Deforestasi, Banjir Bandang, dan 'Kapal Noah'
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Deforestasi, Banjir Bandang, dan 'Kapal Noah'

Selasa, 09 Des 2025 16:30 WIB
Maghfur Ahmad
Maghfur Ahmad, Guru Besar Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Deforestasi, Banjir Bandang, dan Kapal Noah
Foto: Kondisi rumah yang rusak akibat banjir bandang di Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat, Jumat (5/12/2025) (ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN)
Jakarta -

Banjir bandang Sumatra bukan sekadar bencana alam. Banjir dan tanah longsor mengirim pesan tabir keserakahan, sisi kelam kemanusiaan dan lubang hitam kebijakan negara. Rakyat jelata dan tak berdosa menjadi korban. Rasa takut, sedih, lelah, mencekam, merinding dan traumatis menyelimuti hari-hari dingin mereka.

Pusdatin BNPB menunjukkan, hingga kini total korban meninggal mencapai 712 orang dan hilang 507 orang (detikNews, 2/12/2025). Mereka diterjang gelombang amarah air bah yang tak kenal rasa belas kasihan.

Bencana Sumatra membuat pidato Presiden Prabowo viral. "Kita tidak perlu takut deforestasi," sambutan Presiden ketika mendorong perluasan kebun sawit. Arahan itu disampaikan langsung di depan TNI, Polri, Gubernur, bupati/wali kota se-Indonesia, 30 Desember 2024. Ungkapan jujur sang Presiden dimaknai sebagai garis kebijakan ekologis negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, pasca bencana banjir dahsyat melanda, Presiden menyadari dan merevisi pentingnya menjaga hutan pada momentum puncak Perayaan Hari Guru Nasional 2025. Prabowo memerintahkan guru menambah silabus pelajaran kesadaran menjaga hutan.

Pertanyaan paling mendasar, cukupkah pelajaran menjaga hutan sebagai solusi fundamental dan berkelanjutan? Kita tahu hasil riset kebencanaan alam berujung pada simpulan: setiap gelombang air menyapu rumah. Banyaknya batang kayu yang terseret arus. Tanah longsor mengubur warga. Desa-desa tenggelam berselimut lumpur kesedihan.

ADVERTISEMENT

Sejatinya, merupakan bagian dari babak lanjutan drama panjang mal-policy penuh tragedi. Tragedi pilu umat manusia yang berakar pada deforestasi. Tata ruang yang buruk, bobrok, dan tidak berkelanjutan.

Bencana sering berakar pada kebijakan publik yang berorientasi pertumbuhan ekonomi, mengabdi segelintir elit dan oligarki. Kebijakan tanpa menimbang keberlanjutan ekosistem, ruang hidup generasi dan keadilan ekologi.

Prahara Sumatera saat ini adalah cermin retak pemerintah. Negara abai terhadap keseimbangan ekologis, ilmu pengetahuan lokal, hak masyarakat adat dan keadilan sosial.

Deforestasi Terstruktur

Bertahun-tahun, deforestasi terjadi secara massif dan terstruktur. Ini menjadi penyebab utama bencana alam. Data real time dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta bahwa setiap 16.12, menit Indonesia kehilangan hutan 20,2 hektar (2025).

FWI juga memaparkan realitas pahit, dua tahun pasca FoLU Net Sink (Forest and Other Land Use Net Sink) disahkan, deforestasi mencapai 1,93 juta hektare (2021-2023). Padahal, menurut diktum FoLU Net Sink, target pengurangan emisi nasional 60% bergantung dari sektor hutan dan lahan.

Angka 1,93 juta hektar sungguh besar dan melampaui batas kuota pengurangan laju deforestasi versi Kementerian Kehutanan. Konsep kebijakan iklim, merujuk pada kondisi ketika sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU) mampu menyerap emisi gas rumah kaca lebih besar dari pada yang dilepas, terbukti tidak berdampak.

Laju kehilangan hutan seperti ini, sama artinya negara bunuh diri. Mimpi hutan Indonesia menjadi penopang kontrol iklim hanya isapan jempol. Hutan justru menjadi korban kebijakan salah arah.

Para hidrolog memberi ulasan ilmiah bahwa pola curah hujan ekstrem tidak akan menjadi penyebab banjir bandang sebesar di Sumatra, jika kondisi hutan di hulu tetap baik, terawat, rimbun, dan berdiri tegap.

Faktanya, hutan sebagai benteng rumah dan kehidupan masyarakat rapuh. Hutan-hutan berubah menjadi perkebunan monokultur, pertambangan terbuka, dan jalan logging percepat limpasan air. Batang-batang kayu besar, bekas potongan gergaji, yang dikirim banjir membuka kotak pandora kejahatan ekologis struktural.

Menurut analisis Prayoga (2025), deforestasi justru berjalan secara terencana berupa konsesi. Seperti, PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), hutan alam (HA), hutan tanaman (HT), dan bahkan di daerah urgen restorasi ekosistem (RE).

Deforestasi karena PBPH (2021-2023) mencapai 375.368 hektare hutan mestinya bisa dicegah jika otoritas tidak memberi izin. Artinya, kesalahan bukan hanya pelaku usaha tetapi pemerintah.

Dalam konteks skema perhutanan sosial, deforestasi tidak bisa dihindari. Program yang dirancang demi memperkokoh masyarakat berdaya, mandiri, dan berdikari, justru menjadi pisau tajam merobek ruang hidup warga. Konsesi hutan mempermulus jalan menuju degradasi hutan.

Lebih ironis, ekspansi perkebunan sawit, dengan support penuh negara terus-menerus penetratif. Menembus kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan zona hutan. Mengacu Greenomic Indonesia, data tahun 2004-2017 menunjukkan jutaan hektar hutan diubah menjadi perkebunan sawit. Era Menteri kehutanan MS Kaban (2004-2009) 600 ribu hektar hutan lenyap. Masa Zulkifi Hasan (2009-2014) menembus angka 1.64 juta hektar, dan Siti Nurbaya (2014-2017), mencapai 216 ribu hektar hutan sirna.

Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk untuk lumbung pangan atau food estate, telah memperparah deforestasi (Arif, 2025). Rata-rata 32.406 sampai 100.000 hektar per tahun hutan hilang akibat ekspansi perkebunan sawit (Trase.earth, 2024).

International Union for Conservation of Nature melaporkan terdapat 193 spesies terancam punah akibat ancaman perkebunan kelapa sawit. Ada 750 sampai 1.250 orang utan mati setiap tahun.

Dalam konteks kehutanan, berburu untung secara ekonomi seperti mengejar bayang-bayang. Perlu kalkulasi yang jeli dan hati-hati. Hilangnya kanopi hutan berarti musnah pula natural capital. Modal ekologis selama berabad-abad sebagai pelindung alami terhadap bencana hidrometerologi menjadi goyah.

Nilai jasa lingkungan sirna akibat deforestasi. Penyerapan karbon, penahan dan serap air, dan perlindungan keanekaragaman hayati, tidak pernah dihitung sebagai unit cost kalkulasi pembangunan nasional.

Negara memberi izin kerusakan ekosistem hulu demi untung jangka pendek. Mereka tutup mata, harus membayar 'biaya sosial' banjir bandang lebih mahal. Nyawa hilang, desa musnah, infrastruktur rusak, ruang kehidupan sirna hingga jatuh miskin secara ekologis.

Deforestasi memperlemah daya tahan daerah dari gempuran air. Sejarah banjir di Sumatra sejak era kolonial hingga kini selalu berulang. Pola dan penyebabnya sama, namun intensitas, volume, kedalaman, dan dampaknya meningkat secara drastis seiring dengan laju deforestasi. Banjir bukan lagi peristiwa sesekali. Banjir berubah menjadi ritme periodik yang menghantui karena negara gagal menghentikan deforestasi.

'Kapal Noah'

Inspirasi kepemimpinan ekologi Noah (Nabi Nuh) layak dihadirkan di tengah bencana. Drama kapal Noah memuat ajaran manajemen resiko. Tidak ada salahnya peristiwa ini menjadi acuan mitigasi dan adaptasi. Kisah klasik debris flow dan kapal Noah termaktub dalam Al-Qur'an, terkhusus surat al-A'raf, 59-64 dan Al-Ankabut, 14-15.

Cerita kapal Noah bukan semata dongeng religius, melainkan metafora jalan terjal perjuangan keadilan ekologis. Nabi Noah mengorganisir umat menghadapi perilaku destruktif secara ekologis.

Beberapa kata kunci ekologis muncul pada tragedi banjir Nabi Noah versi Al-Qur'an. Seperti "la-allakum turhamun" (agar terwujud kesejahteraan sosial dan keadilan ekologis); "kauman 'amin" (buta mata terhadap kerusakan ekosistem); wa hum dlalimun, perilaku tercela penyebab banjir (eksploitatif, pembalakan, penebangan hulan, deforestasi), dan "wa ja'alnaha ayatan lil-alamin (peristiwa bencana dan kapal Noah sebagai pelajaran tata mitigasi dan adaptasi bencana).

Banjir disebabkan umat Noah merusak tata kelola alam, mengganggu keseimbangan ekosistem, dan menolak keberlanjutan. Horrell (2015), dalam The Bible and The Environment, mendorong umat membaca ulang isu-isu ekologis dalam Alkitab. Mengacu kerangka pikir Rahman (2009) dalam Major Themes of the Qur'an, setiap dictum "Banjir dan Kapal Noah" memiliki struktur moral dan kerangka etis.

Mengajarkan relasi harmoni manusia dan alam. Tak ada yang paling unggul. Tidak boleh mendominasi. Etika keseimbangan dan keadilan sudah selayaknya menjadi landasan kebijakan negara dalam mengelola sumber daya alam.

Kapal Noah simbol tata kelola ekologi cerdas, harmoni, berkelanjutan, dan berkeadilan. Ketika deforestasi tidak bisa dibentung. Noah mendesain dan membangun kapal jauh sebelum hujan deras mengguyur. Prinsip, mencegah lebih urgen dibanding menangani.

Noah, membangun kapal berbahan komitmen politik, ilmu pengetahuan, dan keberanian moral. Mengatasi banjir butuh visi, komitmen, kalkulasi cermat, dan keterampilan teknis.

Banjir telah terjadi. Tugas kita mencegah jangan terulang lagi. Cukup sudah deforestasi. Tutup pintu-pintu sekecil apapun yang dapat merusak hutan. Jargon melindungi rakyat tak bermakna jika hutan-hutan terus ditebangi.

Saatnya, kita refleksi bersama, menanam kembali pohon harapan, membangun tata ruang adaptif berbasis resiko bencana, dan mendorong terwujudnya sistem mitigasi sosial berpihak kelompok rentan; perempuan, anak, dan masyarakat adat.

Kapal Noah simbol kesiapsiagaan dan instrumen adaptasi. Indonesia butuh kapal "Noah" kebangsaan. Menyelamatkan seluruh rakyat. Bukan segelintir pelaku usaha, elit, dan oligarki. Akhirnya, tidak cukup silabus pembelajaran menjaga hutan. Visi kepemimpinan ekologis adalah kunci keselamatan penduduk bumi yang rawan bencana.

Indonesia butuh pemimpin, aparatur, dan "arsitek-arsitek kebijakan" yang jeli melihat ancaman bencana. Jika tidak ingin banjir bandang terjadi lagi, maka jangan tanam "deforestasi." Tiba-tiba, suara keras bergemuruh muncul dari Sumatra; "mari kita semua takut pada deforestasi."


Maghfur Ahmad. Guru Besar Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah.

Tonton juga video "Menhut Raja Juli Klaim Angka Deforestasi Hutan Berkurang"

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads