Ketika banjir bandang dan longsor besar baru-baru ini meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, Pemerintah memperkirakan kebutuhan dana rekonstruksi dan pemulihan mencapai sekitar Rp 51,82 triliun, dengan porsi terbesar dibutuhkan Aceh lebih dari Rp 25 triliun.
Angka itu sama sekali bukan kecil, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah pola yang berulang: bencana datang, nyawa melayang, anggaran "dicarikan", lalu kita kembali ke rutinitas sampai bencana berikutnya.
Padahal, kawasan utara dan barat Sumatra ini adalah etalase risiko bencana Indonesia. Aceh memiliki memori kolektif tsunami 2004 yang menewaskan hampir 200 ribu orang dan menjadi titik balik lahirnya BNPB serta reformasi sistem penanggulangan bencana nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sumatera Barat oleh BNPB disebut sebagai provinsi dengan "potensi bencana yang sangat lengkap", mulai dari gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir bandang, hingga longsor. Sumatera Utara, dengan garis pantai, kawasan pesisir rendah, dan gunung api aktif, menghadapi risiko serupa.
Secara global, laporan Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2025 yang bertajuk "Resilience Pays: Financing and Investing for Our Future" menegaskan bahwa biaya bencana, jika termasuk kerusakan ekosistem dan efek rambatan, telah melampaui 2,3 triliun dolar AS per tahun.
United Nations office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) mengingatkan bahwa dengan mengintegrasikan pengurangan risiko ke dalam kebijakan dan keputusan investasi, kita dapat memutus 'siklus kejutan, kerugian, dan utang yang berulang'.
Pesan ini bukan teori abstrak, Bank Dunia memperkirakan bahwa investasi pada infrastruktur yang lebih tahan iklim di negara berpendapatan rendah dan menengah memberikan manfaat rata-rata empat kali lipat dari setiap satu dolar yang ditanamkan.
Studi lain yang dikutip Kamar Dagang AS menemukan bahwa "setiap 1 dolar yang diinvestasikan dalam ketahanan dan kesiapsiagaan iklim menghemat 13 dolar kerugian kerusakan, biaya pembersihan, dan dampak ekonomi."
Yang sering kurang dibahas adalah: siapa membiayai semua ini, dan dengan arsitektur pendanaan seperti apa?
Indonesia Sudah Bergerak: Climate Budget Tagging dan Pooling Fund Bencana
Di tingkat nasional, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup progresif dalam membangun kerangka pembiayaan iklim dan bencana.
Pertama, Kementerian Keuangan sejak 2016 menerapkan climate budget tagging (CBT) untuk menandai porsi belanja negara yang terkait aksi iklim. Kementerian Keuangan mencatat bahwa penandaan anggaran iklim telah mencapai Rp 610,12 triliun secara kumulatif hingga 2025.
Artinya, negara sudah cukup serius mengidentifikasi dan menandai rupiah demi rupiah untuk mitigasi dan adaptasi. Kedua, pemerintah membangun Pooling Fund Bencana (PFB) sebagai mekanisme dana bersama. Secara resmi, PFB diposisikan sebagai bagian dari Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) yaitu strategi pendanaan dan asuransi risiko bencana untuk mengatur pembiayaan melalui APBN/APBD sekaligus memindahkan sebagian risiko ke pihak ketiga melalui skema asuransi dan instrumen keuangan lain.
Tiga provinsi yang saat ini sedang terdampak bencana sangat layak menjadi "laboratorium" nasional untuk inovasi pembiayaan mitigasi bencana dan iklim. Mengapa layak? Pertama, karena jejak traumatis dan frekuensi bencananya. Selain tsunami 2004, banjir, longsor, dan banjir bandang berulang hampir setiap tahun.
Di Aceh Tamiang, laporan terbaru menggambarkan rumah sakit lumpuh diterjang banjir, peralatan medis terendam, dan warga menghadapi wabah penyakit pascabencana. Di Sumatera Barat, banjir bandang dan aliran lahar dingin dari Gunung Marapi menewaskan puluhan orang dan memusnahkan sawah serta permukiman.
Kedua, karena ketergantungan ekonomi pada sektor yang sangat rentan iklim: pertanian, perikanan, kehutanan, dan pariwisata alam. Setiap banjir bandang yang menghancurkan sawah di lereng, atau longsor yang memutus jalan nasional, bukan hanya kerugian fisik, melainkan hilangnya pendapatan rumah tangga dan terganggunya rantai pasok.
Menata Ulang Arsitektur Pembiayaan untuk Mengurangi Risiko, Bukan Kerusakan
Strategi mitigasi bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat perlu dimulai dari pembenahan cara kita membiayai risiko, bukan sekadar membiayai kerusakan.
Dengan kebutuhan pemulihan pascabencana yang pernah diperkirakan menembus puluhan triliun rupiah hanya untuk tiga provinsi ini, pola anggaran darurat yang sporadis sudah jelas tidak berkelanjutan.
Pemerintah daerah perlu menurunkan kerangka nasional seperti climate budget tagging ke level APBD dan RPJMD, sehingga jelas berapa porsi belanja yang benar-benar diarahkan untuk mengurangi risiko banjir bandang, longsor, dan tsunami, misalnya melalui rehabilitasi daerah aliran sungai, perlindungan hutan lindung dan mangrove, penguatan drainase kota, serta pembangunan jalur evakuasi dan shelter tsunami yang terhubung dengan tata ruang.
Di tingkat pusat, PFB perlu dimanfaatkan bukan hanya untuk membangun kembali pascabencana, tetapi juga dikunci sebagian untuk pembiayaan infrastruktur mitigasi struktural di kawasan prioritas seperti lereng Gunung Marapi, daerah aliran sungai yang kritis, dan kota-kota pesisir seperti Banda Aceh, Meulaboh, dan Padang.
Di atas fondasi fiskal tersebut, strategi pembiayaan harus diperluas dengan instrumen inovatif berbasis risiko dan partisipasi multipihak. Pendekatan DRFI dapat diwujudkan dalam skema parametric insurance untuk banjir dan gempa yang memberikan dana cepat saat parameter tertentu tercapai, asuransi mikro untuk petani dan nelayan agar rumah tangga rentan tidak jatuh semakin miskin setelah bencana, serta eksplorasi instrumen jangka menengah seperti catastrophe bond skala nasional yang portofolionya memasukkan risiko Aceh, Sumut, dan Sumbar.
Di saat yang sama, proyek mitigasi di daerah, mulai dari penguatan tanggul, restorasi hutan dan mangrove, hingga infrastruktur hijau di kawasan wisata, dapat dikemas menjadi proyek public-private partnership, green bond atau sukuk hijau daerah yang ditopang reputasi Indonesia sebagai penerbit instrumen hijau global.
Seluruh arsitektur pembiayaan ini mensyaratkan tata kelola yang transparan dan partisipatif: data alokasi dan realisasi anggaran dibuka ke publik, studi risiko dan analisis biaya-manfaat proyek dapat diuji komunitas ilmiah, dan masyarakat dilibatkan sejak perencanaan.
Dengan begitu, tiga provinsi paling rawan di Sumatra ini berpeluang bertransformasi dari "koridor bencana" menjadi etalase nasional bagaimana mitigasi bencana dan pembiayaan iklim dapat berjalan beriringan, menghemat anggaran dalam jangka panjang sekaligus melindungi kehidupan dan penghidupan warganya. Bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terlalu sering diberitakan sebagai "bencana alam tak terelakkan".
Padahal, laporan-laporan global terbaru justru menegaskan bahwa kita berada dalam siklus yang dapat diintervensi: bencana, kerugian, utang, lalu kembali ke titik awal.
Jika kita sungguh belajar dari dua dekade pasca-tsunami Aceh dan rentetan banjir bandang di Sumatra, maka strategi mitigasi dan pembiayaannya bukan lagi pilihan moral, melainkan keharusan fiskal dan politik.
Karena pada akhirnya, menghindari kerugian adalah bentuk penghematan paling rasional, bagi anggaran negara, bagi daerah, dan bagi setiap keluarga yang rumahnya berulang kali hanyut oleh arus yang sama.
Indrawan Susanto. Pegawai di Direktorat Kerja Sama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan, Kemenkeu RI.
Tonton video "Menteri LH: Menjadikan Lingkungan Panglima Tak Boleh Lagi Ditunda"
(rdp/imk)










































