Konflik internal Nahdlatul Ulama (NU) mencapai "titik-temu" di Lirboyo. Di tengah eforia klaim islah, nama KH. Imam Jazuli muncul seakan anti islah, karena pendiriannya sejak awal adalah supremasi Syuriah harus terus dikawal sebagai cara menjaga marwah ulama dan jam'iyah.
Tetapi faktanya, jauh sebelum islah Lirboyo menjadi sorotan, Pengasuh Bina Insan Mulia ini telah menyodorkan "Roadmap Syuriah" pada 25 November 2025 sebagai peta jalan keluar dari kemelut, yaitu islah konstitusional, bukan islah kultural. Sebab semua keputusan organisasi harus sesuai dengan produk hukumnya, yaitu AD/ART dan Perkum NU.
Argumen Kiai Imam Jazuli tidak berangkat dari kebencian personal, melainkan dari kedisiplinan organisasi. Sejak awal konflik (25 November), beliau telah memproyeksikan bahwa muara dari ketegangan ini haruslah Islah. Namun, islah dalam pandangan Kiai Imam bukanlah sekadar "salaman" atau formalitas budaya yang menghapus dosa administratif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Kiai Imam, Islah harus memiliki landasan konstitusional yang kuat. Roadmap yang beliau tawarkan adalah sebuah prosedur di mana kesalahan diletakkan pada porsinya, dan penghargaan diberikan pada tempatnya. Ini adalah upaya menjaga marwah Syuriah sebagai pemegang otoritas tertinggi di NU, agar tidak didegradasi oleh kebijakan eksekutif yang menyimpang.
Kiai Imam Jazuli sendiri memandang kepemimpinan Gus Yahya bersifat dialektis. Di satu sisi, beliau mengakui secara jujur bahwa Gus Yahya memiliki kontribusi nyata dalam mendinamisasi NU. Pengakuan ini adalah bentuk objektivitas yang jarang ditemukan dalam konflik politik.
Namun, di sisi lain, Kiai Imam mencatat dua pelanggaran berat yang tidak bisa diputihkan begitu saja melalui sekadar permintaan maaf. Yaitu, dugaan infiltrasi paham Zionisme yang dinilai bertentangan secara diametral dengan garis perjuangan NU, yang ada pada qonun asasi dan konstitusi negara, serta masalah tata kelola keuangan yang menyangkut akuntabilitas organisasi.
Dalam kacamata Kiai Imam, dua hal di atas adalah pelanggaran organisasi yang menuntut sanksi tegas: pemberhentian dari jabatan Ketua Umum. Islah yang ditawarkan Kiai Imam adalah Gus Yahya "turun" dengan terhormat, dialihkan perannya sebagai salah satu Rais Syuriah (sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya), namun, tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara organisatoris.
Mengapa islah Lirboyo dianggap belum ideal? Atau pertanyaan retorisnya adalah: mengapa Kiai Imam menolak "islah" di Lirboyo? Jawabannya terletak pada "distorsi makna islah" itu sendiri. Kiai Imam melihat adanya manuver yang menggunakan klaim islah untuk tujuan sebaliknya.
Pertama, islah sebagai pemutihan dosa. Islah yang terjadi saat ini dituding sebagai alat untuk menghilangkan sanksi organisasi. Alih-alih melakukan koreksi, islah ini justru memberikan legitimasi bagi pelanggaran yang telah terjadi.
Kedua, islah sebagai alat "pukul balik" dan perlawanan. Ironisnya, proses islah ini seolah memutarbalikkan logika; Syuriah yang seharusnya menjadi penjaga gawang moral organisasi, justru diposisikan seolah-olah pihak yang salah atau "rewel". Penggunaan pengaruh kiai sepuh untuk menekan arus bawah agar menerima perdamaian tanpa syarat administratif dinilai sebagai bentuk eksploitasi terhadap marwah ulama sepuh.
Ketiga, kebuntuan hukum. Faktor krusial yang membuat "Islah Konstitusional" Kiai Imam menemui jalan buntu adalah tidak keluarnya SK Kemenkumham terkait struktur yang diusulkan. Tanpa legitimasi negara, islah Konstitusional kehilangan taring hukumnya, menyisakan islah seremonial yang hanya menguntungkan status quo.
Ijtihad Kiai Imam Jazuli melalui Roadmap 25 November adalah pengingat bahwa NU bukan sekadar paguyuban budaya, melainkan organisasi modern yang diikat oleh AD/ART. Islah tanpa sanksi atas pelanggaran berat-terutama terkait infiltrasi faham asing dan keuangan-hanya akan menjadi preseden buruk bagi masa depan organisasi.
Bagi Kiai Imam, islah adalah sebuah keharusan, tetapi tahapannya harus benar. Jika islah hanya dijadikan topeng untuk menutupi borok struktural dan membungkam nalar kritis Syuriah, maka islah tersebut bukanlah perdamaian, melainkan penaklukan konstitusi di bawah ketiak kekuasaan.
Dr KH Najiullah Fauzi, Lc. M.H.I. Pengasuh Pesantren As-Syuhada Babakan Cirebon, Alumni Al-Ahqof, Yaman.
Simak juga Video: Gus Yahya Akui Ada Banyak Masalah di Internal PBNU











































