'Bencana Sosial' di Bumi Bencana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

'Bencana Sosial' di Bumi Bencana

Kamis, 11 Des 2025 21:12 WIB
David Tobing
Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bencana Sosial di Bumi Bencana
Foto: dok. Istimewa
Jakarta -

Banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir November lalu menyisakan duka yang dalam. Ratusan nyawa melayang, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, dan jutaan jiwa terdampak oleh amuk alam yang merupakan kombinasi siklon langka dan kerusakan lingkungan yang masif.

Dalam catatan resmi, hingga 11 Desember 2025, korban meninggal dunia telah mencapai 969 jiwa, dengan 262 orang masih hilang dan hampir satu juta orang masih mengungsi di berbagai tempat penampungan. Skala bencana ini, yang disebut oleh Gubernur Aceh sebagai 'tsunami kedua,' merupakan salah satu bencana paling dahsyat yang pernah menimpa Nusantara dalam dekade terakhir.

Di tengah nestapa itu, gelombang solidaritas memang muncul dari seluruh penjuru negeri. Namun, ironisnya, bencana fisik ini diiringi oleh 'bencana sosial' yang tak kalah riuh di ruang-ruang digital kita. Lini masa media sosial mendadak menjadi arena pertarungan narasi yang sengit dan melelahkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di satu sisi, para relawan yang berjibaku di lapangan, berhadapan langsung dengan lumpur dan air mata, merasa perlu menggemakan kerja-kerja mereka untuk menggalang lebih banyak bantuan.

Mereka mengunggah foto-foto kondisi bencana, video-video penyelamatan, dan cerita-cerita pilu dari korban, dengan harapan bahwa visibilitas akan menggerakkan hati masyarakat untuk berdonasi lebih banyak. Niat mereka tentu baik, namun cara itu juga menciptakan persepsi tertentu.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, sebagian warganet justru mengkritik keras apa yang mereka anggap sebagai 'pamer kebaikan', menuding para pemberi bantuan hanya mencari panggung di atas penderitaan. Perdebatan ini semakin keruh dengan munculnya pernyataan-pernyataan pejabat publik yang dinilai kurang berempati, seolah meremehkan skala katastrofe yang sebenarnya.

Bahkan muncul tudingan bahwa bantuan yang disampaikan disertai dengan 'pungli' atau pemalakan, sehingga menambah kecurigaan dan perpecahan di antara para pemberi bantuan dan penerima.

Keributan ini, dari saling sindir hingga tudingan pemalakan, seakan menjadi banjir kedua yang menenggelamkan esensi utama dari gotong royong itu sendiri: keikhlasan. Kita seolah lupa pada sebuah pameo luhur yang diwariskan turun-temurun: 'tangan kanan memberi, tangan kiri tak usah tahu'.

Filosofi ini bukanlah isapan jempol, melainkan sebuah kearifan universal yang berakar kuat dalam ajaran berbagai keyakinan. Dalam tradisi Islam, sebuah hadis menggambarkan salah satu orang yang akan mendapat naungan Tuhan di hari kiamat adalah 'seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya'.

Tujuannya jelas, untuk menjaga kemurnian niat dari sifat riya atau pamer. Dalam konteks ini, 'tangan kanan' melambangkan perbuatan baik yang didorong oleh niat ikhlas, sementara 'tangan kiri' melambangkan keinginan negatif seperti mencari pujian atau pengakuan.

Seruan serupa juga terdengar dalam ajaran Kristiani. Injil Matius 6:3-4 menasihatkan, "Namun, jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Pesannya sama: biarlah kebajikan menjadi rahasia antara kita dengan Sang Pencipta, karena pahala sejati datang dari ketulusan, bukan dari pengakuan manusia.

Saya teringat sebuah peristiwa pada 2017. Saat sedang menunggu cat rambut di sebuah tempat pangkas rambut, telinga saya menangkap percakapan seorang bapak di sebelah saya. Melalui telepon, dengan nada bijak beliau berujar, "Tanamlah kebajikan di bumi kesunyian".

Ungkapan itu begitu membekas. Belakangan saya tahu, frasa puitis itu kerap disampaikan oleh Prof Dr Nasaruddin Umar, seorang ulama besar dan kini Menteri Agama. Maknanya begitu dalam: perbuatan baik tak perlu dipublikasikan atau digembar-gemborkan jika kita ingin 'memanennya' di keabadian.

Artinya, kebaikan yang ditanam dalam ketenangan dan kesunyian akan menghasilkan buah yang lebih bermakna daripada kebaikan yang dipamerkan di hadapan banyak orang.

Di tengah bencana yang melanda saudara-saudara kita di Sumatera, mungkin inilah saatnya kita kembali merenungi makna 'bumi kesunyian' itu. Niat baik untuk menggalang donasi dengan menunjukkan potret-potret di lapangan tentu tidak salah.

Namun, jangan sampai niat itu tergelincir menjadi ajang pamer diri yang justru melukai perasaan para korban dan memicu perpecahan yang tidak perlu.

Pada akhirnya, atas semua bencana sosial yang menimpa bangsa ini, solusinya hanya satu: bantu saja. Ulurkan tangan, ringankan beban, tanpa perlu berisik. Biarlah kebaikan itu mengalir dalam sunyi, tulus, dan ikhlas.

Sebab, dalam senyapnya sebuah pertolongan, ada kekuatan tulus yang gaungnya justru terdengar sampai ke langit.

David Tobing, Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia

Tonton juga video "Tindak Lanjut Menteri Lingkungan Hidup Evaluasi Bencana Banjir Sumatera"

(prf/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads