Pada tahun 2025 ini, desentralisasi menapaki usia 25 tahun. Terhitung sejak tahun 2001, desentralisasi dijalankan dalam pemerintahan Indonesia.
Semangat reformasi pasca runtuhnya Orde Baru menuntut agar pembangunan yang cenderung sentralistik di masa lalu, menjadi lebih memberi ruang pada pemerataan pembangunan.
Perubahan arah ini diatur dalam amandemen kedua UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal18B. Peraturan turunannya kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2025 pula, praktik desentralisasi menghadapi ujian yang tidak ringan. Setidaknya ada dua momen dimana desentralisasi daerah yang bertumpu pada otonomi keuangan dan pelayanan publik dipertanyakan relevansinya.
Pertama adalah saat rencana pengurangan transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Kedua, saat tiga provinsi Pulau Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) digulung bencana besar banjir dan longsor. Penulis bermaksud mengulas mengapa kedua hal tersebut menjadi moment of truth relevansi desentralisasi yang sudah berjalan selama 25 tahun belakangan.
Dua Ujian Desentralisasi
Ujian pertama (dan mungkin ini yang paling mengguncang) sendi desentralisasi adalah saat pemerintah melakukan efisiensi dan mengurangi transfer ke daerah. Melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah berencana mengurangi TKD yang pada 2025 berjumlah Rp919,87 triliun, menjadi hanya Rp693 triliun dalam APBN 2026 (Detik, 31/10).
Kebijakan tersebut tentu sangat mengganggu neraca anggaran pemerintah daerah. Tidak banyak daerah yang cukup mandiri untuk mengandalkan pendapatan asli daerahnya.
Berdasarkan Peta Kapasitas Fiskal Daerah Kementerian Keuangan tahun 2024, hanya ada 7 dari 38 provinsi yang memiliki kapasitas fiskal yang kuat dan hanya 4 diantaranya yang memiliki rasio PAD di atas 60%. Sedangkan menurut Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya, dari 548 daerah otonom secara keseluruhan, hanya 4,76% yang memiliki kapasitas fiskal kuat.
Isu keuangan dan anggaran pemerintah daerah ini sebelumnya telah menimbulkan riak-riak saat beberapa daerah seperti Kabupaten Pati dan Kabupaten Bone yang berencana menaikan pajak bumi dan bangunannya berkali-kali lipat.
Riak lain muncul saat Menkeu Purbaya 'membongkar' dana APBD yang diendapkan di bank, dan bukan dibelanjakan untuk kepentingan publik dan juga membantu roda ekonomi masyarakat.
Dari persoalan tersebut setidaknya terendus tiga problem keuangan daerah sekaligus: ancaman TKD yang berkurang, desentralisasi tidak menunjukkan hasil peningkatan kapasitas fiskal mayoritas daerah otonom, dan indikasi belanja pemerintah daerah yang buruk.
Ujian kedua, datang di akhir tahun 2025 berupa bencana alam yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Melalui Dashborad Penanganan Darurat Banjir dan Longsor Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) Tahun 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan terdapat 16 kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang terdampak banjir dan longsor.
Sementara di Sumut terdapat 16 kabupaten/kota yang terdampak dan 18 kabupaten/kota terdampak di Sumbar. Hingga tulisan ini dibuat (9/12), BNPB telah mengidentifikasi lebih dari 960 korban meninggal dunia dan 291 korban hilang akibat bencana tersebut.
Dahsyatnya bencana tersebut memang membuat publik mendesak pemerintah pusat menetapkannya sebagai bencana nasional. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, publik merasa pemerintah pusat sudah seharusnya menetapkan bencana di Aceh, Sumut dan Sumbar sebagai bencana nasional.
Namun pemerintah pusat bergeming. Pemerintah pusat bertahan pada keyakinan bahwa dengan bantuan maksimal dari pusat, pemerintah daerah masih mampu menangani penanggulangan bencana tersebut.
Masalah lain adalah isu kerusakan ekologis yang dianggap menjadi penyebab bencana ini, ketimbang fenomena alam semata. Dikarenakan arus banjir tidak hanya membawa debit air saja, tetapi juga kayu-kayu gelondongan dengan jumlah yang amat banyak serta material sedimentasi. Dari persoalan ini pemerintah daerah menjadi sorotan karena dua hal: kemampuan dalam menjaga lingkungan serta mitigasi dan penanggulangan bencana
Policy Windows Desentralisasi
Dua momen ujian di atas memang menimbulkan polemik dan sekelumit masalah. Akan tetapi, dalam perspektif kebijakan publik, adanya masalah tersebut merupakan potensi policy windows (jendela kebijakan).
Dalam konsep Multiple Streams Framework (John Kingdon, 1984), peluang kebijakan atau policy windows muncul dari adanya tiga arus, yakni problem stream (arus masalah), political stream (arus politik), dan policy stream (arus kebijakan) bertemu.
Pertemuan ketiga arus ini juga didorong oleh aktor lain, yakni policy entrepreneur (wirausaha kebijakan). Policy entrepreneur adalah individu atau kelompok yang proaktif menginvestasikan waktu, energi, dan sumber daya untuk menggabungkan ketiga aliran tersebut saat jendela terbuka.
Pada konteks desentralisasi, dua ujian di atas adalah problem stream. Political stream muncul lebih banyak dorongan oleh aktor-aktor informal seperti masyarakat sipil yang memainkan opini publik. Sedangkan policy stream, arus sangat dipengaruhi oleh tawaran-tawaran kebijakan, solusi dan ide, baik dari lingkungan akademik maupun analis kebijakan.
Sebagai analis kebijakan, guna mendorong policy stream, oleh karenanya penulis bermaksud menawarkan langkah strategis bagi pelaksanaan desentralisasi ke depan. Pertama, peningkatan kemampuan fiskal pemerintah daerah (baik dalam peningkatan PAD, perencanaan, maupun serapan/belanja anggaran) harus diberikan perhatian serius oleh pemerintah pusat.
Hasil dari peningkatan ini harus dapat diukur dari bertambahnya jumlah daerah otonom yang memiliki kemampuan fiskal lebih kuat atau rasio PAD lebih tinggi.
Kedua, untuk mencapai peningkatan PAD, salah satu instrumen yang bisa dilakukan pemerintah daerah adalah memulai penjajakan obligasi daerah (municipal bonds) lebih serius. Selain mengurangi ketergantungan pada TKD, juga pasti akan menjadi stimulus perputaran ekonomi daerah.
Ketiga, perlu adanya sikap yang konsekuen dari pemerintah pusat terhadap UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengamanatkan adanya pembagian urusan pemerintahan yakni absolut, konkuren dan umum.
Pemerintah pusat harus mulai mengurangi perannya dalam persoalan di luar urusan pemerintahan absolut (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, agama, moneter) pada kebijakan yang berdampak di daerah.
Misalnya saja konsesi lahan yang justru menjadi kewenangan pusat melalui instrumen online single submission (OSS) sejak tahun 2018 yang sederhana bagi investor, namun seperti mengebiri kewenangan daerah pada otoritasnya sebagai penjaga lingkungan harus ditinjau ulang.
Jangan sampai daerah kehilangan kewenangannya dalam aspek perekonomian dan lingkungan hidup, padahal UU Nomor 23 Tahun 2014 memberikan kepastian.
Keempat, setali tiga uang dengan kontrol daerah pada izin usaha dan lingkungan hidup, kapasitas mitigasi dan penanggulangan bencana pemerintah daerah harus diperkuat.
Selain aspek infrastruktur, mitigasi juga dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas masyarakat misalnya lewat pendidikan muatan lokal di sekolah-sekolah dasar dan menengah.
Pada akhirnya, relevansi desentralisasi sangat tergantung pada kemampuan pemerintah daerah. Oleh karenanya, meskipun terkesan seperti jargon pemanis, guna menjaga relevansi desentralisasi, relasi pusat dan daerah harus mengesankan kolaborasi dan menghapus silo mentality.
Andhika Beriansyah. ASN Analis Kebijakan, berdomisili di Bogor. Mahasiswa Pascasarjana Magister Kebijakan Publik dan Governansi, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Simak juga Video: NasDem Minta Kepala Daerah Bersabar soal TKD Dipotong Kemenkeu











































