Artificial Intelligence dan Pendidikan Berkesadaran
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Artificial Intelligence dan Pendidikan Berkesadaran

Senin, 22 Des 2025 10:06 WIB
Aceng Hidayat
Dekan Sekolah Vokasi IPB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Artificial Intelligence dan Pendidikan Berkesadaran
Foto: Ilustrasi pendidikan (Getty Images/JNemchinova)
Jakarta -

Menurut catatan arkeologis, kertas sudah ditemukan pada abad kedua sebelum masehi. Namun, Cai Lun, seorang pejabat pada Dinasti Han Timur, di Lei-Yang, Tiongkok, mengumumkan penemuannya secara resmi pada tahun 105 masehi.

Temuan itu dijaga ketat sehingga baru sampai Jepang, Timur Tengah dan Eropa beberapa abad kemudian. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Spanyol pada abad ke-8 (Wikipedia Indonesia, 2025).

Lantas, pada akhir abad ke-15 Inggeris mulai memproduksi kertas besar-besaran. Pada tahun 1890, Amerika mendirikan pabrik kertas pertama di Pennsylvania. Sebelum ditemukan kertas, karya-karya akademik, sastra, filsafat, dan lain-lain dicatat pada ragam media, seperti kulit binatang, batang pohon, bebatuan, tanah lihat, dan dedaunan. Karya-karya sastra melayu, umpamanya, dicatat pada daun lontar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Evolusi Pembelajaran

Kekurangan media untuk mencatat, tidak membuat para ilmuwan kehilangan akal untuk mengabadikan dan menyebarkan karya-karyanya. Mereka memanfaatkan kekuatan penuturan. Itulah sebabnya, pertemuan langsung antara guru dan murid untuk mengajarkan ilmu merupakan satu-satunya cara.

Pada filsuf Yunani abad ke-6 SM seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, dan lain-lain rela menempuh ribuan kilometer dan ratusan hari untuk menemui dan belajar kepada para bijak di Babilonia atau di Mesir, yang kala itu sebagai pusat kebudayaan. Sehingga diperlukan kekuatan metal, tekad, fisik dan kecukupan bekal untuk mendapatkan ilmu. Itulah sebabnya para guru tidak memiliki banyak murid. Mereka hanya mengajarkan ilmu pada orang-orang pilihan.

ADVERTISEMENT

Memasuki abad ke-8 hingga awal abad 21 Masehi, sudah mulai berkembang budaya mencatat. Sejalan dengan ditemukannya industri kertas, tinta, alat tulis dan mesin cetak. Pada abad ini, para pembelajar mengandalkan kekuatan membaca, menghafal, menulis dan menganalisis.

Kita mengenal Imam Al Ghazali, Hujjatul Islam, hafal 300.000 hadis beserta sanad dan substansi matannya. Bahkan ada yang mengatakan hafal hingga 500.000 hadist. Kitab Ihya Ulumuddin, karya magnum opusnya, terdiri atas 12 jilid pada versi aslinya.

Ini menunjukkan Imam Al Ghazali memiliki kemampuan membaca dan menulis yang luar biasa. Tradisi seperti ini juga terjadi pada hampir semua ilmuwan baik di Barat maupun di Timur pada masa itu. Mereka para pembelajar dan pencari ilmu pada era ini harus memiliki kekuatan membaca karya-karya besar dengan ratusan hingga ribuan halaman, lalu meneniliti, menganalisis dan menuliskannya kembali.

Yang pinter kala itu adalah mereka yang memiliki kekuatan membaca dan menulis. Kekuatan otak dimaksimalkan untuk menyerap ilmu lalu menuliskannya kembali. Di kalangan pesantren ada istilah alilmu fishudur laisa fishuthur. Ilmu itu yang di kepala bukan di buku. Imam Ali RA mengatakan, 'ikatlah ilmu dengan tulisan'.

Pada saat kuliah tingkat satu tahun 1986, saya kagum dengan dosen fisika yang mengajar tanpa buku. Ia menuliskan dan menerangkan ilmnuya di papan tulis dengan menggunakan kapur. Rapih dan sistematis. Kami para mahasiswa menyalinnya untuk dibaca dan dipelajari kembali. Kala itu, guru adalah sumber ilmu. Mereka membaca, meneliti, menuliskan lalu menyampaikan kepada para murid-muridnya. Murid yang pinter adalah murid yang kuat membaca dan menulis.

Memasuki awal tahun dua ribuan, terjadi revolusi teknologi informasi. Internet sudah mulai masuk ke kampus-kampus. Dunia terkoneksi dengan jaringan sistem informasi. Dan informasi terkumpul di dunia maya yang ntah dimana tersimpannya. Mesin-mesin mencari informasi sudah mulai dikenal seperti Yahoo, Google dan lain-lain. Bahkan, jurnal-jurnal ilmiah, textbook dalam bentuk e-book bisa diakses dengan mudah.

Meskipun dikunci, para hacker bisa membobolnya dan mendapatkan bahan bacaan itu dengan mudah. Jurnal dan textbook yang sebelumnya begitu sakral yang hanya bisa dimiliki oleh doktor luluasan luar negeri kini menjadi barang umum yang bisa diakses oleh siapa saja.

Guru dan murid, dosen dan mahasiswa bisa balapan mendapatkan ilmu. Mereka yang menguasai frasa lalu menuliskannya di mesin pencari informasi yang akan lebih dahulu mendapatkan ilmu. Mereka butuh apa, mesin mencarikannya. Pada era ini, kemampuan membaca masih diperlukan. Karena dengan pengetahuan yang dimiliki para pencari ilmu bisa mencari sumber-sumber pengetahuan baru di mesin penyedia informasi.

Kini kita memasuki era artificial intelligence (AI). Mesin cerdas yang melebihi kecerdasan manusia. Mereka bisa menyimpan jutaan kata dan frasa. Bekerja dengan sistem algoritma, mereka bisa menjawab hampir semua pertanyaan dengan cepat dan tepat.

Dalam hitungan detik. Bahkan, bukan hanya menjawab tapi membuatkan dan menuliskannya. Anda perlu puisi, pantun, jurnal imiah, artikel, bahan pidato, sambutan pernikahan, buku dan lain-lain, minta saja pada AI, mereka akan membuatkannya.

Modalnya adalah hanya kejelasan prompt, ketepatan pertanyaan dan frasa, outline, kejelasan metodologi, maka AI akan mengejakannya dengan sempurna. Para pembelajar yang akan berhasil pada era ini adalah mereka yang pandai membuat prompt dan pertanyaan. Maka dari itu, kalau dulu kita mengikuti pelatihan menulis jurnal atau opini, para pembelajar saat ini mengikuti pelatihan membuat prompt.

Itulah evolusi pembelajaran. Dan itu pula yang membuat para pegiat pendidikan saat merasa khawatir. Berada di persimpangan. Peran dosen dan guru akan diambil alih oleh AI. Bankan, di beberapa perguruan tinggi dunia, peran dosen dalam kelas sudah digantikan AI. Dan, gilanya, mereka menyampaikan materi perkuliahn jauh lebih sistematis dibandingkan dengan dosen yang tidak siap dengan materi.

Inilah yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai ancaman bagi lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Sehingga banyak perguruan tinggi yang mendaur ulang kurikulum, program studi, dan metoda pembelajaran agar bisa tetap eksis di tengah-tengah gempuran AI.

Pertanyaannya, perlukah kita khawatir dengan AI? Pada bagian akhir tulisan ini, saya mencoba menyampaikan esensi pendidikan yang tidak bisa dikerjakan AI sehingga saya masih optimis perguruan tinggi akan tetap eksis.

Esensi Pendidikan

Sebelum era AI, kita telah mengenal lebih dulu robot. Dikutip dari tulisan Zener Sukra Lie, Evolusi Robot, Robot modern pertama, Unimate, dibuat pada tahun 1954. Unimate adalah robot pertama yang digunakan pada industri perakitan.

Pada era 1960 hingga 1980 berkembang robot yang lebih canggih dengan tujuan untuk mengerjakan pekerjaan berulang agar lebih tepat, cepat, akurat dan dapat mengurangi kesalahan manusia (human eror). Era ini dikenal dengan Era Industri 3.0 atau automation, computer dan electronic.

Pada era 1080 hingga 1990, teknologi komputer dan informatika semakin berkembang. Pada era ini, robot pun semakin pintar sehingga mulai dapat melakukan pekerjaan yang lebih kompleks, interaksi dengan lingkungan dan mengambil keputusan berdasarkan input data.

Pada era 2000an hingga sekarang robot semakin cerdas, sejalan dengan berkembangnya teknologi AI. Robot humanoid, dengan sistem algoritma menyerupai otak manusia, ia bisa berpikir dan berinteraksi dengan lingkungan layaknya seorang manusia.

Sekarang robot ini digunakan pada industri kesehatan untuk mendiagnosa penyakit, meracik obat; industri jasa dan pelayanan; pendidikan; perakitan dan lain-lain. Pada bidang pendidikan, robot dengan AI-nya dapat menggantikan peran dosen, terutama dalam proses pembelajaran, riset dan publikasi.

Apalagi saat ini dengan berkembangnya ragam aplikasi AI seperti Gemini, DeepSeek, dan Metha AI, produksi karya-karya akademik yang selama ini merupakan otoritas para ilmuwan, telah diambil-alih oleh aplikasi-aplikasi tersebut.

Inilah yang dianggap ancaman sekaligus peluang bagi lembaga pendidikan tinggi. Lalu, bagaimana kita menyikapinya?

Kita perlu menyikapi hal ini dengan pendekatan kesadaran. Menyadari apa tujuan dibalik perkembangan AI ini, dan apa sejatinya tujuan pendidikan. Pertama, perkembangan teknologi, termasuk AI, telah bergeser dari upaya untuk membantu memudahkan urusan manusia menjadi menggantikan manusia.

Karena manusia dianggap tidak efisien, biaya tinggi, banyak melakukan kesalahan, dan kurang produktif.

Hal ini terkait pula dengan perubahan tujuan memproduksi barang/jasa dari pemenuhan kebutuhan manusia menjadi sarana mencari keuntungan dan akumulasi kapital. Inilah prinsip ekonomi kapitalisme menghilangkan kamunisaan (humanity) dan memanusiakan manusia (humanize) demi perolehan keuntungan. Perguruan tinggi 'dipaksa' untuk menghasilkan manusia dan teknologi untuk dapat memenuhi nafsu dan keserakahan kapitalisme.

Hal ini yang tidak disadari oleh kebanyakan pegiat pendidikan tinggi. Malah sebaliknya mereka menjadi bagian dari sistem itu dan turut membesarkan serta menikmatinya. Pada titik ini, dengan kesadaran kita perlu berani melakukan reorientasi pengembangan teknologi untuk solusi dan kesejahteraan manusia.

Karena ini sejatinya tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan itu pula yang dilakukan para ilmuwan sejak dahulu kala. Mereka memiliki landasan falsafah yang sangat kuat, apa kemanfaatan teknologi bagi manusia dan lingkungannya.
Kedua, manusia memiliki raga dan kecerdasan (otak). Pada aspek ini, ia dapat digantikan robot dan AI yang tentu lebih kuat dan cerdas.

Lebih produktif dan akurat. Namun, manusia memiliki komponen hati tempatnya olah rasa untuk menghasilkan kebijaksanaan (wisdom). Sampai kapan pun robot dan AI tak akan mampu menggantikan ini. Tak akan ada algoritmanya. Karena hal ini merupakan paket ciptaan Allah dengan ruh yang ditiupkannya. Sebab itu, pendidikan, selain olah raga dan otak, perlu pula olah rasa agar dapat menghasilkan manusia bijak berakhlak.

Pendidikan tanpa olah rasa hanya akan menghasilkan manusia tanggung. Dibilang Robot bukan, karena berwujud manusia. Mau dibilang manusia, tapi kok ada elemen rasa yang tak terolah. Padahal, kemanusiaan pada manusia terletak pada rasanya. Pada kelembutannya. Yang akan menghasilkan akhlak mulia.

Oleh sebab itu, pendidikan tinggi perlu dibangun di atas dasar kesadaran. Kesadaran apa sejatinya tujuan pendidikan manusia dan sadar pula apa tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kesadaran ini, kita tidak perlu khawatir dengan AI. Rileks saja. Dan insya Allah, pendidikan berdampak dan bermanfaat sebagaimana slogan Kementerian Sains, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemensainstekdikti) akan menjadi kenyataan. Bukan hanya slogan. Begitukah pak Menteri?

Aceng Hidayat. Dekan Sekolah Vokasi IPB.

Tonton juga video "Waspada! Kini AI Bisa Tiru Suara Orang Terdekatmu"

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads