Metabolic Rift dan Bencana di Sumatera
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Metabolic Rift dan Bencana di Sumatera

Senin, 08 Des 2025 09:45 WIB
Afgan Fadilla
Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta dan Peneliti di Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Metabolic Rift dan Bencana di Sumatera
Foto: Ilustrasi foto udara longsor menimpa jalan di wilayah Mega Mendung, Lembah Anai, Tanah Datar, Sumatera Barat, Sabtu (29/11/2025). (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Jakarta -

Ada saat ketika manusia dan alam berjalan beriringan, saling menjaga dan saling menopang untuk tetap hidup. Namun saat ini dunia terpisah menjadi dua kubu, alam sebagai penyedia dan manusia sebagai pengekstrak, hubungan itu akhirnya mulai retak. Karl Marx menyebutnya metabolic rift, jurang metabolik yang tercipta ketika manusia menyerap kekuatan alam tanpa pernah mengembalikannya.

John Bellamy Foster menunjukkan bahwa sinyal keretakan ini telah terbaca sejak abad ke-19 oleh para parson naturalists, ilmuwan-ilmuwan tanah yang menyaksikan kesuburan merosot seiring perluasan produksi. Sejak itu, kita hidup di dunia yang terus mengetuk alam agar memberi, tetapi lupa membiarkannya pulih.

Sekarang ini, retakan itu tampak jelas di Sumatra, bukan metafora, melainkan banjir dan longsor yang mengusung manusia, rumah dan kehidupan. Di Aceh, air memasuki puluhan ribu rumah dan memaksa ribuan keluarga meninggalkan tanah yang mereka pijak sejak kecil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Sumatera Utara, tubuh-tubuh dicari namun tak ditemukan, nama-nama dipanggil namun tak menjawab. Di Sumatera Barat, 13 kabupaten/kota terhenti ritmenya, jalan terputus, permukiman luluh. Ini bukan kebetulan, tapi pola dari hubungan yang retak.

Pemerintah mengatakan bencana ini diakibatkan fenomena alamiah seperti curah hujan ekstrim, disertai istilah teknis seperti siklon tropis, depresiasi tekanan udara, litologi tanah yang rapuh. Semua benar, namun ada kebenaran lain yang tak nyaman, curah hujan hanya menjadi bencana ketika bumi telah kehilangan kemampuannya untuk menahan air.

ADVERTISEMENT

Ketika akar telah digantikan mesin, ketika tanah kehilangan humusnya, ketika sungai kehilangan jalur pengaturannya, ketika gunung kehilangan pohon yang menjaganya tetap tegap. Hujan bukan musuh, ia hanya turun ke bumi yang tak lagi mampu menampungnya.

Kerusakan bukan terjadi tiba-tiba tapi hasil konstruksi manusia seperti konversi hutan menjadi perkebunan, izin tambang yang tak berhenti, kawasan lindung yang berganti menjadi konsesi. Alhasil, kawasan tutupan hutan semakin berkurang secara drastis.

Ironisnya, mereka yang menjaga alam seperti masyarakat adat, petani kecil, nelayan tradisional justru disingkirkan dari ruang hidupnya, seakan alam hanya bernilai ketika menghasilkan laba. Alam kehilangan penjaganya, dan manusia kehilangan rumahnya.

Di sinilah metabolic rift menemukan wujud paling nyata. Produksi mengambil dari alam, tetapi tidak mengembalikan. Nutrisi pergi bersama panen ke kota, limbah tidak pulang ke desa, tanah menjadi tua, air kehilangan daya serap, lanskap kehilangan ketangguhannya.

Akumulasi terjadi di satu ruang yang menyebabkan kerusakan di ruang lain. Mereka yang jauh dari hutan menikmati surplus, mereka yang hidup dalam hutan menjaga luka. Ketika banjir dan longsor menyapu Sumatra, alam bukan sedang mengamuk ia sedang jatuh karena dipaksa berdiri terlalu lama.

Untuk keluar dari lingkaran ini, kita perlu memulai dari gagasan tentang hidup yang baik. Kerangka Buen Vivir, yang tumbuh dari hikmah masyarakat adat Amerika Latin, mengingatkan kita bahwa kesejahteraan adalah harmoni antara manusia, komunitas, dan alam, bukan pertumbuhan tanpa batas.

Dalam pandangan ini, hutan bukan objek, sungai bukan saluran, tanah bukan mesin produksi; semuanya adalah kerabat dalam jejaring kehidupan. Nusantara pun mengenal kebijaksanaan serupa dalam praktik masyarakat adat, petani kecil, dan nelayan tradisional yang menjaga alam bukan untuk menjadi kaya, tetapi agar hidup tetap berlangsung. Buen Vivir mengajak kita mengingat tempat kita dalam dunia, bukan di atas alam, tetapi di dalamnya.

Karena itu, perbaikan bukan hanya urusan tanggul dan penampungan air. Ia memerlukan keberanian untuk mengubah arah kebijakan, yang mana keberanian tersebut dapat ditunjukkan sekarang juga, saat proses revisi undang-undang yang sangat berkaitan dengan hubungan manusia dan alam sedang berlangsung, seperti RUU Masyarakat Adat, UU Kehutanan dan UU Pangan.

RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan agar wilayah adat diakui dan penjaga hutan terlindungi, bukan dikriminalisasi. Revisi UU Kehutanan harus mendorong hutan berbasis masyarakat menjadi fondasi, bukan pengecualian dan revisi UU Pangan harus dirumuskan dalam kerangka kedaulatan pangan, agar petani kecil, perempuan desa, dan nelayan tradisional benar-benar menjadi subjek, bukan lagi penonton dalam tanah airnya sendiri.

Hanya jika kedaulatan ekologis dan kedaulatan rakyat berjalan bersama, kita dapat menutup jurang metabolik antara manusia dan alam.

Afgan Fadilla. Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta dan Peneliti di Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani.

Simak juga Video Cuplak-cuplik: Bencana & Tebar Pesona

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads