Polemik Gus Yahya Bukan Perselisihan Biasa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Polemik Gus Yahya Bukan Perselisihan Biasa

Sabtu, 06 Des 2025 09:36 WIB
KH Imam Jazuli, Lc. MA
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Polemik Gus Yahya Bukan Perselisihan Biasa
Foto: KH Imam Jazuli (dok Pribadi)
Jakarta -

Polemik yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat ini bukanlah sekedar "perselisihan biasa" antarpengurus yang bisa diselesaikan dengan narasi islah (perdamaian). Sebaliknya, polemik ini dihapus pada tuduhan pelanggaran berat yang sudah dilakukan oleh mantan Ketua Umum (Ketum) PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), sebagaimana ditegaskan oleh beberapa pihak internal Syuriah, bahkan Rais Am.

Tetapi belakangan, ada upaya sistematis dari pihak pendukung untuk mendukung substansi masalah dan menggiring opini publik seolah-olah yang terjadi hanyalah konflik internal biasa, demi membuka pintu keluar melalui islah dari konsekuensi pelanggaran yang jelas, dan ini justru bisa mendorong fakta dengan narasi sederhana "perselisihan".

Pihak yang menghendaki islah, termasuk beberapa Wakil Ketum PBNU, secara konsisten menyebut situasi ini sebagai "konflik" atau "kisruh internal" yang harus diarahkan demi keutuhan organisasi. Narasi ini sengaja dibangun untuk menutupi sifat pelanggaran yang dimaksudkan. Pemecatan atau penghentian Ketum PBNU yang tertuang dalam surat edaran Syuriyah adalah sanksi, yang didasari oleh dugaan pelanggaran terhadap AD/ART dan peraturan organisasi, termasuk isu terkait pengelolaan keuangan, bukan sekadar perbedaan pendapat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika masalahnya adalah pelanggaran berat, maka mekanismenya adalah penegakan aturan organisasi dan pertanggungjawaban, bukan islah. Analogi sederhana: sebuah tindakan "salah" dari anak, tidak bisa orang tua cukup menyelesaikan hanya dengan "perdamaian", tanpa sanksi, atau dalam kaca mata hukum, pelaku tidak bisa diselesaikan hanya mengandalkan mediasi, tanpa proses hukum yang berlaku.

Maka, dengan menggiring opini ke arah perselisihan, substansi pelanggaran berat menjadi kabur, dan tuntutan akuntabilitas bisa dinegosiasikan atau bahkan diabaikan. Upaya paling kentara dalam membangun narasi islah adalah melibatkan dan mempolitisasi para kiai sepuh.

ADVERTISEMENT

Forum sesepuh NU memang telah berkumpul dan menyerukan islah untuk menghentikan polemik publik (30/11/2025). Seruan ini, meskipun didasari niat baik untuk menjaga marwah dan keutuhan NU, secara tidak langsung dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk memperkuat argumen bahwa masalahnya hanya "salah paham" yang butuh mediasi.

Padahal, polemik ini tidak memerlukan islah karena ada pelanggaran berat yang telah terjadi. Para kiai sepuh, dengan kharisma dan otoritas moralnya, seharusnya didudukkan sebagai penegak aturan dan keadilan, bukan sekadar juru damai untuk pelanggaran serius. Memanfaatkan wibawa mereka untuk menutupi kesalahan struktural adalah bentuk politisasi yang merugikan marwah ulama itu sendiri.

Pelanggaran Berat Menuntut Akuntabilitas

Organisasi sebesar dan sehormat NU memiliki mekanisme dan aturan yang jelas terkait pemberhentian fungsionaris yang melanggar AD/ART. Surat edaran PBNU yang sempat beredar menyebutkan rujukan pasal-pasal spesifik dalam Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa masalahnya adalah soal kepatuhan terhadap hukum organisasi, bukan soal "baper" atau konflik personal.

Islah adalah jalan terbaik untuk meredakan kisruh elite (seperti yang diungkapkan pakar hukum Unnes), tetapi tidak bisa menjadi jalan pintas untuk menghindari konsekuensi hukum organisasi dari pelanggaran berat. Jalan satu-satunya yang bermartabat adalah menjalani proses sesuai aturan yang berlaku, memastikan audit (jika terkait keuangan) berjalan tuntas, dan menegakkan keadilan di internal organisasi.

Jadi, upaya untuk mengatur masalah pelanggaran berat menjadi sekadar "perselisihan" adalah taktik untuk menghindari pertanggungjawaban. PBNU memerlukan akuntabilitas dan penegakan aturan yang tegas, bukan islah yang prematur dan menutupi masalah substansi. Organisasi Marwah dan para kiai sepuh harus dijaga dengan menegakkan kebenaran, bukan dengan kompromi terhadap pelanggaran.

Maka keputusan pemecatan dari Syuriah secara kolektif dan kolegial tidak elok kalau dibenturkan dengan para kiai sepuh.

Wallahahu'alam bishawab.

KH Imam Jazuli, Lc. MA

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

(jbr/jbr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads