Singapura Itu Neraka
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Singapura Itu Neraka

Rabu, 26 Mar 2008 08:42 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Arman dan Buyung ditahan dan diinterogasi aparat imigrasi Singapura di bandara Changi. Paspor diplomatiknya diragukan. Penjelasannya disangsikan. Dua orang 'penting' dari sebuah negara berpenduduk ratusan juta jiwa itu harus menerima nasib buruk, dilecehkan  negeri yang berpenduduk puluhan juta jiwa.

Pelecehan itu menyulut reaksi keras. Banyak pihak, diantaranya wakil rakyat minta, agar pelecehan itu direaksi destruktif oleh pemerintah. Pasokan gas dari Natuna dihentikan. Atau kalau perlu meniru tindakan Bung Karno ganyang Singapura.

Kita memang bangsa yang patriotis. Gampang tersentuh dan bereaksi jika harga diri diganggu. Kalau dilokalkan, lebih baik poteh tulang daripada poteh mata. Itu pendirian saudara kita dari Madura dalam menyikapi terganggunya harga diri. Carok ! Tarung mempertaruhkan nyawa.

Patriotisme memang daya yang hebat. Dia punya jiwa ganda. Mampu memberi nilai lebih bagi sebuah keterbatasan. Akibat itu, Jepang dan Inggris dilawan pakai bambu yang diruncingi. Para santri menghadang meriam pakai potongan rotan. Puluhan ribu nyawa tak soal loncat dari badan. Dan di era kontemporer, kasus SARA gampang tersulut juga karena itu.

Irasional dan ngawur itu terjadi sampai kini. Patriotisme sempit yang dalam konteks kekinian tidak konstruktif itu masih laten bersemayam dalam benak kita. Padahal dengan patriotisme itu kita jadi tetap miskin, makin miskin, tertinggal, korup, serta selalu kalah !

Kekalahan itu sudah terjadi di segala sektor. Negara tak punya dana membiayai bermacam kebutuhan. Berbagai perusahaan dikuasai asing. Beberapa pulau dicaplok negeri tetangga yang diplomasinya piawai. Uang kita dibawa kabur koruptor yang memanfaatkan 'patriotisme' kita. Dan Arman serta Adnan? Itulah dampak dari segala kekurangan kita sebagai bangsa.

Di luar negeri, cap miring untuk bangsa ini sudah amit-amit. Kita selalu dicurigai cari pekerjaan untuk jadi pembantu. Kita selalu diragukan punya uang. Kita dicurigai tanpa tanda pengenal. Dan kita adalah pelahir kaum ekstremis.  Dalam bahasa sederhana, kita ini sudah miskin, patriotis (sombong) lagi !

Pandangan macam itu tak terkecuali terjadi pada tetangga terdekat kita, Malaysia dan Singapura. Kita baik pun dianggap buruk. Itu karena yang kita tunjukkan pada mereka selama ini memang lebih banyak buruknya. Keburukan yang terpaksa. Buruk sikap, buruk laku, dan buruk dalam mencari pekerjaan di negeri jiran.

Mungkin karena takut dilecehkan itu, saya, sampai seumur gini,  tidak berani menginjak Singapura. Kalau sedang ke negeri lain dan transit di Negeri Singa, saya tak menjejakkan kaki di negeri yang dari angkasa mirip  taman itu.  Bukan apa-apa. Hanya takut kena denda, yang bagi saya sama dengan pelecehan. Sebab pasal yang melahirkan denda itu tak logis bagi orang Indonesia.

Meludah didenda. Merokok didenda. Buang tisu didenda. Dan masih heterogen lagi larangan itu. Apalagi, teman saya Kim dari Singapura, yang hampir saban akhir pekan kongkow di sebuah Spa di Batam juga mengeluh tentang itu. Ia menyebut hidup di negerinya sama seperti di neraka. Apa-apa tidak boleh.

Terus bagaimana menyikapi pelecehan yang terjadi pada Arman dan Buyung? Kita ini miskin tapi tidak sadar kalau miskin, serta minta diperlakukan seperti negara kaya. Kalau ingin itu, ya kita harus memanusiakan rakyat Indonesia semuanya. Terutama buka lapangan kerja, agar kita tidak selalu mengemis pekerjaan ke Singapura atau Malaysia.

Keterangan Penulis:
Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com. (/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads