Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), secara resmi meluncurkan Peta Jalan dan Panduan Aksi Ekosistem Karbon Biru Indonesia, pada COP 30 UNFCCC di BelΓ©m, Brazil, pada pertengahan November lalu.
Dokumen tersebut memuat arah kebijakan dan langkah terkoordinasi untuk melindungi, memulihkan, dan mengelola mangrove, padang lamun, dan rawa asin pasang surut secara berkelanjutan. Selain itu, dokumen ini menyediakan kerangka kerja yang menghubungkan sains, kebijakan, sistem pemantauan, dan skema pembiayaan untuk memperkuat transisi Indonesia menuju ekonomi kelautan rendah karbon dan tangguh iklim.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono ketika merilis dokumen tersebut menyatakan peta jalan ini bukan hanya panduan kebijakan, tetapi kerangka aksi yang menghubungkan sains, kebijakan, dan pendanaan, untuk memastikan kualitas dan integritas ekosistem karbon biru dalam sistem nilai ekonomi karbon nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehadiran dokumen ini menjadi babak baru di sektor kelautan dimana karbon biru kini berada di garis depan bukan hanya dalam diplomasi iklim, tetapi juga sebagai sumber pertumbuhan ekonomi pesisir Indonesia.
Perubahan Paradigma
Selama ini konservasi dipandang sebagai beban pembiayaan. Paradigma tersebut perlu ditinjau ulang. Restorasi dan perlindungan ekosistem karbon biru kini dapat menghasilkan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sebagaimana diatur Perpres 110/2025.
Artinya, semakin besar penurunan emisi dan penyerapan karbon yang dihasilkan ekosistem pesisir, semakin besar pula manfaat ekonomi yang dapat diperoleh, bukan hanya oleh negara, tetapi juga pemerintah daerah dan masyarakat.
Indonesia memiliki titik awal yang sangat kuat untuk memanfaatkan peluang ini. Nusantara memiliki 3,44 juta hektare mangrove, luas terbesar di dunia, dengan kemampuan menyimpan karbon rata-rata 1.000 ton per hektare. Indonesia juga termasuk negara dengan sebaran padang lamun terbesar di dunia, serta kawasan rawa asin potensinya mencapai jutaan hektare meski masih dalam proses inventarisasi.
Namun kekayaan ekosistem karbon biru tadi baru menjadi kekuatan ketika dijadikan aset ekonomi, bukan sekadar kawasan konservasi. Melalui NEK dan sistem registri karbon nasional, upaya restorasi dan perlindungan ekosistem dapat diukur (MRV), diverifikasi, di registrasi, dan diperdagangkan dalam bentuk unit karbon.
Ini tentu membuka aliran pendapatan baru yang selama ini tidak tersedia untuk daerah pesisir. Manfaat ekonomi dapat bersumber diantaranya dari perdagangan unit karbon, pembayaran berbasis hasil restorasi, pendanaan rehabilitasi jangka panjang, hingga pengembangan ekowisata dan produk turunan mangrove/lamun.
Jika dikelola dengan baik, pemerintah daerah dapat memperoleh pendapatan tanpa harus mengubah fungsi ekologis pesisir menjadi kawasan industri, reklamasi, atau konversi lahan besar-besaran.
Di tingkat tapak, masyarakat dapat menerima manfaat berganda dari kegiatan ekonomi berbasis ekosistem (madu mangrove, kerajinan, wisata, AMA) dan dari insentif karbon berbasis kinerja. Program karbon biru yang berhasil di berbagai wilayah menunjukkan peran penting perempuan dan masyarakat adat dalam pemulihan ekosistem.
Karena itu, sistem pembagian manfaat (benefit sharing) harus memastikan kelompok tersebut memperoleh insentif dan perlindungan usaha, bukan hanya sertifikasi simbolis.
Peluang ekonomi karbon biru sangat besar, tetapi implementasinya menuntut kehati-hatian. Ada empat prasyarat agar ekonomi karbon biru tidak hanya berhasil di atas kertas, pertama, MRV kredibel dan transparan, karena tanpa data yang akurat hasil mitigasi tidak dapat dikonversi menjadi nilai ekonomi.
Kedua, registrasi dan sertifikasi yang end-to-end hingga menghasilkan unit karbon yang layak diperdagangkan. Ketiga, benefit sharing yang memastikan masyarakat pesisir memperoleh manfaat ekonomi secara langsung dan adil. Keempat, koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah untuk menghindari regulasi saling tumpang tindih.
Gagal memenuhi prasyarat tersebut akan menjadikan karbon biru hanya sebagai jargon diplomasi iklim, bukan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi pesisir.
Era Baru
Indonesia telah lama memanfaatkan sumber daya alam seperti batu bara, sawit, dan nikel sebagai tulang punggung ekonomi. Namun era baru menuntut model pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan generasi mendatang.
Karbon biru menawarkan pola ekonomi yang berbeda dimana nilai tercipta bukan ketika alam dieksploitasi, tetapi ketika alam dijaga. Indonesia diakui memiliki potensi karbon biru terbesar di dunia.
Namun, karbon biru bukan solusi jika manfaat tidak mengalir ke masyarakat yang paling berjasa menjaga ekosistem yaitu mereka yang berada di desa-desa pesisir Indonesia. Bila tata kelola dijalankan dengan integritas, ia berpotensi menjadi tonggak ekonomi baru Indonesia yakni ekonomi yang tidak tumbuh dari eksploitasi, melainkan dari pelestarian.
Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi Publik
Tonton juga video "Hanif Sebut RI Jadi yang Pertama Adopsi Karbon Biru Secara Konkret"
(akn/ega)










































