Merawat Warisan Djuanda: Antara Pengawasan, Pemberdayaan, dan Krisis
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merawat Warisan Djuanda: Antara Pengawasan, Pemberdayaan, dan Krisis

Sabtu, 13 Des 2025 12:55 WIB
Arif Hidayatullah
Peneliti doktoral dalam bidang hukum laut di University of Wollongong
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Merawat Warisan Djuanda: Antara Pengawasan, Pemberdayaan, dan Krisis
Foto: Istimewa
Jakarta -

Deklarasi Djuanda 1957 merupakan tonggak penting kebangkitan Indonesia sebagai negara kepulauan. Pernyataan tersebut bukan sekadar reposisi batas laut, melainkan artikulasi ulang tentang siapa Indonesia-sebuah negara yang disatukan oleh laut, bukan dipisahkan olehnya. Sejatinya, gagasan Indonesia sebagai kesatuan telah muncul jauh sebelum kemerdekaan.

Kajian akademik abad ke-19, terutama tulisan J.R. Logan dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Second eds 1849), telah menggambarkan wilayah ini sebagai satu entitas maritim yang saling terjalin oleh mobilitas, pertukaran, dan interaksi antarkawasan. Logan bahkan menggunakan istilah "Indonesia" secara formal untuk merujuk pada satuan geografis dan kultural yang terhubung oleh laut dan aktivitas masyarakatnya. Artinya, konsep kesatuan Indonesia bukanlah konstruksi politik semata, tetapi memiliki dasar akademik dan historis yang kuat.

Dalam kerangka ini, respons cepat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menghimpun dan menyalurkan bantuan bagi korban bencana di Sumatra baru-baru ini menjadi momen reflektif. Pengiriman bantuan melalui kapal pengawas dan pesawat patroli, serta koordinasi lintas lembaga, menunjukkan bagaimana elemen kemaritiman dapat dioptimalkan untuk menjangkau lokasi bencana ketika akses darat terputus oleh banjir bandang dan longsor. Meskipun tidak seluruh korban adalah nelayan, tindakan cepat tersebut menegaskan komitmen kehadiran negara yang tidak membedakan latar belakang masyarakat terdampak. Peristiwa ini juga mengingatkan bahwa masyarakat pesisir dan kampung nelayan, yang kerap berada di wilayah rentan terhadap bencana hidrometeorologis, memerlukan dukungan tata kelola yang konsisten dan berkelanjutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deklarasi Djuanda dan Visi Negara Kepulauan

Banyak orang memahami Deklarasi Djuanda semata sebagai reposisi batas laut dari tiga mil kolonial menjadi garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar. Padahal, lebih dari itu, Deklarasi Djuanda adalah pernyataan filosofis tentang Indonesia sebagai negara maritim. Ia berfungsi sebagai koreksi terhadap rezim kolonial yang memecah-mecah ruang hidup Nusantara menjadi kepingan teritorial yang terpisah oleh laut lepas.

Kolonial Belanda, melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, mengatur bahwa setiap pulau hanya memiliki laut teritorial selebar tiga mil, sehingga perairan di antara pulau-pulau besar berada dalam status laut lepas. Akibatnya, tatanan geografis yang sebenarnya saling terhubung justru diperlakukan sebagai ruang terpecah. Deklarasi Djuanda membalikkan paradigma tersebut dengan menegaskan bahwa laut adalah perekat kesatuan nasional.

ADVERTISEMENT

Visi itu kemudian menjadi dasar konseptual bagi rezim negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Namun visi saja tidak cukup. Realisasi negara kepulauan menuntut kemampuan tata kelola yang tangguh, adaptif, dan menyeluruh. Indonesia hari ini masih terus diuji untuk membuktikan kapasitas tersebut.

Pengawasan Kelautan dan Perikanan: Salah Satu Pilar Utama Tata Kelola Negara Kepulauan

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tantangan pengawasan kelautan dan Perikanan Indonesia bersifat struktural. Ribuan pulau, garis pantai terpanjang kedua di dunia, dan arus perdagangan internasional yang padat menuntut kehadiran negara yang tak bisa bersifat sporadis. KKP, melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, dalam beberapa tahun terakhir meningkatkan kapasitas, intensitas patroli, memperluas wilayah operasi, dan memperkuat penggunaan teknologi pemantauan seperti Vessel Monitoring System (VMS) dan Automatic Identification System (AIS).

Pengawasan yang kuat penting bukan semata untuk menangkap pelanggar, tetapi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan. Bagi banyak komunitas pesisir, laut bukan hanya ruang ekonomi, tetapi ruang hidup. Kehilangan stok ikan berarti kehilangan sumber pangan, pendapatan, dan identitas.

Namun pengawasan di laut selalu menghadapi tantangan: luasnya wilayah, keterbatasan armada, perbedaan kapasitas daerah, serta inovasi pelanggaran yang semakin canggih. Tantangan inilah yang membuat penguatan pengawasan harus ditempatkan sebagai proses berkelanjutan, bukan proyek jangka pendek.

Ketika bencana melanda, kapasitas pengawasan itu diuji dalam konteks lain-bukan untuk menindak pelanggaran, tetapi untuk membantu publik. Respons KKP memperlihatkan bahwa selain melaksanakan fungsi patroli dan pemantauan, KKP juga dengan baik melaksanakan fungsi sistem tanggap darurat yang memungkinkan negara menjangkau wilayah terdampak melalui jalur laut ketika akses lain terputus.

Pemberdayaan Nelayan: Pilar Kedua Tata Kelola Pesisir

Sejalan dengan penguatan pengawasan, KKP juga mengembangkan program pemberdayaan masyarakat nelayan. Dimulai dari Kampung Nelayan Modern (Kalamo), program ini berfokus pada perbaikan infrastruktur dan peningkatan akses terhadap sarana produksi. Tahap berikutnya, Kampung Nelayan Maju (Kalaju), memperluas fokus tersebut dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan usaha nelayan.

Dalam versi terbaru, Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP), program ini dikonsolidasikan menjadi model pemberdayaan yang lebih komprehensif. KNMP tidak hanya menyasar perbaikan fisik, tetapi juga penguatan kapasitas sumber daya manusia, efisiensi rantai pasok, pembangunan industri kecil berbasis perikanan, hingga peningkatan literasi keuangan dan digital di tingkat komunitas.

Transformasi Kalamo-Kalaju-KNMP menunjukkan adanya upaya adaptif untuk menemukan pendekatan yang paling relevan bagi konteks pesisir yang sangat beragam. Namun, keberhasilan program ini tidak terlepas dari sejumlah tantangan: ketergantungan pada anggaran daerah, disparitas antarwilayah, keterbatasan modal nelayan kecil, dan kebutuhan akan data yang akurat sebagai dasar perencanaan.

Pemberdayaan semestinya tidak hanya mengurangi ketimpangan, tetapi memperkuat posisi tawar nelayan dalam sistem produksi dan distribusi hasil laut. Tanpa pemberdayaan yang efektif, percakapan tentang negara kepulauan akan kehilangan inti manusianya.

Krisis di Pesisir: Menguji Ketangguhan Negara Kepulauan

Bencana di Sumatera beberapa waktu lalu membuka kembali kerentanan wilayah pesisir Indonesia. Banjir bandang, longsor, abrasi, dan gelombang ekstrem sering kali melanda kawasan yang dihuni komunitas nelayan. Kerentanan ini bukan hanya produk kondisi alam, tetapi juga akumulasi ketidaksiapan infrastruktur, perubahan iklim, dan keterbatasan akses terhadap sumber daya mitigasi bencana.

Dalam situasi seperti itu, respons cepat KKP menjadi hal yang penting. Keputusan menggerakkan kapal pengawas, pesawat patroli, dan kolaborasi lintas instansi menunjukkan kesiapan negara untuk hadir ketika masyarakat pesisir menghadapi krisis. Namun respons darurat hanya salah satu bagian dari keseluruhan spektrum tata kelola pesisir. Ketangguhan sejati memerlukan investasi jangka panjang dalam mitigasi bencana, edukasi kebencanaan, pembangunan infrastruktur pesisir yang tahan risiko, dan integrasi kebijakan di tingkat pusat dan daerah.

Pesisir Indonesia bukan hanya garis batas, tetapi ruang sosial-ekologis yang menyimpan risiko dan potensi. Ketidakmerataan infrastruktur dan kapasitas daerah membuat sebagian wilayah pesisir masih bergantung pada inisiatif pusat. Dalam kondisi demikian, koordinasi antarinstansi menjadi hal yang krusial, baik dalam pengawasan laut maupun dalam mitigasi bencana.

Integrasi Tata Kelola: Pekerjaan Besar yang Belum Usai

Keberhasilan negara kepulauan bukan hanya ditentukan oleh kemampuan membangun narasi, tetapi oleh kemampuan mengintegrasikan kebijakan lintas sektor. Pengawasan laut harus sejalan dengan pemberdayaan nelayan; pemberdayaan harus selaras dengan mitigasi bencana; mitigasi harus diintegrasikan dengan tata ruang laut dan pesisir; sementara seluruh kebijakan itu harus ditopang oleh data, ilmu pengetahuan, dan dukungan fiskal yang memadai.

Tantangan integrasi ini menjadi pekerjaan besar yang belum selesai. Fragmentasi kebijakan masih terjadi, terutama ketika berbagai kementerian dan pemerintah daerah memiliki prioritas berbeda. Model integrasi yang ideal adalah model yang memungkinkan fleksibilitas lokal tetapi dalam kerangka nasional yang solid.

Merawat Warisan Djuanda di Abad ke-21

Semangat Deklarasi Djuanda 1957 bukan hanya tentang batas laut, tetapi tentang menyatukan ruang hidup, menegaskan identitas maritim, dan membangun tata kelola yang menjaga keberlanjutan. Tantangan hari ini sangat berbeda dari tahun 1957: perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, tekanan ekonomi global, kebutuhan teknologi, dan dinamika sosial baru di pesisir.

Namun prinsip dasarnya tetap sama: laut adalah penghubung, dan penghubung ini harus dijaga melalui tata kelola yang kuat, adaptif, dan berkeadilan. Pengawasan laut yang tangguh, pemberdayaan nelayan yang inklusif, serta kesiapsiagaan menghadapi krisis merupakan tiga pilar yang saling terkait dalam menjaga ketangguhan negara kepulauan.

Jika Indonesia ingin menjaga warisan Djuanda, maka ia harus memastikan bahwa laut tidak hanya menjadi ruang simbolik dalam peta, tetapi ruang hidup yang benar-benar dilindungi dan dimaknai dalam kebijakan publik. Dengan demikian, negara kepulauan bukan hanya identitas formal, tetapi realitas keseharian masyarakat di sepanjang pesisir Nusantara.

Arif Hidayatullah, peneliti doktoral dalam bidang hukum laut di University of Wollongong, dengan fokus kajian pada praktik negara kepulauan, tata kelola kelautan dan perikanan, dan hukum laut internasional. Penelitiannya menelaah kebijakan kemaritiman Indonesia serta perkembangan rezim negara kepulauan dalam hukum internasional.

Tonton juga video "Deklarasi Balfour Diungkit Setelah Inggris Akui Palestina, Apa Itu?"

(akn/akn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads