Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh beberapa waktu lalu masih membekas dalam ingatan publik. Peristiwa yang tercatat sebagai salah satu banjir bandang terbesar di Sumatera bagian utara sejak masa kolonial itu seolah menjadi puncak dari rangkaian bencana serupa yang terus berulang.
Intensitas dan daya rusaknya terus meningkat, sementara jangkauan wilayah terdampaknya kian meluas dari waktu ke waktu.
Fenomena tersebut bukan sekadar dampak dari cuaca ekstrem atau anomali alam. Ia juga merupakan cerminan dari perubahan lanskap ekologis yang semakin dikendalikan oleh aktivitas ekonomi ekstraktif.
Ada kaitan logis antara nalar pembangunan kapitalistik dan skala kerusakan ekologis yang terjadi saat ini.
Dalam hal ini, ekspansi modal menjadi pendorong utama perubahan struktur geografis yang kerap melampaui batas-batas ekologis dan menggerus fungsi penyangga alam yang seharusnya dilindungi.
Pembahasan mengenai ekspansi modal tidak terlepas dari pemikiran David Harvey tentang spatial fix. Harvey mendefinisikan modal sebagai nilai yang harus selalu bergerak dan bersirkulasi agar dapat mempertahankan daya hidupnya (dalam Herdiawan, 2022).
Dalam kenyataannya, pergerakan modal sewaktu-waktu dapat mengalami hambatan-hambatan spasial, misalnya karena keterbatasan sumber daya, kejenuhan produksi atau sebab ekspansi bisnis.
Ketika menemui berbagai hambatan tersebut, modal membutuhkan ruang-ruang geografis baru agar tetap dapat menjaga sirkulasi dan akumulasi kapital. Inilah yang disebut Harvey sebagai spatial fix, yang menunjukkan bagaimana modal mengatasi krisis dan berekspansi menuju wilayah baru yang potensial.
Dampak Ekspansi Modal terhadap Ruang Ekologis
Ekspansi modal di Indonesia berlangsung dengan pola yang makin agresif. Ruang-ruang ekologis yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga ekosistem makin tersisih oleh kepentingan produksi. Perluasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) terus merangsek ke hulu daerah aliran sungai (DAS). Aktivitas pertambangan bergerak menuju lereng yang rawan longsor.
Proyek-proyek strategis nasional mengonversi hutan, mangrove, dan lahan basah (wetland) serta kawasan gambut menjadi proyek lumbung pangan (food estate), perluasan sawit, hingga infrastruktur energi.
Perubahan lanskap semacam ini bukan hanya menggerus daya dukung lingkungan, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan emisi karbon, mengurangi daya serap tanah, dan memperbesar potensi banjir bandang serta longsor.
Dalam proses ini, ketimpangan ekologis semakin tampak jelas. Manfaat dari ekspansi modal cenderung terakumulasi pada segelintir pihak yang berada di lingkaran elite kepentingan. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di wilayah hilir harus menanggung "biaya eksternalitas ekologis" berupa risiko bencana banjir dan tanah longsor.
Masyarakat adat, petani, dan masyarakat desa di hulu DAS merasakan dampak paling besar. Mereka kehilangan lahan, mata pencaharian, hingga tempat tinggal.
Kasus banjir di Sumatera Barat hingga Aceh memperlihatkan pola sistemik, bahwa risiko ekologis cenderung "dibebankan" pada kelompok paling rentan dalam struktur sosial tanpa mendapatkan timbal-balik manfaat yang memadai.
Keberpihakan Ekologis sebagai Paradigma
Bencana yang menimpa Sumatera bagian utara saat ini memperlihatkan secara gamblang adanya subordinasi ekologi di bawah ambisi pertumbuhan. Dalam banyak kasus, perlindungan lingkungan belum sepenuhnya berfungsi sebagai prinsip yang menuntun kebijakan, dan hanya hadir secara normatif dalam dokumen perencanaan.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya menempatkan keberpihakan ekologis sebagai paradigma pembangunan. Ia harus menjadi patron dalam setiap tahap kebijakan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi pembangunan.
Terkait hal itu, RPJMN 2020β2024 memang mencatat sejumlah langkah penting. Pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui Perpres Nomor 120 Tahun 2020, yang melanjutkan mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) pada periode sebelumnya, menunjukkan upaya negara memperbaiki kerusakan ekologis.
Namun langkah semacam itu belum dapat mencerminkan bergesernya paradigma pembangunan. Ruang ekologis masih diperlakukan sebagai objek ekspansi kapital.
Mitigasi bencana dan perlindungan ekologis seolah berjalan sebagai pelengkap administratif, bukan sebagai dasar utama dalam menata ruang.
RPJMN 2025β2029 sebenarnya memberikan harapan bagi keberpihakan ekologis. Dokumen ini memuat komitmen untuk mendorong transisi energi, memperkuat ekonomi hijau, meningkatkan mitigasi risiko bencana, dan menata ruang berdasarkan daya dukung serta daya tampung lingkungan. Namun persoalannya bukan sekadar apa yang tertulis, melainkan bagaimana hal itu diterjemahkan dan dieksekusi.
Di sinilah sejumlah pertanyaan krusial perlu diajukan. Misalnya, sejauh mana keberpihakan ekologis benar-benar digunakan sebagai prinsip dan paradigma, bukan sekadar program dekoratif yang berpotensi menjadi praktik greenwashing?
Apakah arah pembangunan ke depan akan semakin didorong oleh kepentingan kapital, ataukah mulai mengarus-utamakan keberlanjutan ekologis? Tanpa keberpihakan ekologis, pembangunan hanya akan melahirkan pertumbuhan yang timpang dan memperparah kerusakan alam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menata Ulang Relasi Kapital dan Ekologi
Keberpihakan ekologis bukan sekadar isu moralitas, melainkan juga sebagai bentuk tanggungjawab ilmiah dan kebijakan untuk mencegah potensi bencana yang lebih besar di masa depan. Untuk mewujudkannya, sejumlah prinsip kunci perlu ditegaskan kembali.
Pertama, tata ruang harus dibangun berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, bukan semata proyeksi ekonomi.
Kedua, ekspansi industri ekstraktif dikendalikan melalui instrumen perizinan yang ketat dan transparan. Ketiga, audit ekologis menjadi syarat utama investasi untuk memastikan aktivitas ekonomi tidak mendorong risiko bencana. Keempat, masyarakat adat dan lokal perlu dilibatkan sebagai pengawas ruang ekologis, bukan sekadar objek pembangunan. Kelima, mitigasi bencana harus menjadi bagian integral dari proses perizinan, bukan hanya sebagai pelengkap setelah proyek berjalan.
Banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera seolah menjadi alarm keras bahwa pembangunan yang mengabaikan ekologi justru menghadirkan kerusakan yang jauh lebih besar ketimbang manfaat yang dijanjikannya.
Ke depan, Indonesia perlu menata ulang relasi antara ekspansi kapital dan kelestarian ekologi. Sudah saatnya ekologi menjadi panglima dalam pembangunan, bukan melulu menjadi korban dari ambisi pertumbuhan.
Masa depan pembangunan Indonesia akan ditentukan antara lain oleh kemampuannya menjaga pendulum relasi kapital dan ekologi. Dalam jangka panjang, pendulum tersebut semestinya diarahkan pada keberpihakan ekologis demi menjaga nilai paling krusial dari pembangunan, yakni kemanusiaan.
Syamsul Arifin. Dosen Ekonomi Pembangunan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan; Founder Media Progresif.
Tonton juga video "BNPB: Hampir Tak Ada Lagi Jasad Korban Banjir Sumatera di Permukiman"
(rdp/imk)










































