Beberapa tahun terakhir, kita semakin sering mendengar keluhan yang sama: hujan terasa lebih lebat, datang lebih sering, dan berlangsung lebih lama. Banjir yang dulu dianggap kejadian langka kini muncul hampir setiap musim hujan.
Angin kencang tidak lagi mengejutkan, tetapi justru menimbulkan kewaspadaan rutin. Seolah-olah, sesuatu sedang berubah-namun sulit kita jelaskan secara sederhana.
Masalahnya, banyak dari kita masih membaca peristiwa ini sebagai cuaca semata. Padahal, yang sedang bergeser bukan hanya cuaca harian, melainkan pola iklim itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sinilah letak kesalahpahaman yang sering terjadi: kita menilai kejadian hari ini tanpa melihat perubahan statistik di belakangnya.
Cuaca adalah apa yang kita rasakan dari hari ke hari-hujan, panas, atau angin. Iklim berbeda. Ia berbicara tentang kecenderungan jangka panjang, tentang peluang, tentang seberapa sering suatu kejadian bisa terulang.
Perubahan iklim tidak berarti setiap hari akan terjadi cuaca ekstrem, melainkan bahwa peluang terjadinya kejadian ekstrem itu semakin besar.
Dulu, hujan sangat lebat mungkin dikategorikan sebagai peristiwa dua puluh atau tiga puluh tahunan. Kini, hujan dengan intensitas serupa dapat muncul setiap beberapa tahun, bahkan berulang dalam satu musim hujan yang sama.
Artinya, yang dulu kita sebut sebagai anomali perlahan bergeser menjadi bagian dari pola baru. Inilah yang oleh para ilmuwan disebut sebagai "normal baru" iklim.
Normal baru ini sering disalahartikan sebagai sesuatu yang biasa. Padahal, yang berubah bukan hanya frekuensi, tetapi juga intensitas dan akumulasi. Hujan ekstrem yang datang sekali mungkin masih dapat ditoleransi oleh alam dan sistem manusia.
Namun hujan ekstrem yang datang berulang, dalam jarak waktu yang berdekatan, menciptakan tekanan yang jauh lebih besar.
Indonesia, sebagai negara tropis dengan laut hangat dan kandungan uap air tinggi, sangat sensitif terhadap perubahan kecil suhu global. Sedikit peningkatan suhu laut dapat meningkatkan kapasitas atmosfer untuk menyimpan uap air.
Ketika uap air ini dilepaskan, hujan yang turun bukan lagi sekadar lebat, melainkan sangat lebat dalam waktu singkat.
Di banyak wilayah Indonesia, termasuk di kawasan pantai barat Sumatra, hujan lebat sejatinya bukan fenomena baru. Wilayah ini secara alami memiliki pola hujan ekuatorial dengan dua puncak hujan tahunan.
Namun yang membedakan situasi sekarang adalah intensitas dan keterulangannya. Hujan ekstrem datang berkali-kali sebelum tanah sempat mengering, sebelum sungai kembali ke kapasitas normalnya.
Akibatnya bersifat akumulatif. Tanah kehilangan daya serap, lereng menjadi rapuh, dan sungai meluap lebih cepat. Banyak bencana hidrometeorologi tidak terjadi karena satu kejadian hujan besar, melainkan karena rangkaian hujan ekstrem yang datang bertubi-tubi.
Dalam kondisi seperti ini, bencana menjadi bukan lagi soal "jika", tetapi "kapan".
Sering kali, ketika bencana terjadi, kita menyalahkan alam. Padahal, hujan hanyalah bahaya. Ia baru berubah menjadi bencana ketika bertemu dengan kerentanan yang diciptakan manusia: hutan yang hilang, daerah resapan yang menyusut, sungai yang menyempit, dan kota yang tumbuh tanpa ruang air.
Perubahan iklim meningkatkan tingkat bahaya, sementara keputusan pembangunan menentukan besarnya risiko.
Dengan kata lain, hujan yang sama dapat menjadi berkah di satu tempat, tetapi menjadi bencana di tempat lain. Perbedaannya bukan terletak pada hujannya, melainkan pada kesiapan wilayah dan masyarakatnya.
Di sinilah tantangan besar kita hari ini. Jika cuaca ekstrem telah menjadi bagian dari normal baru iklim, maka pendekatan lama tidak lagi memadai. Kita tidak bisa terus mengandalkan ingatan masa lalu untuk membaca risiko masa depan. Pola lama tidak lagi menjadi rujukan yang aman.
Perubahan iklim sering tidak datang sebagai peristiwa dramatis yang langsung terasa. Ia hadir perlahan, menggeser batas-batas yang kita anggap wajar, hingga suatu hari kita menyadari bahwa kejadian luar biasa telah berubah menjadi rutinitas yang berbahaya. Ketika itulah, ketidaksiapan berubah menjadi kerentanan.
Memahami perubahan ini bukan untuk menimbulkan kepanikan, melainkan untuk membangun kesiapsiagaan. Membaca iklim hari ini berarti menyadari bahwa yang "biasa" tidak selalu aman, dan yang "normal" belum tentu bisa kita terima begitu saja. Karena dalam iklim yang berubah, kewaspadaan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Nofiyendri Sudiar. Dosen Fisika, Koordinator Penanganan Perubahan Iklim (13) SDGs Center dan Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.
(rdp/imk)










































