×
Ad

Kolom

Fenomena 'Mohon Izin' dan 'Siap'

Febryanto Silaban - detikNews
Jumat, 19 Des 2025 13:09 WIB
Foto: Ilustrasi kamus bahasa (Istimewa)
Jakarta -

Ada satu kebiasaan berbahasa yang belakangan ini semakin sering saya temukan dalam berbagai ruang komunikasi, khususnya di dunia kerja. Hampir setiap orang, sebelum bicara, selalu membuka kalimat dengan "mohon izin...", "izin bertanya...", "mohon arahan...", atau "siap". Apa pun konteks kalimat berikutnya, frasa-frasa itu muncul secara refleks, seolah menjadi semacam prosedur standar untuk bernapas.

Yang lebih menarik, atau justru membingungkan, adalah bahwa ungkapan tersebut sering tidak memiliki hubungan logis dengan kalimat selanjutnya. "Mohon izin, saya sudah kirim emailnya." "Mohon izin, saya setuju." Bahkan, "Mohon izin, saya sudah duduk."

Tidak jarang, frasa ini dilontarkan bukan karena benar-benar membutuhkan izin, tetapi karena lidah sudah terlalu terbiasa mengucapkannya sebagai semacam pembuka yang dianggap sopan.

Ya, memang kedengarannya sopan, tertib, dan penuh rasa hormat. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: dari mana kebiasaan linguistik ini berasal, dan apa dampaknya terhadap cara kita berinteraksi sebagai sesama warga negara yang setara?

Fenomena ini bukan lagi sekadar selingan kata, melainkan telah menjadi verbal tic. Verbal tic adalah suara yang diucapkan refleks, cepat, berulang, dan tidak disengaja yang mengakar kuat terutama di lingkungan pemerintahan dan korporat, sebelum akhirnya menyusup hingga ke percakapan di warung kopi, angkutan umum, obrolan dengan ojol, dan bahkan dinamika keluarga.

Seolah-olah, tanpa mengucapkan "mohon izin", pembicaraan kita dianggap kurang beradab; tanpa membalas "siap", komitmen kita dianggap kurang loyal.

Bahasa Militer yang Bermigrasi ke Mana-Mana

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam tradisi militer, penggunaan frasa seperti "siap", "mohon izin", atau "siap laksanakan" merupakan bagian dari disiplin komando, suatu sistem yang menuntut respons tegas, jelas, dan hierarkis. Bahasa berstruktur vertikal semacam ini sangat efektif dalam konteks operasi, instruksi, atau situasi yang membutuhkan kepatuhan cepat dan tanpa ambigu.

Masalah mulai muncul ketika language game ini bermigrasi ke ranah sipil. Pemerintahan, dengan budaya birokrasinya yang cenderung vertikal, menjadi tanah subur pertama bagi benih bahasa ini tumbuh. Lambat laun, sektor swasta pun ikut "latah", mengadopsinya sebagai bentuk kesopanan baru atau, secara tidak sadar, sebagai cara untuk meniru kesan "disiplin" dan "efisien" yang melekat pada dunia tentara.

Bahasa tentara, rupanya, sangat berhasil menyeberang lintas sektor, dan menjadi semacam gaya komunikasi baru.

Yang terjadi kemudian bukan sekadar pertukaran kata, tetapi pergeseran nilai. Nilai egaliter dan kolaboratif dalam ruang sipil tergerus oleh nuansa komando dan subordinasi.

Sebuah rapat brainstorming yang seharusnya mendorong kebebasan berpendapat, tiba-tiba menjadi seperti apel pagi, di mana setiap ucapan perlu "mohon izin" dan setiap tugas harus diakhiri dengan "siap".

Dalam grup WhatsApp keluarga pun, frasa itu semakin sering muncul. Saya pernah melihat anggota keluarga menyapa di grup dengan "Mohon izin, mau tanya, besok jadi makan bersama atau tidak?" Padahal, ini diskusi keluarga, bukan apel pagi.

Suasana menjadi kaku, jarak psikologis menganga, dan kreativitas yang membutuhkan keberanian untuk salah atau berbeda pendapat, akhirnya layu sebelum berkembang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini sekadar tren linguistik yang kebetulan terdengar keren, atau kah gejala lain yang lebih dalam?

Pertanyaan ini penting karena bahasa bukan hanya alat komunikasi; bahasa adalah cermin cara berpikir. Ketika sebuah masyarakat semakin sering menggunakan ekspresi hierarkis, boleh jadi struktur berpikirnya pun ikut membentuk hirarki yang sama.

Saya sempat bertanya-tanya, apakah ini sekadar gaya atau sebenarnya ekspresi dari alam bawah sadar bahwa "semua akan fasis pada waktunya"?

Feodalisme Baru dalam Baju Modern

Inilah yang saya sebut sebagai feodalisme linguistik. Kita sudah 78 tahun merdeka dari penjajah, tetapi mentalitas kolonial, dalam bentuknya yang baru, ternyata masih bercokol, kali ini melalui kata-kata yang kita anggap "normal".

Feodalisme tidak selalu tentang menyembah raja; ia bisa tentang penerimaan tanpa kritik terhadap hierarki, pengultusan otoritas, dan ritual bahasa yang menegaskan posisi "bawah" dan "atas".

Contoh paling nyata dan-maaf-sedikit menggelikan, adalah budaya "mengosongkan nomor urut" dalam daftar presensi rapat. Berapa kali kita melihat lembar presensi dengan nomor 1, 2, dan 3 yang kosong, disediakan khusus untuk sang atasan, meskipun yang datang lebih dulu adalah staf biasa? Padahal, logika presensi adalah urutan siapa datang duluan.

Saya sempat berpikir, mungkin ini semacam tradisi leluhur. Atau mungkin ada larangan tak tertulis bahwa tanda tangan di baris 1 bisa mengundang roh penasaran. Tapi ternyata tidak. Ini murni... ketakutan sosial. Semacam penghormatan simbolik.

Apakah atasan benar-benar peduli jika ia berada di baris 4? Tentu tidak. Rupanya ketakutan itulah yang membuat baris 1-3 selalu kosong. Jika daftar hadir saja tidak egaliter, bagaimana percakapannya?

Dalam dunia kerja profesional, terutama ketika bertemu mitra dari instansi pemerintah, kesan "tidak setara" ini sangat terasa. Dialog tidak mengalir sebagai pertukaran ide antarmitra, tetapi lebih seperti laporan bawahan kepada atasan.

Kata "mohon izin" menjadi tembok pembatas yang halus, mengingatkan semua pihak tentang posisi mereka dalam piramida imajiner tersebut. Padahal, dalam dunia profesional modern, spirit yang ingin dibangun adalah kolaborasi. Bukan atasan-bawahan, tetapi mitra-kemitraan.

Bayangkan jika filsuf Ludwig Wittgenstein hadir dalam rapat itu. Ia mungkin akan manggut-manggut sambil menulis catatan baru dalam buku filsafat yang hilang: "In certain offices in Jakarta, language games resemble military drills."

Sebab, bagi Wittgenstein, bahasa itu permainan. Dan permainan yang sedang dimainkan di ruangan itu sangat jelas: permainan hierarki. Satu bicara dari atas menara komando, yang lain menjawab dengan posisi siap grak.

Masalahnya, kita sedang bermain dalam permainan yang salah, di papan yang salah, dan untuk isu yang salah.

Demokratisasi Bahasa: Mungkinkah?

Ada yang mengatakan, "Ah, itu cuma kalimat pembuka. Tidak perlu dibawa terlalu serius."

Bisa jadi benar. Tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa pilihan bahasa membentuk pola pikir kolektif.

Di banyak negara egaliter, orang memulai bicara dengan langsung pada poin: "I want to ask...", "I think...", "Let's discuss...". Tanpa basa-basi hierarkis. Namun di Indonesia, kita menambahkan lapisan-lapisan "kesopanan" yang sebenarnya tidak diminta, tidak wajib, dan tidak selalu cocok, hanya karena sudah menjadi kebiasaan massal.

Wittgenstein pernah mengatakan, "Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt." Batas bahasaku adalah batas duniaku.

Ketika bahasa kita terlalu sering memakai pola "mohon izin", dunia yang tercipta adalah dunia di mana kita menempatkan diri di posisi lebih rendah, bahkan ketika tidak perlu. Maka tidak heran, percakapan menjadi kaku. Ruang kreatif menyempit.

Yang paling berbahaya, masyarakat secara kolektif tanpa sadar sedang membangun budaya tunduk.

Lantas, apakah kita harus menghapus kata "mohon izin" dan "siap" dari kamus? Tentu tidak ekstrem begitu. Bahasa berkembang mengikuti zaman, ruang, dan kebutuhan sosial. Bahkan, di banyak tempat, bahasa aparat ini justru dianggap lucu, asyik, dan menghibur. Anak muda menggunakannya untuk bercanda. Grup pertemanan memakainya sebagai gimmick khas.

Jadi, tidak ada yang salah dengan bentuk bahasanya. Yang perlu kita waspadai adalah semangat hierarkis yang menyelinap diam-diam di balik penggunaan yang tidak disadari.

Ada banyak alternatif yang lebih egaliter tanpa menghilangkan rasa hormat. Misalnya, gantilah "Mohon izin" dengan "Permisi, saya akan menyampaikan..." atau lebih baik lagi, langsung ke pokok pembahasan dengan "Saya akan memulai presentasi mengenai...". Pendengar yang beradab akan tahu kapan waktunya menyimak.

Ganti juga "Siap" yang kaku dengan "Baik, akan saya kerjakan", "Paham, saya tindak lanjuti", atau "Saya setuju, mari kita eksekusi". Respons ini tetap afirmatif, tetapi terasa lebih manusiawi dan partisipatif.

Pada akhirnya, ini bukan soal kata "siap". Bukan soal "mohon izin". Ini soal kebiasaan mental. Setiap kata yang kita ucapkan tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk realitas hubungan. Bahasa membangun budaya. Ketika kita memilih kata yang setara, kita secara aktif membangun budaya yang egaliter.Bila bahasa kita selalu tunduk, jangan heran bila cara berpikir kita pelan-pelan ikut tunduk.

Sebagai bangsa yang menjunjung demokrasi dan menjamin kebebasan berpendapat dalam konstitusi, kita seharusnya tidak terjebak dalam budaya komunikasi yang menempatkan seseorang lebih rendah tanpa alasan. Konsep egaliter bukan hanya nilai abstrak, tetapi bisa dimulai dari hal kecil: cara kita membuka kalimat.

Demokrasi hidup dari keberanian berbicara, bukan dari izin berbicara. Ia tumbuh dari dialog setara, bukan dari jawaban "siap" yang otomatis.

Langsung Saja, Tak Perlu Minta Izin

Kita mungkin tidak akan mampu mengubah kultur berbahasa ini dalam waktu dekat. Bahasa adalah produk sejarah, pengalaman kolektif, dan kebiasaan ribuan jam percakapan. Namun bukan berarti kita tidak bisa mengajukan pertanyaan kritis, atau mencoba mendorong perubahan perlahan.

Mari kita mulai dengan lebih peka mendengarkan kata-kata kita sendiri. Karena, sebagaimana dikatakan filsuf Wittgenstein, "Batas bahasaku adalah batas duniaku." Jika dunia yang kita inginkan adalah dunia yang setara, kolaboratif, dan inovatif, sudah saatnya kita memilih kata-kata yang membebaskan, bukan yang membatasi.

Untuk sementara, mari kita nikmati saja fenomena ini sebagai warna-warni komunikasi Indonesia. Namun, sambil tetap sadar: jangan sampai gaya bahasa membuat kita lupa bahwa semua manusia setara: di rapat, di kantor, di ruang publik, maupun di daftar hadir yang baris 1 sampai 3 seharusnya tidak perlu dikosongkan. Langsung saja, tak perlu mohon izin.

Febryanto Silaban. Mantan wartawan, pemerhati bahasa, dan praktisi Public Relations di sektor privat. Ia merupakan alumni program S2 bidang kebijakan publik dari Universitas Indonesia.

Tonton juga video "Seskab Teddy: Jangan Menggiring-giring Seolah Pemerintah Tidak Kerja"




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork