Urgensi Tata Kelola AI: Mengatasi Degradasi Kognitive Ganda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Urgensi Tata Kelola AI: Mengatasi Degradasi Kognitive Ganda

Rabu, 10 Des 2025 12:05 WIB
djoko budiyanto setyohadi
Prof. Djoko BudiyantoSetyohadi, Kepala Laboratorium Inovasi Teknologi dan Sistem Informasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Urgensi Tata Kelola AI: Mengatasi Degradasi Kognitive Ganda
Foto: Ilustrasi AI (Gemini AI)
Jakarta -

Kecerdasan buatan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kampus di Indonesia. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, tersembunyi ancaman sistemik: Degradasi Kognitive Ganda. Kemunduran ganda adalah fenomena menurunnya kapasitas kognitif manusia dan kualitas sistem AI secara bersamaan.

Fenomena ini membuat urgensi pengembangan kerangka tata kelola AI untuk pendidikan tinggi, sebuah sistem berisiko tinggi. Perlu dipertimbangkan karena resiko sistemik Degradasi ganda sangat tinggi.

Degradasi ganda terjadi melalui dua jalur yang saling mengunci. Pertama, mahasiswa yang terbiasa konsumsi konten dangkal (brain rot) kini memindahkan beban kognitif sepenuhnya kepada AI melalui cognitive offloading. Tugas intelektual yang seharusnya melatih nalar, membaca kritis, menyusun argumen, mengevaluasi bukti digantikan perintah singkat kepada mesin. Yang hilang bukan hanya integritas akademik, tetapi proses pembentukan kapasitas berpikir itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, Studi terbaru melaporkan AI belajar dari ekosistem digital yang dipenuhi konten dangkal dan menyesatkan. Ketika data pelatihan AI bermasalah (konten dangkal) hasilnya yang dipakai pengguna juga bermasalah. Siklus ini mebuat representational drift: pergeseran menetap saat AI merepresentasikan pengetahuan. Mesin bukan lagi penjernih informasi, melainkan penguat kedangkalan kolektif.

Kedua proses ini menciptakan feedback loop negatif: manusia bergantung pada AI untuk berpikir, AI belajar dari output manusia yang kapasitasnya menurun, dan laju degradasi berputar makin cepat. Dalam konteks pendidikan tinggi, fondasi intelektual generasi penerus bangsa akan terkikis secara terstruktur dan tersembunyi.

ADVERTISEMENT

Mitigasi High-Risk AI System

Sesuai European AI Act, pendidikan tinggi diklasifikasikan sebagai sistem berisiko tinggi berdasar 4 hal. Pertama, dampak jangka panjang pada pembentukan SDM: kerusakan pada proses pembelajaran tidak terlihat langsung, tetapi akumulasinya menentukan kualitas tenaga kerja, peneliti, dan pemimpin masa depan dengan efek multiplikatif.

Kedua, asimetri informasi dan ketergantungan: mahasiswa tidak selalu memahami bagaimana AI bekerja, bias yang dibawanya, bahkan bagaimana data mereka digunakan. Mereka berada dalam posisi rentan dalam pola interaksi teknologi.

Ketiga, kesenjangan akses dan kapasitas institusional: kampus besar bisa menyusun pedoman internal dan melatih dosen, tetapi ribuan kampus lain mungkin tidak memiliki kapasitas ini. Tanpa kerangka nasional, kesenjangan ini memperdalam ketidakadilan sekaligus mempercepat degradasi kognitif di kelompok paling rentan. Keempat, eksternalitas (dampak sampingan) negatif kolektif: kerusakan tidak berhenti pada institusi yang abai.

Output kampus yang menghasilkan lulusan dengan kemampuan berpikir rendah berdampak pada pasar kerja, ekosistem riset, dan kebijakan publik. Ini adalah masalah barang publik yang tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme pasar atau inisiatif sukarela kampus.

Menghadapi ancaman double degradation, Indonesia memerlukan kerangka tata kelola AI di pendidikan tingi yang komprehensif dan mengikat, dibangun atas tiga hal. Pertama, perlindungan Integritas Proses Pembelajaran terkait dengan proses kognitif itu sendiri.

Regulasi harus menetapkan batasan jelas penggunaan AI berdasarkan tahap pembelajaran, mewajibkan deklarasi transparansi dalam setiap karya yang melibatkan AI, mengatur standar minimal penilaian yang memastikan kompetensi kognitif tetap diuji langsung, serta menyediakan mekanisme sanksi proporsional yang membedakan pelanggaran integritas dan eksperimen pembelajaran.

Kedua, Perlindungan Data dan Kedaulatan Digital Akademik mengingat setiap karakter/kata/kalimat yang dikirim mahasiswa ke platform AI komersial adalah transfer data pribadi, karya ilmiah, bahkan materi penelitian yang mungkin bersifat sensitif.

Regulasi harus mewajibkan audit privasi untuk platform AI yang digunakan resmi di kampus, melarang penggunaan data akademik Indonesia sebagai bahan pelatihan AI komersial tanpa persetujuan eksplisit, mendorong pengembangan infrastruktur AI nasional untuk pendidikan, dan menetapkan yurisdiksi jelas untuk penyelesaian sengketa.

Ketiga, Perlindungan Kapasitas Kognitif sebagai Aset Nasional adalah hal penting yang sering terlupakan. Regulasi harus mewajibkan kampus merancang kurikulum yang eksplisit melatih kemampuan berpikir kritis, menetapkan bahwa proses, bukan hanya hasil akhir, menjadi objek penilaian, melarang model pembelajaran yang sepenuhnya bergantung pada AI untuk fungsi kognitif inti, dan mewajibkan literasi AI sebagai kompetensi wajib mahasiswa.

Regulasi nasional berfungsi sebagai pagar pengaman yang menetapkan kewajiban minimal sebagai payung atau ruang bagi kampus untuk berinovasi.

Model yang bisa dipertimbangkan: (1) Kementerian menetapkan prinsip dan standar minimal wajib, (2) Kampus menerjemahkan ke aturan akademik lokal sesuai konteks, (3) Badan independen melakukan audit berkala, (4) Insentif diberikan kepada kampus yang mengembangkan praktik baik. Yang krusial: regulasi harus dilengkapi program pelatihan masif untuk dosen dan mahasiswa bukan sekadar cara menggunakan AI, tetapi cara berpikir bersama AI tanpa menyerahkan fungsi kognitif kepada mesin.

Regulasi sebagai Investasi Masa Depan

Kita berada di fase kritis, Double degradation belum permanen, tetapi risiko normalisasi sangat nyata: ketika satu generasi mahasiswa lulus tanpa pernah mengalami proses berpikir yang otentik, standar baru yang lebih rendah akan dianggap normal.

Kampus menjadi industri jasa dengan fondasi intelektual rapuh. Tanpa intervensi regulatif tegas dan terukur, kita menghadapi: krisis kompetensi tersembunyi dengan lulusan berkapasitas kognitif jauh di bawah generasi sebelumnya, ketergantungan teknologi permanen untuk tugas kognitif dasar, dan kehilangan kedaulatan pengetahuan ketika seluruh ekosistem pembelajaran bergantung pada sistem AI asing yang tidak kita kontrol.

Regulasi AI di pendidikan tinggi adalah investasi pada aset paling berharga bangsa: nalar kolektif generasi penerus. Biaya penyusunan dan implementasinya mungkin terasa berat dalam jangka pendek, tetapi jauh lebih ringan dibanding biaya memulihkan generasi yang kehilangan kemampuan berpikir mandiri.

Yang dipertaruhkan bukan hanya kualitas ijazah atau ranking universitas, tetapi apakah Indonesia akan memiliki generasi yang mampu berpikir jernih, mengkritik argumen, membangun pengetahuan baru-atau sebaliknya, generasi yang mahir mengoperasikan prompt tetapi lumpuh ketika harus berpikir sendiri.

Tata kelola AI di pendidikan tinggi bukan penghalang inovasi. Ia adalah prasyarat agar inovasi tidak berubah menjadi bencana diam-diam yang efeknya baru terasa satu generasi kemudian, ketika sudah terlambat untuk diperbaiki.

Djoko Budiyanto Setyohadi. Kepala Laboratorium Inovasi Teknologi dan Sistem Informasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Simak juga Video: Tips! Supaya Lamaran Kerja Kamu Lolos saat Diseleksi AI

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads