Selama ini, banjir di Indonesia terlalu sering diperlakukan seolah,olah hanya soal "kelebihan air". Setiap musim hujan, pemandangan yang sama kembali berulang: permukiman tergenang, jalan utama terputus, ribuan orang terpaksa mengungsi.
Banjir dan longsor pada akhir November 2025 di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hanyalah babak terbaru, dan termasuk yang terburuk, dari cerita yang terus berulang ini.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga awal Desember, ratusan orang telah meninggal dunia, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang di tiga provinsi tersebut, dengan ribuan orang luka,luka, jutaan terdampak, dan lebih dari satu juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Di balik angka, angka ini ada kampung,kampung yang tersapu banjir dan lumpur, hari,hari dengan hujan tak kunjung reda, serta malam,malam yang dipenuhi rasa takut dan ketidakpastian.
Puluhan tahun berlalu, teknologi berkembang, anggaran infrastruktur meningkat, dan istilah seperti "normalisasi" serta "pengendalian banjir" kian sering terdengar. Namun, setiap musim hujan, berita banjir kembali memenuhi layar ponsel dan siaran televisi kita.
Seolah-olah kita berjalan berputar di tempat, sementara sejarah diam,diam terulang di wilayah yang berbeda: hari ini di Aceh, besok di Sumatera Utara, lain waktu di Sumatera Barat, dan di saat yang lain di provinsi yang berbeda lagi.
Tragedi-tragedi ini dipicu oleh curah hujan ekstrem yang diperkuat oleh sistem tropis di Samudra Hindia, yang menyebabkan sungai meluap dan lereng-lereng labil runtuh. Namun, berhenti menjelaskan sampai di situ berarti mengabaikan cerita yang lebih dalam.
Di banyak wilayah Indonesia, banjir telah menjadi bagian dari ingatan kolektif yang diwariskan lintas generasi, ingatan tentang air yang memaksa masuk ke dalam rumah, aktivitas sehari-hari yang lumpuh, dan hari-hari panjang yang dihabiskan di tempat pengungsian yang sesak.
Namun banjir ini bukan semata-mata "ulah alam yang murka"; ia juga merupakan hasil dari rangkaian panjang keputusan tentang bagaimana kita mengelola lahan, hutan, dan daerah aliran Sungai, seperti di Sumatera.
Merawat ingatan kolektif kita tentang bencana banjir seharusnya tidak berhenti pada catatan seberapa tinggi air pernah naik atau seberapa kokoh tanggul dibangun. Ingatan itu seharusnya mendorong kita bertanya: mengapa pola yang sama terus berulang?
Apa yang tidak berubah di balik berbagai proyek fisik dan program penanganan darurat? Pada titik inilah kita perlu berani melihat banjir bukan hanya sebagai persoalan hidrologi, tetapi juga sebagai cermin kegagalan tata kelola kelembagaan.
Melalui kacamata ekonomi kelembagaan, sebagaimana dikembangkan, misalnya oleh Daniel W. Bromley, banjir dapat dibaca sebagai bencana yang diproduksi oleh "aturan main". Institusi, dalam bentuk undang-undang, perizinan, norma sosial, dan struktur hak kepemilikan, bukan sekadar latar belakang yang netral.
Ia adalah aktor utama yang menentukan siapa boleh melakukan apa, di mana, dan dengan konsekuensi apa. Ketika institusi cacat, ia menciptakan insentif yang menyimpang: keuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak, dibayar dengan kerentanan jangka panjang bagi banyak orang.
Bayangkan suatu daerah aliran sungai yang membentang dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu, izin resmi dikeluarkan untuk penebangan hutan, pembukaan tambang, atau mengonversi sistem agroforestri yang beraneka ragam menjadi sistem monokultur dengan tutupan vegetasi yang buruk.
Di bagian tengah, izin lokasi dan bangunan memungkinkan sawah irigasi dan lahan produktif lain diubah menjadi kawasan permukiman dan komersial dengan permukaan kedap air. Di bagian hilir, masyarakat hidup dengan hak konstitusional atas lingkungan yang sehat dan rasa aman di rumah mereka.
Semua keputusan itu mungkin sah di atas kertas, namun ketika hujan lebat turun dan air meluap, pihak yang pertama dan paling parah menanggung dampaknya adalah warga hilir yang tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan izin,izin tersebut.
Bencana terbaru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah ilustrasi pedih dari hal ini. Bertahun-tahun degradasi hutan di daerah tangkapan air hulu, ekspansi perkebunan dan bentuk konversi lahan lainnya, serta lemahnya pengendalian bangunan di sepanjang bantaran Sungai, telah mengurangi kemampuan lanskap untuk menyerap dan memperlambat aliran air.
Ketika hujan ekstrem turun, air tidak mengenai ekosistem yang sehat dan tangguh, melainkan lereng-lereng yang melemah dan permukaan yang mengeras. Peristiwa hidrologi yang seharusnya dapat dikelola kemudian berubah menjadi rangkaian banjir dan longsor.
Di sini kita menyaksikan apa yang dapat disebut sebagai benturan hak. Hak untuk menguasai dan mengubah ruang di wilayah hulu dan tengah berbenturan dengan hak warga hilir untuk hidup dengan aman. Hak yang dibungkus dalam bentuk legal sering kali, dalam praktiknya, mengandung "lisensi untuk merusak", karena biaya ekologis dan risiko banjir dapat dialihkan kepada orang,orang yang tak pernah diajak berunding.
Dengan demikian, banjir bukan hanya akibat drainase yang buruk atau sempitnya badan sungai, tetapi juga akibat kegagalan politik dalam merumuskan dan menegakkan hak kepemilikan yang bertanggung jawab.
Sejarah tata kelola ruang di Indonesia juga menunjukkan bahwa aturan-aturan ini tidak lahir di ruang hampa. Dalam banyak kasus, kita dapat melihat jelas kuatnya koalisi antara pemilik modal dan birokrasi dalam pengambilan keputusan. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bisa berubah menjadi sekadar formalitas.
Rekomendasi teknis dari para ahli dapat disisihkan atas nama percepatan proyek. Rencana tata ruang dapat direvisi untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Penegakan hukum lingkungan sering kali timpang: keras terhadap pelanggaran kecil, lunak terhadap pelaku berskala besar.
Proses-proses ini menciptakan insentif ekonomi yang mendorong konversi kawasan resapan, hilangnya ruang terbuka hijau, dan pembangunan di bantaran sungai,semuanya meningkatkan risiko banjir di banyak wilayah, termasuk daerah,daerah yang baru saja dilanda banjir di Sumatera.
Pada tahap ini, bencana banjir menjelma menjadi drama politik. Begitu air naik dan kamera televisi berdatangan, politisi dan pejabat publik seakan berlomba menunjukkan betapa pedulinya mereka.
Tahun demi tahun, kita menyaksikan adegan yang sama: celana digulung, rompi resmi dikenakan, langkah-langkah berhati-hati menapaki genangan, paket bantuan dibagikan di tenda,tenda pengungsian, tangan mengusap kepala anak,anak, dan sesi foto bersama warga yang kelelahan. Banjir menjadi panggung pencitraan sosial, arena empuk untuk meraih simpati dan menampilkan kesan bahwa negara "hadir" bersama rakyat.
Kontrasnya menjadi jelas ketika pembicaraan bergeser ke urusan pelestarian lingkungan atau pencegahan bencana. Ketika diskusi beralih ke rehabilitasi daerah aliran sungai, pengendalian yang lebih ketat terhadap alih fungsi lahan, penertiban bangunan ilegal di bantaran sungai, atau penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan, panggung itu mendadak sepi.
Tidak banyak yang ingin tampil di depan kamera untuk menjelaskan mengapa suatu kawasan tidak lagi boleh dibangun, mengapa sebuah proyek besar harus dibatalkan, atau mengapa izin yang sudah terlanjur dikeluarkan perlu ditinjau ulang. Kerja-kerja pencegahan, yang minim sorotan media dan kerap menuntut "pengorbanan" kepentingan ekonomi jangka pendek, sulit diterjemahkan menjadi suara pemilih.
Inilah paradoks banjir kita: ketika air tinggi, empati dipertontonkan; ketika air surut, ingatan kita tentang akar struktural masalahnya memudar. Padahal justru di masa tenanglah kita seharusnya aktif merawat ingatan kolektif tentang banjir, bukan untuk meratapi masa lalu tanpa henti, melainkan untuk menuntut perubahan aturan.
Ingatan tentang banjir-banjir besar di berbagai wilayah Indonesia, bersama dengan bencana terbaru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, seharusnya menjadi landasan moral dan politik untuk bertanya: siapa yang diuntungkan dari pola pembangunan yang perlahan menghapus kawasan resapan? Siapa yang paling sering menjadi korban, dan siapa yang pertama,tama harus dimintai pertanggungjawaban?
Jika kita menerima bahwa banjir adalah bencana kelembagaan, maka jalan keluarnya adalah rekonstruksi kelembagaan. Hak atas sebidang tanah tidak lagi bisa dimaknai sebagai kebebasan melakukan apa saja selama memegang izin. Hak itu harus dipahami sebagai satu paket hak sekaligus kewajiban ekologis.
Konversi sawah, kebun campuran, dan ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun yang padat tidak boleh lagi diperlakukan sebagai pilihan yang mudah, karena setiap keputusan semacam itu memengaruhi kapasitas serapan air di seluruh daerah aliran sungai.
Pada saat yang sama, kita memerlukan pengakuan dan penguatan hak, hak yang memihak pada konservasi, termasuk peran komunitas lokal dan petani yang menjaga tutupan vegetasi dan kualitas lahan.
Rekonstruksi kelembagaan juga menuntut akuntabilitas yang jauh lebih kuat. Prinsip "polluter pays" harus dihidupkan kembali bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai mekanisme konkret yang menghubungkan tindakan merusak di suatu kawasan dengan kerugian yang dirasakan di tempat lain.
Mereka yang menutup zona resapan atau mengabaikan kewajiban drainase harus menanggung biaya rehabilitasi, alih-alih sekadar melempar persoalan ke anggaran publik. Beban finansial tidak dapat terus-menerus didorong kepada masyarakat hilir yang sudah lelah berulang kali mengungsi.
Peraturan baru, seideal apa pun, tidak akan kokoh jika tidak dianggap adil oleh pihak-pihak yang terdampak. Karena itu, tata kelola risiko banjir perlu dipindahkan dari ruang-ruang rapat tertutup ke proses kolektif yang lebih transparan dan inklusif. Pada skala daerah aliran sungai, forum yang melibatkan warga, petani, tokoh masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan pemerintah dapat menjadi arena bersama untuk merumuskan dan mengawal "aturan main".
Di berbagai daerah di Indonesia, forum semacam ini dapat merangkai ingatan tentang banjir, banjir masa lalu dengan pengetahuan teknis hari ini, sehingga pengalaman pahit di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan wilayah lain tidak sekadar menguap, melainkan berubah menjadi garis merah yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ruang hidup bersama.
Data terbuka adalah prasyarat penting lainnya. Peta perizinan, data hak atas tanah dan air, rencana tata ruang, serta lokasi proyek-proyek besar yang berpotensi mengubah aliran air harus mudah diakses publik. Dengan begitu, warga, jurnalis, peneliti, dan organisasi masyarakat sipil memiliki dasar yang kuat untuk memantau, memberi peringatan dan bila perlu menggugat keputusan ketika hak mereka atas lingkungan yang aman terancam.
Pada akhirnya, merawat ingatan kolektif tentang bencana banjir berarti menolak melupakan akar persoalan setelah air surut. Itu berarti menghubungkan cerita banjir besar di masa lalu dengan banjir hari ini, dari Aceh ke Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan seterusnya, bukan sekadar sebagai rangkaian kemalangan, tetapi sebagai bukti bahwa ada sesuatu yang secara fundamental keliru dalam cara kita menata ruang dan membagi risiko.
Selama "aturan main",nya tetap sama, setiap musim hujan akan mengundang episode baru dari drama lama: warga hilir tergenang, politisi memerankan empati di depan kamera, dan rencana pencegahan kembali ditunda.
Merawat ingatan kolektif mengandung makna yang menegaskan bahwa banjir bukanlah takdir yang harus diterima begitu saja, melainkan alarm politik yang menuntut tindakan. Jika kita sungguh-sungguh belajar dari masa lalu, maka tugas generasi hari ini adalah memastikan bahwa setiap tetes hujan tidak otomatis menjadi ancaman, tetapi kembali menjadi berkah.
Untuk itu, yang perlu kita surutkan bukan hanya air di jalanan, melainkan juga ego sektoral, kerakusan jangka pendek, dan keberanian kita untuk menantang struktur aturan yang membuat bencana menjadi berulang. Ingatan atas banjir adalah ingatan atas hak untuk hidup aman, hak yang seharusnya tak pernah dikalahkan oleh logika kapital yang buta terhadap korban di hilir.
Evi Irawan. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Simak juga Video: Tolong! 1.807 Orang di Posko Meunasah Balek Aceh Belum Dapat Bantuan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT











































