Siklon Tropis Senyar yang baru saja memporak-porandakan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah tamparan keras bagi logika lama kita tentang bencana. Muncul di Selat Malaka, kawasan yang secara teoretis "haram" bagi siklon karena gaya Coriolis yang lemah di dekat ekuator, Senyar membuktikan bahwa atmosfer Nusantara telah berubah drastis. Ia bukan sekadar badai; ia adalah anak kandung dari krisis iklim.
Suhu muka laut yang memanas di perairan Indonesia telah menjadi "bahan bakar" premium yang mengubah Bibit 95B menjadi monster siklon tropis hanya dalam hitungan hari.
Jika dulu kita merasa aman berlindung di balik teori bahwa badai menjauh dari khatulistiwa, Senyar meruntuhkan rasa aman palsu itu. Ini adalah 'normal baru': cuaca ekstrem yang lahir tepat di depan pintu rumah kita, bukan lagi kiriman dari Samudra Hindia yang jauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Senyar hanyalah pemicu. Pembunuh sebenarnya adalah kerusakan ekologis yang kita biarkan. Lihatlah apa yang terjadi di Batang Toru, Tapanuli Selatan, hingga ke Pantai Air Tawar di Padang. Banjir bandang tidak datang sendirian, ia membawa serta ribuan ton "sampah" peradaban berupa kayu gelondongan raksasa.
Di Batang Toru, kayu-kayu yang menghantam Desa Garoga bukanlah pohon yang tumbang alami karena longsor. Saksi mata menyebut kayu-kayu itu "telanjang", tanpa kulit, dan terpotong rapi, tanda tangan tak terbantahkan dari aktivitas penebangan, bukan proses alam.
Kayu-kayu ilegal inilah yang menjadi senjata pembunuh. Tanyakan pada Risna, seorang nenek di Garoga yang harus kehilangan cucu lima tahunnya. Genggaman tangannya pada sang cucu terlepas bukan karena takdir semata, melainkan karena hantaman kayu gelondongan yang diduga kuat berasal dari aktivitas pembukaan lahan perusahaan di hulu Sibabangun.
Pemandangan serupa terhampar di Sumatera Barat. Gunungan kayu gelondongan yang memenuhi bibir pantai Padang adalah bukti kejahatan lingkungan. Respons pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) terdengar sangat teknis dan defensif.
Mereka menduga kayu-kayu itu berasal dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di Areal Penggunaan Lain (APL). Dengan kata lain, pemerintah ingin bilang: "Tenang, ini bukan dari hutan lindung, ini dari lahan yang ada izinnya." Bahkan ada alibi bahwa itu mungkin kayu sisa tebangan lama yang sudah lapuk.
Ironisnya, di tengah korban yang berjatuhan dan kayu bukti kejahatan yang berserakan, manajemen mitigasi bencana kita masih jalan di tempat. BMKG sudah menegaskan bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) tidak mempan melawan siklon sebesar Senyar.
Satu-satunya pertahanan adalah kesiapsiagaan. Namun, realitasnya? Nol besar. Kita tidak punya sistem peringatan yang benar-benar sampai ke telinga warga di bantaran sungai tepat waktu. Tidak ada evakuasi dini sebelum air bah datang. Kita seolah membiarkan warga bertaruh nyawa melawan alam yang sudah kita rusak sendiri.
Koordinasi antarinstansi masih menjadi lelucon birokrasi yang tak lucu. BMKG mungkin sudah berteriak tentang potensi bahaya "Bibit 95B" sejak dini, tetapi Pemerintah Daerah sering kali merespons dengan lambat, seolah data satelit itu hanya hiasan layar monitor. Antara peringatan pusat dan aksi daerah terdapat jurang menganga.
Ketika bencana terjadi, barulah semua pihak sibuk saling tunjuk, menggelar rapat darurat di ruangan ber-AC, sementara warga di Agam dan Tapsel masih mengais lumpur mencari anggota keluarga yang hilang.
Lebih menyedihkan lagi, pemerintah pusat tampak ragu menetapkan kehancuran lintas provinsi ini sebagai Bencana Nasional. Padahal, skala kerusakan dari Aceh hingga Sumbar sudah melumpuhkan sendi ekonomi dan sosial secara masif.
Apakah nyawa ratusan orang di Sumatera belum cukup "berharga" untuk status tersebut? Ataukah kita takut citra "Indonesia Maju" tercoreng oleh fakta bahwa kita masih gagap menangani hujan?
Namun, yang paling menampar rasa kemanusiaan kita adalah respons publik. Di saat saudara kita di Sumatera bertaruh nyawa melawan lumpur, atensi nasional justru tersedot ke hal-hal remeh. Trending topic kita tidak didominasi oleh seruan bantuan ke Langsa atau Sibolga, melainkan oleh gosip perselingkuhan artis yang tak ada habisnya.
Bahkan, ironi terbesar minggu ini adalah sebuah "Tumbler" (botol minum) yang tertinggal di kereta. Peristiwa sepele itu mendapatkan porsi simpati dan pembahasan viral yang jauh lebih masif ketimbang puluhan nyawa yang melayang di Sumatera.
Siklus ini harus diputus. Berhenti sejenak dari saling tuding yang tak berujung. Ini saatnya merombak total cara kita hidup di atas tanah rawan bencana ini.
Pemerintah harus berhenti menjadikan Tata Ruang sebagai dokumen formalitas yang bisa disogok demi investasi. Kembalikan fungsi resapan air, perketat izin di zona merah, dan perkuat program mitigasi yang nyata-bukan sekadar seminar di hotel.
Tugas negara bukan hanya memberi mi instan saat banjir, tapi mengajari rakyatnya cara bertahan hidup dan berdampingan dengan bencana yang kian akrab ini.
Bagi masyarakat, hentikan mentalitas "korban yang pasrah". Jangan hanya garang menyalahkan pejabat di media sosial, tapi abai pada keselamatan rumah sendiri. Mulailah proteksi mandiri.
Bangun tanggul sederhana atau penahan air di depan pintu, bersihkan selokan, dan siapkan skenario penyelamatan keluarga. Sadarilah, bantuan pemerintah sering kali lambat; pertolongan pertama adalah diri kita sendiri.
Terakhir, halo para akademisi dan pelaku industri, turunlah dari menara gading kalian. Di mana inovasi kalian saat rakyat butuh solusi? Jangan hanya sibuk mengejar jurnal internasional atau profit dari barang konsumtif.
Ciptakan produk mitigasi yang solutif dan terjangkau: sensor banjir level RT, material bangunan tahan longsor, atau alat evakuasi portabel. Kejeniusan kalian sedang ditunggu untuk menyelamatkan nyawa, bukan sekadar mempercantik portofolio.
Siklon Senyar memang sudah menjauh, tetapi ia meninggalkan pesan jelas: alam sudah berubah, dan jika mentalitas kita baik pemerintah, warga, dan kaum intelektualnya masih sama bebalnya, kita hanya sedang mengantre giliran untuk menjadi korban selanjutnya.
Riki Rahmad. Dosen dan Peneliti Geografi, Universitas Negeri Medan.
Simak juga Video: BMKG Peringatkan Dampak Cuaca Ekstrem di Wilayah Timur Indonesia











































