Polarisasi & Disklaimer Otoritas Kiai Sepuh dalam Konflik Internal PBNU
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Polarisasi & Disklaimer Otoritas Kiai Sepuh dalam Konflik Internal PBNU

Kamis, 11 Des 2025 16:39 WIB
Imam Jazuli
Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Polarisasi & Disklaimer Otoritas Kiai Sepuh dalam Konflik Internal PBNU
Foto: dok. Istimewa
Jakarta -

Dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum selesai, kendati melalui Pleno resmi 9-10 Gus Zulfa sudah diangkat Pj Ketua Umum PBNU, polemik masih berjalan.

Terutama di akar rumput Nahdliyin, karena kubu Gus Yahya Cholil Staquf terus membangun narasi dan klaim otoritas bahwa 'kiai sepuh kultural' telah mendukungnya, padahal tindakan ini adalah upaya membenturkan atau melawan 'kiai sepuh struktural' (Syuriah dan Rais Aam), yang secara organisasi merupakan representasi tertinggi para kiai.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU secara jelas menempatkan Syuriah sebagai otoritas tertinggi dalam organisasi, dengan Rais Aam sebagai puncuk pimpinan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Syuriah bertugas membina, mengawasi, dan mengambil keputusan strategis yang mengikat seluruh jajaran tanfidziyah (eksekutif). Keputusan Syuriah dalam Munas dan Konbes NU bahkan diakui memiliki kekuatan hukum organisasi yang kuat.

Ketika Rais Aam dan jajaran Syuriah mengeluarkan keputusan evaluasi atau teguran terhadap Ketua Umum Tanfidziyah, bahkan kemudian pemberhentian dengan tidak hormat, tindakan tersebut adalah manifestasi dari kearifan kultural yang dilembagakan melalui mekanisme struktural organisasi yang sah (Ahlul Halli wal Aqdi/AHWA di tingkat muktamar).

ADVERTISEMENT

Namun, kubu Gus Yahya, dalam upayanya melawan keputusan tersebut, justru mencoba berlindung di balik klaim dukungan kiai sepuh kultural (di luar keputusan struktur resmi) seolah-olah merekalah 'pelindung suci' yang kebal dari mekanisme organisasi.

Ini menciptakan paradoks: mereka yang berada dalam struktur eksekutif (Tanfidziyah) mencoba mendeligitimasi struktur legislatif-yudikatif (Syuriah) dengan menarik otoritas kultural yang seharusnya terwakili dan termanifestasi dalam Syuriah itu sendiri. Tindakan ini secara efektif membenturkan dua kutub yang seharusnya saling menguatkan, bukan berhadap-hadapan.

Upaya Lokalisasi Otoritas Kiai Sepuh

Kubu Gus Yahya mencoba melokalisir kiai sepuh hanya pada forum-forum tertentu (seperti Forum Jombang atau Tebuireng yang hanya dihadiri beberapa mustasyar).

Data yang hadir dari tiga puluh jumlah mustasyar yang datang di forum itu hanyalah tujuh saja, maka klaim kiai sepuh mendukung perlawanannya pada syuriah, otoritas tertinggi di organisasi menunjukkan adanya upaya untuk membatasi spektrum suara dan legitimasi.

Fakta lainnya, suara kiai sepuh NU sangatlah plural dan tersebar luas di seluruh Indonesia. Ada ribuan pesantren NU (diperkirakan sekitar 36.000) yang masing-masing memiliki pengasuh dan kiai sepuh dengan pandangan beragam.

Adanya forum kiai sepuh di daerah lain seperti Bangkalan dan Cirebon yang memiliki sikap berbeda dengan Forum Ploso dan Jombang menegaskan bahwa klaim 'suara tunggal kiai sepuh' oleh kubu Gus Yahya adalah generalisasi yang tidak valid.

Maka upaya lokalisasi kiai sepuh yang pro pada perlawanannya, supaya bisa menganulir pemecatannya secara tidak terhormat ini berpotensi menggerus prinsip musyawarah (syura) para syuriah yang menjadi salah satu pilar utama NU, di mana keputusan organisasi harus lahir dari konsensus para ulama secara luas, bukan hasil klaim sepihak dari forum partikular.

Dampak Terhadap Marwah Organisasi

Penggunaan klaim kiai sepuh sebagai tameng politik internal tanpa melalui mekanisme organisasi yang benar dinilai melanggar AD/ART NU dan dapat mengancam marwah organisasi itu sendiri.

PBNU berisiko kehilangan ruh dasarnya sebagai jam'iyah yang teguh pada prinsip ketaatan kepada ulama (melalui Syuriah) jika mekanisme struktural dapat dengan mudah dianulir oleh mobilisasi klaim kultural di luar sistem.

Alih-alih menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal yang tersedia, seperti mengajukan gugutan Majelis Tahkim, manuver kelompok Gus Yahya justru memperdalam polarisasi dan kebingungan di tingkat akar rumput Nahdliyin.

Karena narasi yang dibangun oleh kubu Gus Yahya adalah membenturkan kiai sepuh kultural dengan Syuriah/Rais Aam dan ini disadari atau tidak, sebuah langkah strategis yang secara substansi melemahkan bangunan organisasi NU sendiri.

Maka tindakan tersebut sangat berbahaya, karena bisa menciptakan preseden buruk di mana otoritas tertinggi organisasi dapat dinegosiasikan melalui klaim dukungan di luar jalur resmi, serta mengabaikan fakta bahwa Syuriah dan Rais Aam adalah manifestasi sah dari otoritas dan kearifan para kiai sepuh yang telah dibakukan dalam AD/ART NU. Wallahu'alam bishawab.

KH Imam Jazuli Lc, MA

Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

(prf/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads