Tahun demi tahun, rasanya, kebahagiaan dan kedamaian hanyalah halusinasi. Itu amat rasional. Pembalakan menghancurkan hutan, meliarkan air dan melongsorkan tanah, dan perubahan itu memarjinalisasi penghuni negeri. Kita belum siap menerima akibat dari rusaknya lingkungan, dan belum berpikiran peristiwa itu ulah sendiri.
Kini, negeri ini, sudah masuk pusaran itu. Bencana tak mampu dicegah, dan tak bisa menghindar dari amuknya. Jika timbul kesadaran kolektif untuk memperbaikinya, prahara itu hanya bisa diperkecil, bukan ditiadakan. Kalau kesadaran itu ada, dan kesabaran kita punya, memang itulah solusi terbaiknya. Pertanyaannya, adakah kita mampu melakukannya? Β
Di tengah ketidaktahuan masa depan dan trauma masa silam itu, rasanya ada sebuah tawaran menarik dari dunia mitologi. Kepercayaan orang Jawa tentang kejadian alam raya dan manusia memberi pilihan di tengah tidak-adanya pilihan. Ini hikmah. Sebab bagi orang Jawa, mitos itu telah mendarah daging dan masuk ke dalam sumsum.
Dalam mitos itu disebut, adalah langit, bumi dan teja (cahaya) yang hadir bersama kelahiran Manik dan Maya. Itu nama anak-anak dari Sang Hyang Wenang yang kelak menguasai jagad manusia. Mitos ini memberi pesan, manusia dan alam adalah satu, karena proses terciptanya serentak.
Mitos yang berbeda lagi menyebutkan, Sang Hyang Wenang punya anak bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal ini menurunkan penggantinya setelah mengawini Dewi Rekatawati. Dari telur dewi kepiting inilah lahir tiga jabang bayi laki-laki yang bernama Manikmaya, Tejamantri, serta Ismaya.
Tiga 'manusia' itu kelak menguasai 'tiga dunia' yang mengekspresikan keyakinan Jawa perlunya menjaga harmonisasi . Yang satu jadi penguasa langit, menjadi pemimpin para dewa, yang satu menjadi penjaga kebaikan yang dilukiskan sebagai pengayom Pandawa, sedang yang satu lagi 'pendorong keburukan' ditempatkan sebagai 'batur' (pelayan) Kurawa.
Dalam dunia wayang, Manikmaya itu adalah Bathara Guru, Ismaya yang menjadi penjaga Pandawa adalah Semar, dan Tejamantri yang menjadi pelayan Kurawa itu adalah Togog. Tiga saudara yang menempati 'maqom' masing-masing itu tak ada yang bisa disebut jelek atau baik. Yang ada hanyalah tanggungjawab 'melestarikan' kebaikan, dan mempercepat keburukan.
Jangan heran, jika setiap cerita, selalu menempatkan Bathara Guru dan Semar di pihak yang benar. Dua wayang ini menjadi 'pengayom' keadilan. Titahnya selalu baik, dan yang dibimbing adalah tokoh-tokoh baik. Itu karena tugas keduanya memang menjaga kebaikan.
Ini sangat kontradiktif dengan posisi Togog. Juragan yang dilayaninya selalu salah, dia terus dipersalahkan, dan usul serta sarannya juga wajib salah. Itu agar semua yang mengikuti sarannya ikut salah, dan kesalahan (keburukan) itu berubah menjadi tindakan buruk, untuk mempercepat hilangnya manusia buruk, sikap buruk, dan usulan-usulan buruk.
Kini, ketika negeri ini sudah masuk sebuah situasi yang dilematis, maka tinggal ada dua pilihan. Mengadopsi watak Semar untuk ditauladani, atau justru mengundang Togog sebagai provokator. Sebab naga-naganya, di tahun 2008 ini, banyak Togog yang mengambil kesempatan. Berkoar-koar demi ketidakbenaran politik, dan itu menambah amunisi bagi percepatan negeri ini menuju kehancuran. (Djoko Suud Sukahar/)