Gulaku Manis, Gulaku Getir, Konsumen 'Nyengir'
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Gulaku Manis, Gulaku Getir, Konsumen 'Nyengir'

Selasa, 29 Apr 2008 08:39 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Gula selalu menjadi komoditi terpanas setelah beras dan minyak goreng. Tak henti-hentinya para pihak yang terlibat langsung dengan gula, seperti kelompok petani termasuk petani berdasi, Importir Terbatas (IT) dan Importir Produsen (IP) saling 'mengintip' dan saling melobi Pemerintah supaya kepentingan kelompoknya diuntungkan.

Siapapun yang diuntungkan oleh kebijakan Pemerintah, selalu mempunyai efek berantai dan pada akhirnya konsumen yang harus menanggung beban kebijakan Pemerintah tersebut karena naiknya harga makanan dan minuman. Siapa saja mereka itu ?

Petani jelas petani tebu rakyat yang menurut Pemerintah harus diberdayakan namun kenyataannya tak kunjung berdaya tetapi semakin merana karena munculnya banyaknya tengkulak atau rentenir berdasi dan berpengaruh yang mengatas namakan petani untuk menikmati kebijakan Pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

IT adalah para pihak yang diberi izin oleh Pemerintah (seperti PT Rajawali, PT Perkebunan Negara dsb) untuk mengimpor gula jika stok gula konsumsi local atau petani kurang.

Sedangkan IP adalah industri gula rafinasi (yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia atau AGRI) yang diizinkan Pemerintah untuk mengimpor gula sebagai bahan baku industri gula rafinasi lokal. Selain AGRI, IP juga diberikan oleh Pemerintah pada industri makanan dan minuman (termasuk UKM) sebagai bahan baku utama (sekitar 35%) pembuatan produk makanan dan minuman.

Pertikaian yang mengatasnamakan petani terus berlanjut. Namum pada intinya pertikaian ini muncul, menurut saya, karena adanya persaingan antara anggota AGRI dengan Industri Makanan dan Minuman sebagai sesama pemegang IP. Anggota AGRI pusing dan mengadu ke Pemerintah karena gula hasil produksinya tidak bisa terserap oleh industri makanan dan minuman yang juga mengimpor gula rafinasi. Sehingga AGRI mengusulkan pada Pemerintah agar IP industri makanan dan minuman dicabut atau dikenakan bea masuk yang tinggi aar produk anggota AGRI dapat terserap. Korbannya ? KONSUMEN pasti !

Pat Gulipat Pergulaan

Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia, kebutuhan gula pada tahun 2007 adalah 4,85 juta ton, yang terdiri dari 2,7 juta ton untuk konsumsi rumah tangga, industri besar makanan dan minuman membutuhkan 1,1 juta ton serta untuk UKM makanan dan minuman sebesar 1,05 juta ton.

Kondisi saat ini AGRI, dengan anggota sekitar 4 pabrik gula rafinasi menghasilkan sekitar 2 juta ton/tahun. Pada tahun 2009 akan ada 3 pabrik rafinasi baru dengan kapasitas sebesar 759 ribu ton/tahun. Sehingga total produk AGRI pada tahun 2009 adalah 2,76 juta ton/tahun. Total kebutuhan industri makanan dan minuman per tahun adalah 2,15 juta ton. Kekurangan sebesar 0,15 juta ton memang belum bisa dipenuhi oleh AGRI.

Selain AGRI tidak dapat memenuhi kebutuhan gula rafinasi industri makanan dan minuman lokal, kontinyuitas produksi anggota AGRI juga diragukan. Persoalan-persoalan ini yang memicu kalangan industri makanan dan minuman sebagai pemegang IP, untuk mengimpor gula rafinasi.

Sebagai industri pangan yang dikontrol ketat oleh aturan Pemerintah dalam hal mutu dan keamanan pangan, industri pangan atau makanan dan minuman mempunyai 5 syarat yang harus dipenuhi oleh produsen gula rafinasi (lokal dan impor), seperti : (1) harga harus kompetitif; (2) kualitas terjamin; (3) suplai kontinyu; (4) memenuhi persyaratan keamanan pangan (HACCP/GMP) dan (5) mempunyai komitmen kontrak penyediaan gula rafinasi jangka panjang. Poin-poin ini sulit dipenuhi oleh anggota AGRI.

Dari segi harga, gula produk AGRI berharga sekitar Rp. 5.300/kg sedangkan harga gula rafinasi impor (landed cost) sekitar Rp. 4.561/kg. Jadi harga gula rafinasi lokal lebih mahal sekitar Rp. 739 per kg nya. Sedngkan kebutuhan gula rafinasi bagi industri makanan dan minuman (termasuk UKM) berkisar antara 600.000 ton/tahun. Jadi bisa dibayangkan beban industri makanan dan minuman per tahun jika harus dipaksa membeli dari AGRI adalah Rp. 739 x 600.000.000 kg = Rp. 443,4 miliar! Selisih harga ini tentunya akan dibebankan pada KONSUMEN ! Pertanyaannya mengapa gula rafinasi lokal lebih mahal ?

Seharusnya gula rafinasi produk AGRI lebih murah, mengingat saat anggota AGRI mengimpor gula sebagai bahan baku pembuatan gula rafinasi bea masuk yang dikenakan hanya Rp 530/kg. Sedangkan sebagai sesama pemegang IP, industri makanan dan minuman saat mengimpor gula rafinasi dikenakan bea masuk oleh Pemerintah sebesar Rp. 790/kg. Jadi seharusnya harga gula rafinasi lokal lebih murah dari impor. Mengapa jadi lebih mahal ? Patut diduga industri gula rafinasi lokal dibebani banyak biaya siluman yang tidak diketahui publik, khususnya konsumen industri makanan dan minuman.

Kondisi inilah yang membuat industri makanan dan minuman memutuskan untuk mengimpor gula rafinasi demi menekan biaya produksi yang semakin mahal. Belum lagi faktor kelangsungan supplaynya dan kualitas. Bagi konsumen tentu akan mendukung jika harga terjangkau dan kualitas terjaga. Saya lalu berpikir, mengapa masih ada yang ingin mendirikan pabrik gula rafinasi di Indonesia jika pada akhirnya harga, kualitas dan kelangsungan supplynya tidak dapat bersaing dengan gula rafinasi impor ? Pasti ada udang dibalik batu. Silahkan para anggota AGRI ungkapkan di publik. Ini negara demokrasi bung, bukan democrazy.

Produk tidak dapat diserap oleh industri makanan dan minuman lalu AGRI merajuk minta fasilitas Pemerintah, misalnya minta supaya IP industri makanan dan minuman dihentikan atau bea masuk impor gula rafinasi dinaikan dari yang berlaku sekarang sebesar 20% menjadi diatas 50% dsb. Kalau ini yang terjadi maka anggapan konsumen adalah : JIKA KAU TAK PANDAI MENARI, JANGAN KAU SALAHKAN LANTAINYA YANG TAK RATA. Artinya kalau tak lihai berbisnis gula jangan salahkan pihak lain dengan meminta fasilitas Pemerintah. Kapan dewasanya anggota AGRI ? Katanya mau bersaing di kelas dunia ?

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Pemerintah


Sebagai regulator, Pemerintah harus arif menyikapi persoalan gula yang tak kunjung padam. Jangan sampai muncul fenomena : Gulaku Manis Gulaku Getir Konsumen "Nyengir". Sebaiknya dengan kondisi pangan yang langka dan mahal, Pemerintah tidak melakukan kebijakan disinsentif bagi industri, khususnya industri makanan dan minuman hanya demi segelintir orang tetapi mengorbankan petani, tenaga kerja sector industri makanan dan minuman serta KONSUMEN. Ingat daya beli konsumen sudah tergerus oleh inflasi dan mahalnya harga komoditas lainnya.

Dari kacamata saya sebagai pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen, permasalahan pokok kusutnya pergulaan ini patut diduga karena adanya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 527/MPP/KEP/2004 tentang KETENTUAN IMPOR GULA, khususnya Pasal 2 Ayat (4) : "Gula Kristal Rafinasi (refined sugar) hasil industri yang dimiliki oleh IP Gula yang sumber bahan bakunya berupa Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) berasal dari impor hanya dapat diperjualbelikan atau didistribusikan kepada industri dan dilarang diperdagangkan ke pasar di dalam negeri".

Dengan adanya Keputusan Menperindag tersebut, industri gula rafinasi lokal menjadi terhambat pertumbuhannya mengingat produknya tidak dapat terserap sepenuhnya oleh industri makanan dan minuman namun tidak dapat diperjualbelikan di pasar sebagai gula konsumsi. Saran saya Keputusan Menperindag tersebut direfisi, sehingga anggota AGRI dapat menjual produknya di pasar.

Saran lain, Pemerintah harus mewajibkan anggota AGRI menyerap gula rakyat dari petani, yang selama ini diklaim petani tidak terserap pasar. Konsumen saat ini sudah tidak tertarik dengan gula yang kotor atau tidak putih dan menggumpal seperti produk petani tersebut. Jadi jika anggota AGRI bisa menyerap gula petani sebagai bahan dasar pembuatan gula rafinasi dan lalu boleh menjualnya sebagai gula konsumsi, maka permasalahan pergulaan seharusnya selesai kecuali kepentingan-kepentingan rentenir gula yang selama ini ada masih diakomodasi oleh Pemerintah.

Mudah-mudahan Pemerintah, khususnya tim tariff dan Menteri Keuangan mau mempertimbangkan dengan masak-masak kebijakan yang kelak akan diambil demi sehatnya industri makanan dan minuman, terjaganya lapangan pekerjaan serta sejahteranya KONSUMEN Indonesia.

Keterangan Penulis:
Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.
(Agus Pambagio qom/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads