulan mendapat gaji dengan tunjangan besar daripada sebagai representasi rakyat. Padahal seharusnya jabatan wakil rakyat adalah wadah untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, sarana untuk mengabdi, dan aktualisasi diri serta kegiatan untuk membuat amal kebajikan mencari ridho Tuhan.
Karena untuk menjadi wakil rakyat berangkat untuk mencari kerja karena dianggap enak sebab terhormat, penuh fasilitas, bisa menakut-nakuti penguasa, pengusaha, dan rakyat jelata, serta punya peluang besar untuk kaya maka langkah pertama tentunya mewujudkan mimpi itu jadi nyata.
Mereka yang terpilih menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif kurang memperhatikan aspirasi konstituennya. Sebagai akibat rakyat menggunakan cara lain untuk menarik perhatian publik agar mendukung perjuangannya. Berkembang adagium: "Tiada hari tanpa demonstrasi".
Sementara itu usulan-usulan dari masyarakat baik melalui lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi kemasyarakatan tidak mendapat tanggapan dengan semestinya. Dengan angkuh menyatakan: "Kami terima usulan anda, namun kamilah yang memiliki wewenang untuk memutuskan."
Berkembanglah kritik masyarakat melalui tayangan televisi dalam bentuk parodi seperti "Republik BBM",atau "Democrazy" dan sebagainya. Semuanya itu menggambarkan ungkapan kekecewaan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja para anggota legislatif dan para pimpinan pemerintahan.
Ungkapan kritik dalam bentuk parodi relatif masih lumayan. Bila rasa kecewa atau tidak puas masyarakat ini tidak tersalur dengan baik akan berkembang menjadi frustasi dan akan bermuara pada tindakan-tindakan nekad yang akan sangat merugikan negara. Bukan mustahil tindakan nekad ini berkembang menjadi people's power yang dapat menjungkirbalikkan kehidupan negara dan pemerintahan.
Dapat saja frustasi masyarakat berkembang menjadi bentuk revolusi, yang bisa meluluhlantakkan bangunan negara yang telah susah payah kita bangun bersama. Oleh karena itu para elit politik yang duduk di lembaga legislatif maupun di eksekutif perlu mengendalikan diri secara prima bila menghendaki kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung secara aman, tertib, dan teratur yang bermuara pada keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kepekaan anggota legislatif terhadap para konstituen sangatlah diutamakan. Kepekaan merupakan pengejawantahan dari perwakilan substantif (substantive representation). Apakah kebijakan dan pandangan anggota legislatif sesuai dengan kehendak dan level ekspektasi konstituen. Atau apakah anggota dewan pertama-tama percaya pada penilaian mereka sendiri.
Pemahaman mengenai sistem perwakilan tentunya memberikan gambaran bahwa perwakilan individu harus memahami aspirasi, nilai, kepercayaan, dan sikap
beribu-ribu masyarakat. Oleh karena itu, sistem perwakilan seharusnya benar-benar menggambarkan: (a) karakterisktik konstituen yang diwakili (sociological or agency), (b) peran mereka sebagai wakil (delegates, trustees, or politico), (c) hubungan mereka dengan konstituen (geographical, reelection, primary personal constituency), dan (d) persepsi mereka akan suara hati atau opini politik kostituen. (Eisingger, 1982: 148).
Sebagai wakil rakyat perjuangannya harus bercorak inklusif, merangkul, dan untuk semua orang, sesama saudara sebangsa. Yang juga sangat penting adalah prinsip solidaritas terhadap rakyat, yakni rasa senasib sepenanggungan dengan rakyat.
Merupakan harga mati bahwa para wakil rakyat harus tegas menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Terutama mereka yang tertindas, menderita, dan mengalami ketidakadilan. Karena itu, dalam dirinya para wakil rakyat harus mengedepankan rasa kemanusiaan, jujur, peduli, memahami, menghargai, dan mencintai rakyat.
Selain itu, menghormati pluralitas, menghargai perbedaan, bersedia menerima pendapat yang lebih benar, mewujudkan perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, tidak munafik, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan menjalani hak dan kewajiban secara seimbang
Polemik akibat perilaku beberapa wakil rakyat serta buruknya kinerja DPR dapat disikapi oleh semua pihak. Para wakil rakyat seharusnya sadar dan jeli, bahwa di depan mata banyak rakyat masih menderita, busung lapar di mana-mana, antrian BBM makin semakin rata, listrik semakin sering mati, dan ternyata kualitas pendidikan kita masih rendah karena masyarakat miskin dipaksa belajar dalam lapar dan dibebani biaya pendidikan yang memberatkan.
Apakah kita tidak prihatin melihat nasib rakyat kecil khususnya anak-anak kita yang bunuh diri karena malu tidak bisa membayar uang sekolah? Bagaimana kalau kita berada pada posisi mereka?
Kian jelas kini. Kerusakan bangsa sebagian bersumber dari perilaku elite politik yang tak pernah peduli dan hanya memikirkan diri sendiri. Beribu janji dan harapan ditumpahkan saat pemilu guna menarik dukungan agar terpilih.
Bermiliar-miliar uang dihabiskan untuk memilih wakil rakyat. Harapannya, mereka memegang teguh sumpah jabatan untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, harapan rakyat tinggal harapan. Meski para wakil rakyat sering mendapatkan kritik, seperti biasa, mereka tak tergugah apalagi mengubah perilakunya. Ibarat pepatah "anjing menggonggong kafilah berlalu." Kemilau tahta menutup mata hati mereka dari kebenaran dan raungan penderitaan rakyat.
Sebegini parahkan kondisi legislatif kita? Jawabannya ada di hadapan kita. Memang tidak semuanya. Masih ada yang baik dengan tetap komit memperjuangkan hak-hak masyarakat. Tapi, sayangnya suara terdengar sangat sayup-sayup dan hampir tidak terdengar. Kalau pun ada itu hanya sedikit dan biasanya tidak disukai dan dimusuhi karena dianggap sok suci, sok baik, sok jadi pahlawan, dan sok memperjuangkan nasib rakyat. Biasanya oknum ini dianggap aneh dan unik serta dijauhi.
Wakil rakyat haruslah introspeksi dan sadar diri. Kesadaran akan posisi adalah penting. Bukan hanya bagi diri dan partainya. Tetapi, juga bagi konsolidasi demokrasi di republik ini. Jika ruang kekuasaan tidak terfragmentasi dan menjadi satu, secara perlahan republik demokrasi akan runtuh berganti menjadi negara dengan kekuasaan absolut yang bernama neo-Orde Baru.
Rakyat jangan disakiti hatinya. Hargailah rakyat karena dalam negara demokrasi kedaulatan itu ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berdaulat yang menjadi sumber kekuasaan di negara demokrasi.
Bambang Dirgantoro
Wisma Jaya
Jalan Kusuma Barat Raya Blok 3 No 18 Bekasi Timur
politiksehat@yahoo.com
081380047657, 99202473
Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik.
(msh/msh)