Sejak akhir November 2025, tiga provinsi di ujung barat Indonesia - Aceh, Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) - dilanda tragedi besar: banjir bandang dan tanah longsor yang disebabkan hujan ekstrem dan dampak siklon tropis. Menurut data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban jiwa melampaui ratusan.
Berbagai versi laporan memperlihatkan eskalasi dramatis: pada pembaruan awal tercatat 442 jiwa tewas dan ratusan hilang. Dalam hitungan hari, angka melonjak 604 jiwa tewas. Lalu melesat menjadi 753 tewas, dengan 650 orang hilang. Terbaru, BNPB memperbarui jumlah korban tewas menjadi 883.
Selain manusia, kerugian material pun sangat besar: ribuan rumah rusak berat, sedang, maupun ringan; fasilitas pendidikan, jembatan, dan infrastruktur vital lain banyak yang rubuh. Ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita menyaksikan bukan sekadar peristiwa cuaca ekstrem. Ini adalah tragedi sistemik, kegagalan dalam pengelolaan ruang, air, dan interaksi manusia dengan alam.
Saatnya Refleksi
Dalam situasi seperti ini, mudah bagi kita untuk jatuh ke dalam perang argumen: pemerintah menyalahkan warga; warga menyalahkan perusahaan; aktivis menyalahkan deforestasi; industri menyalahkan regulasi. Tetapi saling menyalahkan saat duka dan krisis bukan jalan keluar. Justru, saat-saat seperti ini harus menjadi momentum refleksi kolektif atas bagaimana kita mengelola lingkungan hidup - khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai 'Rumah Kita Bersama'.
Mengungkap akar bencana bukan soal mencari kambing hitam, melainkan memahami pola: hujan lebat menjadi pemicu, tetapi kerentanan wilayah lah yang membuat bencana menjadi tragedi. DAS seharusnya menjadi payung penyelenggaraan berbagai aktivitas - manusia, ekonomi, ekologi - secara terintegrasi, bukan wilayah-kubus sektoral.
Mengapa DAS Penting
DAS bukan sekadar istilah teknis. DAS adalah "satu hamparan bumi" yang dibatasi punggung bukit atau gunung. Wilayah tempat air hujan jatuh, meresap, mengalir, sungai terbentuk, dan akhirnya menuju laut. Di dalam DAS itu flora, fauna, manusia, kegiatan ekonomi, sosial, semuanya hidup bersama.
Dalam kerangka hukum, regulasinya telah ada: Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (PP 37). Regulasi ini sebenarnya bukan untuk membatasi, melainkan menyinkronkan, mewajibkan semua pihak untuk berpikir dan bertindak secara terpadu melalui rencana pengelolaan DAS terpadu (RPDAS Terpadu).
Ini seperti musik angklung. Tanpa sinkronisasi, setiap alat angklung hanya membunyikan satu nada tanpa makna. Sebaliknya, jika setiap alat yang dipegang oleh banyak pemain dibunyikan dengan orkestrasi yang benar maka akan menghasilkan harmoni yang merdu. Begitu juga sektor-sektor yang beraktivitas di DAS.
Mengelola DAS berarti menyamakan mimpi: membangun daerah, bukan membangun di daerah. Artinya, komunitas lokal, pemerintah, pelaku usaha, lingkungan hidup, masyarakat adat, semua harus melihat DAS sebagai rumah bersama, bukan sebagai area terpisah untuk dieksploitasi secara sektoral.
DAS sebagai Pilar Ketahanan
Tragedi di Aceh, Sumut, dan Sumbar seharusnya menjadi alarm: kita tidak bisa terus menerus mengandalkan respons darurat. Air naik, rumah hanyut, lalu evakuasi, lalu rehabilitasi. Pola ini akan terus berulang. Satu dasawarsa lalu pernah terjadi, kini kembali terulang, bahkan dengan dampak lebih besar. Data menunjukkan bahwa ketiga provinsi ini sejak tahun ke tahun selalu dilanda puluhan hingga ratusan bencana setiap tahun.
Dengan RPDAS Terpadu, kita bisa mengurangi kerentanan: memperkuat hulu (reforestasi, konservasi tanah, tata ruang dengan memperhatikan fungsi DAS; tengah, tata pemukiman dan aktivitas manusia secara bijak; hilir) pengaturan tata air dan drainase, serta infrastruktur tahan bencana.
Jika dikembalikan ke semangat "DAS Rumah Kita Bersama", kita membangun dengan memperhitungkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi secara bersamaan.
Kunci kegagalan pengelolaan DAS selama ini adalah: aktivitas manusia dilakukan secara sektoral (kehutanan, perkebunan, pertanian, pertambangan, pemukiman) tanpa koordinasi. Semua berjalan berdasarkan sektor. Padahal, DAS melampaui batas administratif kabupaten, kota, bahkan provinsi.
PP 37 sudah mengatur: jika DAS melintasi kabupaten/kota, otoritas peresmian RPDAS ada di tingkat gubernur; jika lintas provinsi, di tingkat pemerintah pusat (terkait kehutanan, lingkungan). Regulasi ini memberi landasan kuat, tapi harus diimbangi komitmen semua pihak.
Kita harus terlebih dahulu berbicara tentang kewajiban, bukan siapa berhak apa, melainkan apa yang bisa kita kontribusikan kepada daerah yang kita tempati. Dalam RPDAS: siapa menanam pohon, siapa menjaga aliran air, siapa mengatur tata ruang, siapa memastikan aktivitas industri tidak merusak ekosistem, semua punya peran.
Tidak ada ruang untuk ego sektoral apabila kita benar-benar ingin menjadikan DAS sebagai rumah bersama: tempat kita hidup, bernafas, bekerja, dan mewariskan alam kepada generasi berikutnya.
Partisipasi Demokratis
Mengarusutamakan pengelolaan DAS tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. Harus ada political will, transparansi, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas pelaku usaha. RPDAS Terpadu harus dibuka untuk publik: masyarakat adat, komunitas lokal, akademisi, LSM lingkungan semua perlu dilibatkan agar rencana benar-benar mencerminkan kondisi lokal, kebutuhan rakyat, dan kesinambungan ekologis.
Pemerintah pusat dan daerah perlu memprioritaskan alokasi anggaran untuk rehabilitasi hulu DAS, konservasi, reforestasi, penataan ruang, serta penguatan kapasitas komunitas lokal. Pelaku usaha dan industri yang beroperasi di cekungan DAS wajib mendapat izin yang mensyaratkan kontribusi lingkungan. Bukan sekadar pajak atau dana kompensasi, tapi partisipasi nyata dalam menjaga ekosistem.
Di sisi lain, masyarakat harus didorong untuk tidak sekadar sebagai objek distribusi bantuan saat bencana tetapi sebagai subjek pengelolaan lingkungan: ikut merencanakan, memantau, merawat DAS rumah mereka.
Momentum Membenahi Rumah Kita Bersama
Banjir bandang dan longsor yang menimpa Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi manusia dan alam. Tapi jika kita hanya menanggapi sebagai "peristiwa alam", kita mengulang kesalahan masa lalu.
Kini waktunya introspeksi kolektif: memahami bahwa DAS bukan sekadar area geografis, melainkan rumah kita bersama, tempat kita hidup dalam harmoni dengan alam. Dan regulasi seperti PP 37 sudah memberi peta: bagaimana membangun RPDAS Terpadu yang merangkul semua pemangku kepentingan, mengedepankan kebersamaan, bukan ego sektoral.
Kalau kita benar-benar ingin mencegah tragedi serupa di masa depan, bukan sekadar respons darurat, maka sudah saatnya kita berhenti saling menyalahkan, dan mulai bersinergi merawat DAS sebagai nadi ketahanan dan masa depan bersama.
Semoga "DAS Rumah Kita Bersama" bukan sekadar jargon tetapi menjadi cara hidup, cara berpikir, cara membangun Indonesia yang tangguh, adil, dan lestari. ****
Dr Ir Eka W Soegiri merupakan Anggota Forum DAS Nasional
(dhn/dhn)










































