Wong Kota Itu Wong Ndeso
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Wong Kota Itu Wong Ndeso

Rabu, 10 Okt 2007 08:54 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Puluhan juta manusia seperti gabah diinteri. Bergerak serentak memenuhi jalanan, stasiun, terminal, dan juga bandara. Berbagai karakter tampil dalam bentuk aslinya. Hanya satu yang sama, yaitu tujuannya. Mereka kembali ke desa. Mudik ke dusun asalnya. Sebuah daerah yang selama ini identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, dan hidup susah. Gambaran itu amat kontras dengan keseharian 'manusia kota' itu. Hidup yang kompetitif memaksa mereka masuk lingkaran kepalsuan. Dan lambat tapi pasti, mereka akhirnya terbiasa hidup dalam kebohongan itu. Memalsu penampilan, status, termasuk asal-usulnya yang kelahiran desa. Akibat 'penyakit kota' itu, pongah dan individualis adalah bawaan manusia kota. Secara kasat, memang dia seperti manusia yang kuat segalanya. Lahir batin, phisik dan psikis. Padahal di balik itu, lemah rasa, lemah batin, dan mungkin sebagian terjangkit 'sakit jiwa' adalah problem para urbanis. Hari-hari ini, di kala persaingan hidup di kota harus terhenti sementara, maka karakter asli mereka tak mampu ditutupi lagi. Wong ndeso itu tampil apa adanya. Watak kaku, kasar, dan terkadang gampang tersinggung luluh sudah. Yang hadir justru sentimentalitas. Cengeng dan romantis memenuhi sanubari. Dan sebagai pengobat rasa itu, maka harapannya tunggal, ingin bernostalgia, mengenang masalalu.Nostalgia massal itu terjadi beberapa hari ini. Ramai orang mudik telah mengubah kota menjadi desa, dan desa menjadi kota. Desa yang lengang dengan penduduknya yang sederhana jadi kota dadakan. Pakaian mentereng dan mobil berseliweran menjadi pemandangan umum. Itu karena 'orang kota' yang sudah berubah status sosialnya itu ternyata belum mampu menanggalkan warisan 'watak ndesonya' yang suka pamer. Untuk itu jangan kaget, ketika 'orang kota' itu kembali ke kota, mereka tidak akan sendirian lagi. Beberapa suporter akan ikut. Dia adalah orang desa yang ingin jadi 'manusia kota', dan berharap bisa menikmati rejeki kota seperti para pendahulunya yang bisa pamer harta dan 'martabat' di desanya. Urbanisasi memang dampak ikutan dari ritus mudik. Namun adakah hanya itu? Tentu tidak. Bagi 'orang kota' itu, mudik adalah katarsis. Mereka amat membutuhkan desa untuk cuci otak dan cuci batin dari polusi kota yang telah membuatnya tidak utuh lagi sebagai 'manusia'. Manusia yang berwatak manusiawi, dan manusia yang bisa 'disanak', dimana menempatkan tali persaudaraan sebagai landasan inti.Sebab kendati 'orang kota' telah menjadi manusia yang 'lu-lu dan gue-gue', namun dalam hati kecilnya masih tumbuh kesadaran, bahwa hidup soliter bukanlah harapan. Hidup yang 'baik' perlu solidaritas. Kerukunan, saling membutuhkan, saling menolong, saling mengasihi. Hingga segarang apapun hidup yang terjalani, hati masih mampu tersentuh oleh penderitaan orang lain. Solidaritas macam ini tumbuh subur di desa. Komunalitas itu adalah roh desa. Dalam ketenangan suasana, lemahnya gesekan kebutuhan, dan rimbunnya tanaman yang memayungi alam desa telah menjadikan desa sebagai 'penjaga dan pelahir' insan yang berwatak dan berbudi luhur. Maka di balik pengaruh buruk tradisi mudik, ada banyak manfaat bagi kehidupan 'manusia kota' ke depan. Mereka akan jadi arif bagi yang sombong, jadi toleran bagi yang angkuh, dan jadi dermawan bagi yang kikir. Insyaallah !Selamat mudik, saudaraku. Hati-hati di jalan. Baca Subhanallah, dan usahakan untuk tidak 'mokel' puasanya.Keterangan Penulis:Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com. (Djoko Su\'ud Sukahar/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads