Polisi sebagai Panggilan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Polisi sebagai Panggilan

Rabu, 10 Des 2025 10:00 WIB
Dedy Tabrani
Ketua Perkumpulan Doktor Ilmu Kepolisian Indonesia.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Polisi sebagai Panggilan
Foto: Dedy Tabrani (Dok Pribadi)
Jakarta -

Reformasi struktural dan konstitusional dalam kepolisian kerap mengalami stagnasi. Pergantian seragam, revisi undang-undang, maupun peningkatan anggaran tidak otomatis menyingkirkan praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau menumbuhkan empati publik.

Kegagalan tersebut tidak sepenuhnya bersumber pada sistem, melainkan pada dimensi yang lebih mendasar: mentalitas individu di dalam institusi.

Untuk memahami perubahan yang sejati, pendekatan sosiologis Max Weber menjadi relevan. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930), Weber memperkenalkan konsep Beruf (panggilan) sebagai antitesis dari sekadar Lebensunterhalt (mata pencaharian).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perspektif ini menekankan bahwa pekerjaan bukan hanya sarana memperoleh penghidupan, tetapi juga manifestasi dedikasi moral dan profesional. Dalam konteks kepolisian, sebagian anggota masih memandang institusi sebagai sumber nafkah atau kekuasaan semata.

Padahal, menjadi polisi idealnya merupakan Beruf: profesi yang dijalankan secara rasional, profesional, dan mengabdi pada kepentingan publik, dengan semangat etika yang tinggi.

ADVERTISEMENT

Reformasi mentalitas kepolisian, oleh karena itu, menuntut transformasi cara pandang individu terhadap pekerjaan mereka. Polisi harus melihat tugasnya bukan sekadar sebagai penghidupan atau posisi kekuasaan, melainkan sebagai Beruf yang dibingkai oleh prinsip dedikasi, tanggung jawab, dan rasionalitas demi pelayanan publik.

Konsep Beruf ini mengangkat pekerjaan profan menjadi ranah bermakna secara etis dan spiritual, sehingga reformasi mentalitas tidak hanya bersifat formal, tetapi juga transformatif pada tingkat nilai dan etika profesional.

Weber (1930) menekankan bahwa dalam etika Protestan, kesuksesan dalam pekerjaan duniawi dipandang sebagai tanda anugerah Tuhan. Kerja keras yang rasional, metodis, dan profesional bukan sekadar sarana penghidupan, tetapi bentuk ibadah yang menggeser fokus dari kehidupan biarawan ke praktik kehidupan sehari-hari.

Konsep Beruf atau panggilan ini menegaskan bahwa pekerjaan harus dijalankan dengan dedikasi moral dan profesional, prinsip yang membentuk dasar kapitalisme modern sekaligus etos birokrasi profesional nilai yang relevan dengan tuntutan profesionalisme kepolisian.

Di sisi lain, adagium klasik "Korupsi terjadi karena adanya kekuasaan dan monopoli yang tidak diimbangi dengan akuntabilitas" menyoroti peluang sistemik bagi penyalahgunaan kekuasaan. Namun, keputusan untuk memanfaatkan peluang tersebut tetap bergantung pada individu.

Anggota yang memiliki etos pribadi kuat akan menolak korupsi, sementara mereka yang etosnya lemah cenderung memanfaatkannya. Dengan demikian, profesionalisme kepolisian menuntut transformasi mentalitas yang menempatkan Beruf sebagai panggilan moral dan etis, bukan sekadar sumber penghidupan atau kekuasaan.

Dalam sistem yang rentan dan bergaji rendah sekalipun, terdapat individu yang tetap berpegang pada integritas dan menolak praktik suap, menunjukkan bahwa kelemahan sistem tidak bersifat determinatif; keputusan untuk melakukan korupsi tetap merupakan pilihan personal.

Korupsi seperti menerima suap, memeras, atau menggelapkan dana adalah tindakan yang disengaja, dilakukan dengan kesadaran melanggar hukum dan etika, sehingga menjadi pengkhianatan terhadap sumpah jabatan.

Meskipun budaya institusional dapat menormalisasi perilaku koruptif, individu memiliki kapasitas untuk menolak, dan etos pribadi yang kuat menjadi benteng terakhir yang menahan penyimpangan. Transformasi etos individu secara kolektif akan berdampak pada perubahan budaya institusional secara keseluruhan.

Dalam konteks kepolisian, nilai-nilai integritas, dedikasi pelayanan, anti-korupsi, dan kerja rasional sesuai prosedur harus diinternalisasi sebagai "ibadah" profan, bukan sebagai sarana memperoleh kekayaan pribadi.

Panggilan dipahami sebagai kewajiban moral terhadap profesi, di mana pekerjaan dijalankan untuk memenuhi tanggung jawab dan melayani kepentingan publik, bukan untuk mengejar kemewahan pribadi.

Profesionalisme kepolisian menuntut pemahaman bahwa pekerjaan sebagai polisi adalah panggilan (Beruf) untuk melayani publik dan menegakkan hukum, bukan sarana memperkaya diri atau menikmati kemewahan dari praktik korupsi. Konsep ini menegaskan perbedaan antara hidup untuk kepolisian mendedikasikan diri pada panggilan profesional dan hidup dari kepolisian menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Polisi yang menginternalisasi panggilan ini akan bekerja dengan metodisitas, rasionalitas, dan dedikasi, menempatkan etika dan tanggung jawab publik di atas kepentingan pribadi, sehingga menolak praktik korupsi secara sadar.

Korupsi muncul ketika individu gagal menginternalisasi etos tersebut, menggeser orientasi dari bekerja untuk melayani menjadi bekerja untuk memperkaya diri. Hal ini merupakan manifestasi etos oportunistik, di mana jabatan dijadikan alat (Lebensunterhalt) untuk kepentingan pribadi, bukan sebagai tujuan pelayanan.

Pelaku korupsi sering bertindak dengan rasionalitas instrumental, menggunakan cara paling efisien meskipun melanggar aturan untuk mencapai keuntungan pribadi, sehingga keputusan ini merupakan pilihan etis individu, bukan sekadar kegagalan prosedural.

Reformasi kepolisian menuntut internalisasi prinsip bekerja untuk melayani, bukan memperkaya diri, menggantikan mentalitas hidup dari kepolisian dengan hidup untuk kepolisian, dan menjadikan panggilan profesional sebagai landasan etika dan integritas.

Reformasi kepolisian tidak dapat sepenuhnya tercapai hanya melalui instrumen hukum atau perbaikan infrastruktur. Perubahan yang sejati harus menyentuh jiwa institusi dan setiap individu di dalamnya. Dengan mengadopsi semangat Beruf sebagaimana dikemukakan Max Weber, seorang polisi didorong untuk meninggalkan mentalitas Lebensunterhalt yang oportunistik dan koruptif.

Profesionalisme, rasionalitas, dan akuntabilitas bukan sekadar kewajiban formal atau tuntutan hukum, melainkan merupakan wujud ibadah dalam ranah profan. Ketika setiap anggota korps Bhayangkara menginternalisasi tugasnya sebagai panggilan suci untuk mengabdi pada kebenaran dan ketertiban sipil, lahirlah polisi yang sungguh-sungguh profesional.

Panggilan ini menuntut pengorbanan, dedikasi, dan asketisme duniawi, menggantikan mentalitas hidup dari kepolisian dengan hidup untuk kepolisian, demi kepentingan dan kepercayaan masyarakat.

Reformasi institusional sering terjebak pada perbaikan hukum dan infrastruktur merancang undang-undang baru, memperbarui prosedur operasional standar, atau memodernisasi fasilitas. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa upaya teknokratis, mulai dari kenaikan gaji hingga pelatihan intensif, dapat kehilangan makna tanpa disertai perubahan mendasar pada mentalitas dan etos kerja anggota kepolisian.

Peraturan dan fasilitas hanyalah kerangka eksternal; inti reformasi terletak pada bagaimana individu memahami dan menjalankan perannya: apakah sebagai pengemban panggilan suci (Beruf) yang didedikasikan untuk publik, atau sekadar pemegang jabatan yang mencari penghidupan (Lebensunterhalt).

Tanpa pergeseran internal ini, kebijakan reformasi rentan diselewengkan, karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang merupakan manifestasi etos pribadi, bukan semata kegagalan sistem.

Oleh karena itu, fokus reformasi harus diarahkan pada penguatan etos individu melalui internalisasi Beruf, karena hanya dengan transformasi hati dan pikiran setiap anggota, reformasi institusional dapat menjadi efektif, berkelanjutan, dan bermakna.

Dedy Tabrani. Ketua Perkumpulan Doktor Ilmu Kepolisian Indonesia.

Simak juga Video Polri Tegaskan Melayani Rakyat: Kami Ini Babunya Masyarakat

(rdp/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads