Memang tidak ada aturan yang melarang seorang untuk mencalonkan diri sepanjang memenuhi syarat. Apalagi seorang Sri Sultan, yang punya basis riil, punya kekuatan, punya kharisma, Raja Jawa sekaligus kebanggaan seluruh bangsa Indonesia.
Tetapi, pergolakan politik bangsa Indonesia di tengah 'kekisruhan' moral negeri ini bukan langkah tepat untuk bergelut di dalamnya. Penulis memahami jika jutaan orang Indonesia merindukan sosok tokoh sekaliber Sri Sultan dalam menahkodai negeri ini. Bahkan, jutaan orang pula menanti hadirnya 'Ratu Adil' yang bisa membawa Indonesia lepas dari keterpurukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, jika Sri Sultan tidak jadi mencalonkan diri berarti memberi ruang besar bagi SBY, Kalla, Megawati, Amin Rais, Sutiyoso, Wiranto, dan tokoh politik lainnya dalam pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Tetapi, ketidakhadiran Sri Sultan mengokohkan Yogyakarta dan Jawa pada umumnya bahwa 'pusat budaya' Indonesia itu kini masih bertahan. Dan, tidak ikut dengan carut-marut perpolitikan negeri ini.
Tak lekang dari ingatan kita ketika sejarah mencatat bahwa Ibu Kota Negara pernah dipindahkan dari Jakarta ke Yokyakarta. Psikologisnya, karena Yokyakarta terbilang wilayah yang masih dihormati penjajah Belanda kala itu, sehingga Indonesia 'aman' jika ibu kota dialihkan ke sana sementara waktu.
Andaikata kita semua bisa mengambil 'tuah' dari rentetan sejarah itu maka ada baiknya Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak mencalonkan diri. Tidak terlibat langsung dalam arena pilih-memilih, karena apa pun alasannya, kehadiran Sri Sultan di ajang tersebut boleh jadi (mudah-mudahan tidak) 'mengotori' Ngayogyokarto Hadiningrat, sebagai negeri ikon Indonesia, yang dihormati keberadaannya oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke.
Memang Sri Sultan mengakui jika ia hanyalah seorang manusia biasa. Bukan Ratu Adil dan sebagainya. Tetapi, Indonesia telah mecatat jika Sri Sultan adalah titisan Raja-raja Mataram yang 'dipermak' sebagai simbol keutuhan manusia Jawa, yang halus, santun, agamis, dan rakyatnya patuh dengan titah sang Sultan. Simbol-simbol itulah tak sekadar menjadi milik manusia Jawa. Tetapi, menjadi milik manusia Indonesia seutuhnya.
Insya Allah, kebesaran seorang Sri Sultan akan langgeng abadi di persada Nusantara, jika beliau tak terbelit dalam rongga-rongga politik yang penuh udara keserakahan akan kekuasaan.
Ayahanda beliau, Sri Sultan Hamengkubowono IX pernah menjadi Wakil Presiden RI, dan idealnya anaknya bisa kembali 'mewarisi' jabatan itu. Bahkan bisa lebih dari itu, sebagai Presiden RI. Tetapi, bukankah Sang Ayah saat itu tidak dalam kondisi Negara dalam keadaan 'memilih'. Tetapi, Negara memang membutuhkan seorang tokoh pemersatu bangsa, yang bisa mengantar Indonesia lebih dikenal di publik dunia.
Indonesia masih yakin dan sangat meyakini jika Sri Sultan Hamengkubuwono IX bukan sekedar Raja Yogyakarta dan tokoh Jawa pada umumnya. Tetapi, tokoh milik bangsa Indonesia. Jangan sampai, kehadiran Sri Sultan di kancah pilpres menyurutkan Ngayogyokarta Hadininggrat sebagai simbol kebesaran pribadi bangsa Indonesia, dan jangan sampai ketokohan seorang Sri Sultan yang telah menjadi simbolik bangsa Indonesia akan terpupus.
Maka kelak bila itu terjadi boleh jadi bangsa lain di dunia ini akan berkata Indonesia telah menjadi bangsa yang kerdil. Indonesia tak tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Kenapa? Karena ulamanya, artisnya, politikusnya, teknokratnya, tentaranya, rajanya, dan rakyatnya, kini ramai-ramai larut dalam euphoria politik. Semoga ini hanya sekedar dalam khayalan.
Hamzah
Jalan Pahlawan KM 4 Bau-Bau Sultra
zah_inkom@telkom.net
081341699435
(msh/msh)