Kericuhan penagihan utang di Kalibata dengan cepat menyedot perhatian publik. Media sosial bereaksi, dan yang menarik, ada suara yang berpihak kepada pelaku pengeroyokan. Peristiwa ini sering dibaca sebagai konflik lokal antara warga, debt collector, dan penegak hukum. Namun pembacaan semacam itu terlalu sederhana. Jika kita menarik lensa sedikit ke belakang dan melihat ke luar negeri, Kalibata sesungguhnya adalah potret kecil dari sebuah kelelahan yang lebih besar, kelelahan utang global yang kini dialami hampir seluruh dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat bahwa sekitar delapan puluh persen perekonomian global saat ini memiliki tingkat utang yang lebih tinggi dibanding sebelum pandemi COVID-19, dan laju kenaikannya justru semakin cepat. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan kawasan Eropa, hingga negara-negara berkembang, berada dalam tekanan fiskal dan sosial yang serupa: utang membesar, sementara ruang bernapas ekonomi semakin menyempit. Pandemi mungkin telah berakhir, tetapi tagihannya baru benar-benar dimulai sekarang.
Selama pandemi, utang menjadi alat penyelamat bersama. Pemerintah berutang untuk menjaga ekonomi tetap hidup, perusahaan berutang agar tidak runtuh, dan rumah tangga berutang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dunia sepakat bahwa berutang jauh lebih baik daripada kolaps. Namun pascapandemi, dunia memasuki fase yang berbeda : fase penagihan dan penyesuaian. Di sinilah ketegangan mulai terasa, bukan hanya di neraca keuangan, tetapi juga di ruang sosial sehari-hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian lintas negara menunjukkan bahwa utang pascakrisis berkorelasi kuat dengan peningkatan stres dan kecemasan, menurunnya kemampuan mengambil keputusan rasional, serta meningkatnya konflik sosial, terutama ketika penagihan dilakukan secara agresif atau di ruang publik. Riset psikologi keuangan menjelaskan mekanismenya dengan gamblang: penagihan yang memalukan, mengancam, berulang, dan tanpa empati mendorong otak manusia masuk ke mode emosional : fight, freeze, or flight ( meledak, membeku, atau menghindar).
Beban ini semakin berat ketika seseorang menghadapi banyak utang sekaligus. Penelitian nasional di Inggris menemukan bahwa individu dengan problem hutang, memiliki risiko ide bunuh diri (flight mode) tiga kali lebih tinggi, dan risikonya meningkat drastis ketika berhadapan dengan banyak penagih dalam waktu bersamaan. Artinya, cara menagih bukan sekadar soal efektivitas finansial, tetapi dapat berdampak langsung pada kesehatan mental dan keselamatan jiwa.
Pola ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, keluhan terhadap penagih hutang, melonjak tajam, terutama terkait kartu kredit dan utang medis. Banyak warga bahkan ditagih untuk utang yang tidak pernah mereka miliki. Di Inggris, praktik penagihan, termasuk oleh otoritas publik seperti pajak daerah, sering terasa lebih agresif daripada perusahaan penagih. Surat-surat resmi yang kaku, legalistik, dan bernada ancaman terbukti memperburuk kondisi psikologis warga, terutama mereka yang sudah berada dalam kondisi mental yang rapuh.
Di Indonesia, tekanan itu muncul dalam bentuk gesekan di jalanan (fight mode), ketika praktik penagihan informal bertemu emosi publik yang telah lama jenuh. Bentuknya berbeda, tetapi polanya sama.
Masyarakat pada dasarnya tidak menolak kewajiban membayar utang. Yang dipertanyakan adalah cara menagihnya, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Banyak konflik penagihan lahir dari zona abu-abu: praktik informal yang minim pengawasan, insentif ekonomi yang mendorong tekanan cepat, serta ketiadaan mekanisme mediasi yang manusiawi di ruang publik. Literatur akademik internasional secara konsisten menunjukkan bahwa penagihan berbasis intimidasi justru merusak kepatuhan jangka panjang, memperbesar konflik, dan menggerus kepercayaan terhadap sistem keuangan dan hukum. Penagihan yang kasar mungkin menang cepat, tetapi masyarakat kalah banyak.
Kasus Kalibata seharusnya dibaca bukan sebagai aib, melainkan sebagai alarm sosial. Alarm bahwa utang pascapandemi adalah fenomena global, bahwa tekanan ekonomi kini dirasakan lintas kelas dan lintas negara, dan bahwa cara menagih akan menentukan apakah pemulihan ekonomi berjalan beradab atau justru meretakkan kepercayaan sosial. Utang adalah kewajiban, tetapi martabat manusia bukan alat penagihan. Di era utang global yang membesar, kemanusiaan bukan pelengkap kebijakan, tetapi adalah fondasinya.
Dr. Devie Rahmawati, CICS, Assoc.Prof. Vokasi UI
(maa/maa)










































