Supriyadi & Pahlawan Dongeng
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Supriyadi & Pahlawan Dongeng

Rabu, 13 Agu 2008 11:27 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Andaryoko Wisnu Prabu membuat pengakuan. Dia mengklaim sebagai Supriyadi, pahlawan Pembela Tanah Air (PETA) yang puluhan tahun 'menghilang'. Kabar macam ini memang acap terdengar. Muncul menjelang suasana menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) negeri ini. Adakah benar dia Supriyadi betulan? Atau ini tidak beda dengan pengakuan-pengakuan sebelumnya?
 
Kita tidak hendak memberi vonis. Itu karena memang sangat banyak pahlawan kita yang jatidirinya terbalut misteri. Itu akibat belum 'diluruskan' kisah dan gerakan mereka dalam perjuangan. Juga tradisi sastra puja, serta orientasi dan politisasi dalam penulisan sejarah.
 
Penjajahan Jepang (1942), kolonialisme 'terakhir' di Jawa saja tetap menyisakan banyak misteri. Yang paling misterius adalah Abdurrahman Saleh, yang namanya diabadikan sebagai nama bandar udara (bandara) Kota Malang. Tokoh ini antipati dengan Jepang, tapi tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya ‘pahlawan’ ini.
 
Mochtar Lubis dalam sebuah bukunya menyebut, dia adalah 'asli orang Jepang'. Dia mendaftar sebagai tentara Jepang, ketika semangat Asianisme menggelora. Semangat itu mendefinisikan perjalanannya ke Indonesia bukan untuk menjajah tetapi untuk membantu negeri sesama Asia mandiri, terbebas dari penjajah Eropa. Itu, mengapa Jepang menyebut dirinya sebagai 'Saudara Tua'.
 
Namun tatkala tindakan Jepang bukan sebagai 'saudara' tapi sebagai penjajah, Abdurrahman Saleh merasa dibohongi negerinya. Dia berontak dan membelot. Senjata yang dipegang tidak diarahkan pada bangsa pribumi, tapi digunakan untuk menentang bangsanya (Jepang) sendiri. Dia berganti nama dan bangsa ini mengangkatnya tampil sebagai patriot.
 
Kisah yang mirip mitos itu banyak terjadi. Celakanya, kalau realitas yang seperti tidak realis itu dikuak, sering tudingan tidak patriotis dan tidak nasionalis harus diterima. Di sisi lain, fiksi seperti Hang Tuah yang hanya rekaan itu masuk dalam pelajaran sejarah. Sosoknya dianggap betulan ada.
 
Dan Supriyadi merupakan gambaran 'mitos' paling kental. Patriotismenya dalam melawan Jepang, pemberontakannya yang membangkitkan militansi rakyat untuk merdeka, berpadu dengan ungkapan-ungkapan dari dunia gaib.  Kesaktian, laku, dan ajaran tumpang-tindih menjadi satu. Maka di tengah potongan-potongan 'kisah' tentang pejuang dari Blitar itu mengalir pula dari tahun ke tahun soal mokswa dan rapal yang lupa. Ada penggalan kisah yang mirip Alibaba dan Alikasim. Terdapat pula idiom yang mengarah pada prosesi munculnya Ratu Adil.
 
Gunung Kelud sebagai setting 'hilangnya' Supriyadi salah satu penyubur dari nash itu. Gunung ini diasumsikan sebagai gunung mistis, yang melanggengkan eksistensi Raja Jayabaya, Kiai Tunggul Wulung, Butolocaya, Gatoloco, serta Supriyadi Sang Tokoh PETA.
 
Untuk tokoh terakhir itu, di Kraton, sebuah daerah yang secara administratif terletak di atas Gunung Kawi, terdapat sebuah pohon beringin besar yang berdiri garang. Pohon itu masih tegak menantang, diuri-uri (dilestarikan) penduduk setempat. Itu karena di pohon inilah Supriyadi diyakini menghilang secara gaib.
 
Tapi mengapa pahlawan kita selalu muncul dalam sejarah gaib? Sejarah yang tidak bisa disebut sejarah, tapi dongeng? Dan kenapa pula 'pahlawan yang sudah mati' itu selalu hidup kembali saat mendekati masa-masa penting dan prihatin negeri ini?
 
Rasanya, kalau selubung mistis itu dikuliti, maka terdapat pesan penting yang harus diwaspadai. Ada keresahan mendalam yang membuat pertahanan batin rakyat keropos. Mereka enjoy hidup di dunia impian dibanding dunia nyata. Dan secara magi-politik sedang terjadi proses mengail terjadinya sebuah suksesi.
 
Sebab, kendati jaman yang memayungi 'para tokoh' itu berbeda, tetapi kalau ditarik garis lurus selalu benang merahnya sama. Tokoh-tokoh itu ‘hilang’ sementara waktu, hadir kembali di zaman baru yang compang-camping, membawa 'kebaruan' dan memberi fatwa perbaikan negeri.
 
Adakah dengan begitu 'pahlawan kubur' itu terus bermunculan? Bung Karno akan keluyuran di desa-desa, Supriyadi hidup kembali, Satrio Piningit bertapa, dan juga Raja Jayabaya serta Raja Brawijaya yang kembali ke dunia setelah berkelana di dunia maya? Bisa jadi !
 
Sebab saat batin rakyat rapuh, kita selalu suka mengembara di dunia yang memberi ruang untuk menenun harapan dan impian.

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
(iy/iy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads