Suku Asing & Terasing

Suku Asing & Terasing

- detikNews
Kamis, 21 Agu 2008 09:28 WIB
Jakarta - Enampuluh tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka.
 
Suku terasing itu masihlah banyak. Kalau mau jalan-jalan menyusuri republik ini, betapa saudara kita yang terasing, dan tentu terbelakang itu seperti menampar muka kita. Mereka tersebar di lima pulau besar negeri ini, dan terpencar-pencar di banyak pulau kecil.
 
Itu bisa dimaklumi, karena taksiran suku yang menghuni negeri ini adalah 500 suku. Sayang tak banyak yang kita tahu. Kita kehilangan obor untuk mengenali mereka. Itu karena kita diam, dan pemerintah terkesan mendiamkan. Belum menginventarisasi, juga belum menuliskannya dalam lembar sejarah untuk disosialisasikan sebagai 'keluarga besar' bangsa Indonesia.
 
Ironisnya, jika terpisah tahun kita kembali sambang mereka, maka sebagian saudara kita itu telah punah. Bisa karena pola hidup nomaden, mengembara di hutan-hutan. Namun tak sedikit yang hilang akibat bencana alam dan konflik antar-suku yang membuatnya terberai.
 
Suku Tukuru di Halmahera mungkin tinggal kenangan. Jejaknya tak terdeteksi. Dia raib akibat hutan yang habis. Juga tabiatnya yang takut melihat manusia lain. Ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan dan melakukan reproduksi. Suku ini mengikuti jejak Suku Moro yang hilang misterius di abad sebelumnya.
 
Ketika gunung Karangetang di daerah ini meletus di tahun lalu, saya sempat meneteskan airmata saat melihat tayangan langsung dari Kota Ibu. Sebab di Halmahera, masih ada saudara kita yang lain, yaitu Suku Tugutil. Saya lega ketika reporternya mengabarkan hanya dua yang meninggal dalam musibah itu.
 
Di Pulau Haruku, Pulau Ambon dan Pulau Buru, saya bahagia menyaksikan Suku Alifuru yang telah menyatu dengan peradaban maju. Suku yang diidentifikasi sebagai 'manusia pertama' (alif = pertama, uru = manusia) itu tak harus dikhawatirkan eksistensinya. Dia akan tetap survive, sama dengan Suku Sawai yang mendiami Teluk Saleman yang indah dan menawan.
 
Hanya, kalau bertandang ke Pulau Seram itu, masih ada kekhawatiran terhadap dua komunitas saudara kita yang lain. Pertama Suku Naulu yang belum sepenuhnya 'mampu' beradaptasi, juga Suku Batik di Pulau Geser yang laten sebagai 'penguasa hutan'. Suku ini amat kontras dengan 'kemajuan' Suku Bantik di Sulawesi yang sempat melahirkan putera terbaik untuk negeri ini, Wolter Monginsidi. Atau 'suku unggul' bentukan Belanda, Suku Borgo yang rata-rata tampil sebagai 'penguasa' Sulawesi Utara.
 
Di Pulau Timor, tak hanya jasad pahlawan Seroja yang terserak di sepanjang jalan. Di pulau ini suku-suku setempat juga banyak yang sirna. Itu karena Portugis yang menerapkan manajemen konflik. Membiarkan antar-suku berseteru  saling beradu, menempatkan mereka menjauhi jalanan, dan mengabaikan mereka yang terpaksa membangun pemukiman di dasar jurang atau di puncak perbukitan.
 
Suku Kemak dan Suku Bunak sekarang minoritas. Dia nyaris punah menyusul suku-suku lain yang tinggal samar-samar terdengar namanya. Yang kuat bertahan tinggal Suku Dawan yang mayoritas, serta Suku Tetun atau Tetum yang mendiami Timor Leste.
 
Untuk suku terakhir itu harus berterimakasih pada David Hicks dan istrinya. Berkat dia suku ini dikenal dunia. Sejarah asal-usulnya tersaji lengkap, juga mitos dan kehidupannya yang dipenuhi ritus.
 
Suku Malaka Timur yang berada di 'keramaian' Betun serta Suku Boti yang ada di aliran Sungai Tono di Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) nampaknya perlu perhatian ekstra. Itu jika kita tak ingin menyaksikan kehilangannya. Sebab sejauh ini, dua suku itu masih belum sepenuhnya mampu melakukan sosialisasi. Yang satu terkesan eksklusif. Sedang Suku Boti mengurung diri di perbukitan tanpa mau mengakrabi suku lain di luar lingkungannya.
 
Suku-suku yang disebutkan di atas hanyalah sebagian. Itu kecil dibanding angka 500, asumsi suku yang mendiami negeri ini. Di tengah kemajuan zaman dan globalisasi yang kian mengental, jika suku-suku itu tak terdata dan 'tertangani', maka eksistensi mereka akan hilang. Dan itu kerugian tak terkira bagi negeri ini.
 
Padahal kita punya Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kebudayaan & Pariwisata yang harusnya bertanggungjawab soal itu. Malah telah di-back-up dengan Kementerian Negara Percepatan Daerah Tertinggal, agar pendidikan dan pembangunan tak hanya dinikmati orang kota dan rakyat yang berduit saja.
 
Adakah kalau tak ada yang berteriak mereka memang dibiarkan agar punah?

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. (iy/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads