"...Yang menarik adalah bahwa daripada membuang gagasan demokrasi dan kewarganegaraan yang inklusif, NU dan Muhammadiyah dan juga mungkin sebagian umat lain masih tetap memegang cita-cita inklusif itu. Nah, itu warisan inklusif, jadi tidak membedakan kewarganegaraan menurut agama, ras, etnis, dan segalanya. Itu keistimewaan Indonesia."
Begitu kira-kira ungkapan Prof. Robert W. Hefner, seorang antropolog dari Boston University Amerika Serikat saat berdiskusi di UIN Syarif Hidayatullah pada minggu keempat November ini.
Kalimat itu bukan hanya pujian untuk menenangkan hati kita saja tapi itu merupakan sebuah keyakinan yang muncul dari hasil penelitiannya selama puluhan tahun tentang Indonesia, termasuk soal isu kewarganegaraan.
Prof Bob, begitu ia akrab dikenal, menyebut ada dua poin penting menjadikan demokrasi di Indonesia ini istimewa. Pertama, Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritasnya (Islam) memiliki peran sentral, namun Islam tidak dijadikan sebagai agama negara seperti di Timur Tengah atau yang lainnya.
Kedua, Indonesia mempunyai asosiasi massa (civil society organizations) terbesar di dunia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Jadi, ia melihat bahwa Indonesia mempunyai tradisi asosiasi civil yang sangat cemerlang dan penting.
Muhammadiyah dan NU juga memperjuangkan sebuah kewarganegaraan yang ideal dan demokrasi yang egaliter dan tidak membedakan. Meski dalam realita selalu ada perbedaan, tapi aspirasi tentang ke-egaliter-an di kedua organisasi itu ada untuk memperjuangkan demokrasi dan memperjuangkan kewarganegaraan yang inklusif.
Ia melihat, organisasi sipil seperti Muhammadiyah dan NU tidak dapat ditemukan di negara manapun, bahkan di negara-negara seperti Asia, Eropa dan Amerika Serikat sekalipun. Kedua organisasi sipil ini disebut sebagai Big Tent Organization (Gustav Brown: 2019).
Saat saya berkeliling ke beberapa kampus di Malaysia dan di Thailand Selatan akhir Oktober kemarin, rasa kagum terhadap demokrasi di Indonesia juga disampaikan oleh civitas academica di sana. Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi barang mewah.
Mereka tidak dapat dengan mudah mengungkapkan pendapatnya. Ada aturan yang cukup ketat membatasi masyarakatnya. Tidak hanya berbicara, bagi pendakwah yang akan berkhutbah pun perlu ada sertifikasi dari pemerintah serta materi dakwahnya harus sesuai dengan materi yang dikeluarkan oleh otoritas terkait.
Selain itu, mereka juga mengagumi metode pendidikan yang diterapkan pondok pesantren di Indonesia yang dianggap inovatif jika dibandingkan dengan metode pendidikan pesantren di sana. Salah satunya, mereka tidak bisa menerapkan metode hafalan al-Qur'an secara singkat seperti di Indonesia. Metode ini lahir di Indonesia lantaran metode pendidikan pondok pesantren kita sudah tua dibandingkan di Malaysia.
Selain itu, ekosistem pendidikan di pondok pesantren dibantu oleh alumninya (baik yang mengabdi secara langsung ataupun tidak) sehingga ia membentuk sanad ilmu (garis ilmu dari guru/kyai).
Persebaran alumni yang telah berdiaspora di berbagai bidang dan keilmuan tersebut memberikan peluang lebih besar kepada lembaga pendidikan Muhammadiyah dan NU yang semakin menguat.
Siklus tersebut membuat ekosistem di internal dua organisasi ini semakin modern. Memang kedua organisasi sipil terbesar di dunia ini telah melalui berbagai pasang surut dalam lanskap sejarah Indonesia.
Meski relasi dengan pemerintah/negara banyak mengalami pasang surut, tetapi kedua organisasi itu tetap eksis menjadi tulang punggung demokrasi di Indonesia karena langkah yang diambil kedua organisasi itu bukan politik-ideologi melainkan konsensus.
Pada posisi ini saya setuju dengan pendapat Gustav Brown yang menyebut kedua organisasi itu relatif menggunakan pendekatan konsensus dalam beberapa hal dibandingkan dengan pendekatan ideologi secara keseluruhan. Karena jika terlalu menggunakan pendekatan ideologi, ia akan cepat patah dan berkarat. Ia harus tampil "fleksibel" meski Gustav menyebutnya sebagai "hal yang membingungkan".
Mengenai situasi internal di NU akhir-akhir ini yang tengah dilanda persoalan, saya meyakini bahwa NU akan menyelesaikannya secara arif dan bijaksana. Alam pikir orang Indonesia tidak berpikir hanya tentang politik-ideologi saja--seperti yang dilihat Gustav Brown--tetapi alam pikir kita banyak dipengaruhi oleh norma, etika, dan nilai agama, yang berkelindan dengan budaya masyarakat lokal (lokal wisdom).
Ada isu besar lainnya yang perlu mendapat perhatian besar dari Muhammadiyah dan NU seperti cuaca ekstrem, Artificial Intelligence (AI), perang militer, kelaparan, pendidikan, kesehatan, kesetaraan dan sebagainya yang memerlukan solusi dari civic Islam ini. Dengan status sebagai organisasi sipil terbesar di dunia, maka alam pikir kedua organisasi tersebut juga harus mengglobal.
Cep Deni Muchlis. Mantan wartawan dan kini sedang menempuh studi Magister Sosiologi di UIN Syarif Hidayatullah.
Tonton juga video "Gubernur Lemhannas Peraih Penghargaan Penguatan Ketahanan Demokrasi Detikcom Awards 2025"
(rdp/rdp)