Unit Humas Reaksi Cepat, Strategi Manajemen Krisis di Era Digital
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Unit Humas Reaksi Cepat, Strategi Manajemen Krisis di Era Digital

Selasa, 02 Des 2025 10:21 WIB
Erwin Dariyanto
Penulis adalah jurnalis, pemerhati masalah komunikasi dan kebijakan publik alumni Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi komunikasi sinkron.
Foto: Ilustrasi berkomunikasi (Headway/Unsplash)
Jakarta -

Ada sebuah pertanyaan menarik saat penulis diminta menjadi pemateri dalam Workshop Kehumasan Inspektorat Jenderal salah satu kementerian di Cibubur, Jawa Barat pada akhir pekan lalu. Si penanya mengawali dengan permintaan maaf, sebab pertanyaannya mungkin di luar tema diskusi yang saya bawakan.

"Bagaimana kami di unit humas kementerian ini harus cepat merespons ketika ada sentimen negatif tentang kementerian yang tiba-tiba diviralkan oleh netizen di media sosial," tanya dia.

Musabab terikat aturan birokrasi, humas kementerian tak bisa memberikan respons cepat. Semua pernyataan atas nama kementerian yang keluar ke masyarakat harus melewati verifikasi berlapis. Mulai dari penulis, kepala seksi hingga minimal sampai kepala biro komunikasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua prosedur tersebut harus dipenuhi. Konsekuensinya saat pers rilis keluar, sentimen negatif yang terlanjur viral kian luas menyebar. Di sini kemudian muncul pertanyaan tambahan, mana yang harus didahulukan: tetap ikuti prosedur dengan konsekuensi sentimen negatif kian viral, atau pangkas prosedur saat itu agar info tersebut tidak makin liar.

Di era digital seperti saat ini di mana informasi beredar dengan cepat, tim humas kementerian, lembaga mau pun perusahaan swasta tak boleh kalah gesit dengan netizen. Kekalahan sedikit saja akan berpengaruh besar terhadap citra institusi.

ADVERTISEMENT

Namun perlu diingat bahwa di atas kecepatan respons tersebut tetap yang harus diutamakan adalah akurasi dan ketepatan. Seperti halnya kami di media massa baik online, cetak mau pun televisi. Kami memang dituntut untuk memberikan informasi paling cepat, tapi tetap harus yang akurat.

Agar semua berita terjaga akurasinya, sebelum tayang melewati verifikasi berlapis. Artikel ditulis oleh reporter dari lapangan, kemudian diperiksa oleh asisten redaktur, dicek lagi oleh seorang redaktur, redaktur pelaksana hingga redaktur bahasa.

Setelah dipastikan artikel aman dalam artian informasinya benar, akurat dan aman dari potensi gugatan secara hukum baru bisa dipublikasikan atau tayang. Dengan verifikasi berlapis tersebut, masih bisakah menjadi yang tercepat dalam menyajikan informasi?

Jawabannya, tentu bisa. Asal semua tim dibiasakan bekerja dengan cepat serta cermat dan ada koordinasi yang baik di antara sesama anggota tim. Hal ini juga bisa diterapkan di bagian kehumasan kementerian, lembaga atau perusahaan swasta untuk memberikan respons cepat saat ada sentimen negatif.

Unit Humas Reaksi Cepat

Kepada peserta workshop penulis mengusulkan, jika memungkinkan dibentuk satu unit khusus di dalam bagian humas. Ini semacam tim buru sergap di kepolisian atau tim detasemen khusus. Tim bertugas melakukan monitoring, mitigasi, memetakan dan mengelola isu, memberikan respons, evaluasi hingga rehabilitasi terhadap sentimen negatif yang muncul. Langkah ini di dalam ilmu komunikasi dikenal sebagai manajemen krisis yakni sebuah strategi yang didesain untuk sigap ketika harus menghadapi situasi darurat karena adanya sentimen negatif terhadap organisasi.

Saat ini hampir semua perusahaan swasta dan mungkin juga lembaga pemerintah memiliki unit manajemen krisis atau setidaknya protokol manajemen krisis. Hal ini penting untuk memastikan bahwa ketika ada sentimen negatif, koordinasi tim humas berjalan dengan baik sehingga bisa memberikan informasi yang tepat untuk menjaga kepercayaan publik.

Penting dicatat bahwa sentimen negatif dan krisis informasi akan memperburuk citra lembaga yang akhirnya akan menggerus kepercayaan publik. Sebaliknya ketika sentimen negatif direspons dengan manajemen komunikasi krisis yang efektif, cepat, data akurat dan terkoordinasi dengan baik akan mencegah misinformasi serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga atau kementerian.

Agar respons manajemen krisis tidak kalah cepat dengan netizen, maka tim memang harus sering latihan. Saya mengilustrasikan bagaimana sering karyawan di gedung-gedung di Jakarta sering melakukan simulasi ketika menghadapi gempa bumi atau kebakaran. Simulasi dilakukan agar ketika benar benar terjadi gempa atau kebakaran, karyawan termasuk bagian keamanan gedung sigap menghadapi.

Begitu juga dalam tim manajemen krisis. Saat tim sering melakukan simulasi, mereka akan terbiasa bergerak cepat ketika muncul sentimen negatif yang perlu respons cepat dari tim humas.

Sampai di sini saya berharap penjelasan tersebut di atas sudah cukup. Namun ternyata ketika moderator menawarkan kepada audien, masih ada peserta yang ingin memperdalam soal tim manajemen krisis. "Perangkat apa saja yang diperlukan dalam sebuah tim humas reaksi cepat,?" tanya salah satu peserta, ringkas, padat dan jelas.


Elemen dalam Manajeman Krisis

Setelah meneguk air dari gelas bergagang bening, saya ambil kembali mic yang tadi diminta moderator dan bicara lagi. Pada dasarnya elemen-elemen untuk manajemen krisis sudah ada di bagian kehumasan. Penulis mengilustrasikan pada sebuah bangunan gedung yang harus memiliki perangkat untuk mencegah kebakaran seperti alarm Kebakaran, detektor asap, titik panggil manual alarm, alat pemadam api ringan (APAR), dan lainnya.

Selanjutnya penghuni gedung harus dibekali dengan kemampuan dan kesiapan dalam menghadapi bencana kebakaran yang bisa terjadi kapan pun. Minimal satu kali dalam setahun perlu dilakukan simulasi simulasi kebakaran dengan melibatkan penghuni gedung.

Unit Kehumasan yang baik harus memiliki perangkat untuk mencegah 'kebakaran' terhadap lembaga atau institusi akibat munculnya disinformasi di masyarakat. Perangkat keras (hardware) yang harus ada misalnya komputer atau laptop, peralatan audio visual, perangkat seluler, printer dan scanner, proyektor dan perangkat untuk konferensi pers. Juga sejumlah perangkat lunak (software) untuk mendukung kinerja kehumasan seperti aplikasi Microsoft Office Suite atau Google Workspace untuk membuat siaran pers, naskah pidato, juga bahan presentasi. Di era digital yang berkembang pesat sebuah unit kehumasan harus memilik perangkat lunak untuk memantau dan menganalisa media sosial.

Selain elemen-elemen di atas, unit kehumasan juga harus menjaga relasi yang baik dengan jurnalis media massa juga influencer (pengaruh) di media sosial. Hal ini penting untuk distribusi informasi ketika sebuah unit kehumasan butuh cepat untuk meluruskan disinformasi yang terjadi.

Erwin Dariyanto. Penulis adalah jurnalis alumni Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia

Simak juga Video: Direktur Utama BAKTi Komdigi Menangkan Anugerah Inklusi Keuangan Dan Pembangunan Ekonomi Berbasis Digital

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads