Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir November ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan titik kulminasi dari kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama.
Bencana ini adalah cermin besar yang menampilkan wajah relasi kita dengan bumi—relasi yang retak, pincang, dan kehilangan keseimbangan. Curah hujan ekstrem mungkin menjadi sebab langsung, namun akar persoalannya jauh lebih dalam. Manusia telah menutup telinga dari pesan ekologis yang diberikan oleh alam itu sendiri.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir dan longsor yang terjadi di tiga wilayah bagian barat Indonesia tersebut, telah menelan ratusan korban jiwa, puluhan orang hilang dan ribu orang terpaksa mengungsi.
Dalam pandangan seorang filsuf muslim sekaligus sufi terkemuka abad ke 12, Ibnu 'Arabi, alam adalah manifestasi dari tajalli Ilahi. Setiap batu, sungai, tanah, pepohonan, dan gunung merupakan bentuk pernyataan Tuhan tentang keberadaan-Nya. Maka merusak alam berarti merusak "teks" yang sedang Tuhan bacakan kepada manusia.
Ketika hutan Aceh gundul, ketika aliran sungai di Sumatera Barat disempitkan demi pembangunan, atau ketika tanah Sumatera Utara kehilangan daya dukungnya akibat eksploitasi, yang rusak bukan hanya ekosistem melainkan keselarasan kosmik. Bencana kemudian menjadi semacam "reaksi balik" dari ketidakseimbangan wujud itu sendiri.
Bagi Ibnu 'Arabi, bencana bukan hukuman, melainkan isyarat ontologis: alam sedang berbicara, mengingatkan manusia bahwa mereka telah salah memahami posisi sebagai khalifah atau penjaga. Nampaknya tidak berlebihan jika selama ini "kita lebih sibuk menjadi penguasa daripada penjaga."
Berbicara bencana ekologis, seorang filsuf Muslim kontemporer asal Iran, Seyyed Hossein Nasr, telah lama mengingatkan kita. Nasr melihat akar krisis ekologis pada hilangnya kesadaran sakral dalam memandang dunia.
Alam diperlakukan sebagai objek ekonomi, bukan sebagai ayat Tuhan. Modernitas, menurut Nasr, telah mereduksi alam menjadi sekadar sumber daya, sehingga tidak mengherankan bila eksploitasi berlangsung tanpa rem.
Bencana alam yang terjadi di bagian barat Indonesia ini bukan hanya persoalan teknis drainase atau tata ruang, tetapi buah dari pandangan dunia yang menolak kesucian alam. Gunung-gunung dipotong tanpa rasa hormat, sungai diperlakukan sebagai tempat sampah, dan hutan ditebang tanpa memikirkan struktur spiritualnya.
Dalam perspektif Nasr, bencana ekologis adalah krisis spiritual. Kita tidak hanya kehilangan pohon, tanah, dan sungai—kita telah kehilangan hikmah tentang siapa diri kita dalam tatanan kosmos.
Sekitar 46 tahun silam, seorang teolog Lutheran Joseph Sittler juga telah berusaha mengingatkan kita yang abai memelihara alam. Sittler mengkritik bahwa teologi Kristen modern terlalu fokus pada manusia (antroposentris) dan melupakan dimensi kosmik keselamatan.
Bagi Sittler, keselamatan tidak boleh dipahami terbatas pada jiwa manusia, tetapi juga mencakup bumi sebagai bagian integral dari karya penciptaan.
Jika menggunakan kacamata Sittler untuk membaca bencana Sumatera, maka bencana ekologis adalah bukti bahwa kita telah berteologi dengan sempit dan mengabaikan alam serta tidak memasukkan tanah, air, dan ekosistem sebagai bagian dari "umat" yang harus dijaga.
Ketika tanah longsor menelan rumah dan nyawa, itu bukan hanya masalah geologi, tapi tanda bahwa kita telah gagal merancang iman yang memelihara bumi.
Dalam konteks ini, tiga pemikir besar—Ibnu 'Arabi, Seyyed Hossein Nasr, dan Joseph Sittler—memberikan lensa teologis yang membantu kita memahami bencana bukan hanya sebagai tragedi, tetapi juga sebagai pengingat kosmik. Meski berasal dari tradisi dan era yang berbeda, pandangan ketiganya bertemu pada satu titik: bencana ekologis adalah gejala spiritual, bukan sekadar peristiwa alam.
Jika tiga pandangan ini disatukan, pesan yang muncul adalah "Krisis ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah krisis relasi spiritual manusia dengan alam".
Belajar dari krisis ekologis yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, apa yang bisa kita lakukan? Meski terdengar Utopis, Setidak-tidaknya ada tiga jalan perbaikan yang meski dilakukan; pertama, mengembalikan rasa hormat pada alam bukan sekadar regulasi, tetapi perubahan batin.
Hutan bukan aset, melainkan amanah. Kedua, membangun teologi publik yang ekologis baik dalam khutbah, pendidikan, maupun kebijakan—ajaran tentang menjaga bumi harus menjadi arus utama. Ketiga, melibatkan spiritualitas dalam tata ruang. Pembangunan harus memadukan sains, kearifan lokal, dan etika kosmik. Tidak lagi menambang tanpa batas atau membangun melawan risiko geomorfologi.
Bencana sebagai Panggilan untuk Pulang
Banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah seruan keras agar kita kembali pada kesadaran terdalam sebagai penjaga bumi. Bukan dengan retorika, tetapi dengan memperbaiki relasi spiritual dan ekologis kita.
Melalui kacamata teologi lingkungan—dari Ibnu 'Arabi, Nasr, hingga Sittler — bencana ini bisa menjadi panggilan untuk "berbalik" memperbaiki relasi kita dengan alam, memaknai kembali posisi kita sebagai khalifah yang menjaga, bukan sebagai penguasa yang merusak.
Bila tidak, maka tentu alam—yang tak pernah haus darah—akan terus "berteriak" dengan cara yang kadang kejam: banjir, longsor, dan air mata manusia.
Seperti pesan Ibnu 'Arabi, alam tidak pernah berhenti berbicara. Pertanyaannya adalah: masihkah kita mampu mendengar?
Junaidi Ibnurrahman. Alumni Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni Magister Filsafat Islam UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu. Aktif sebagai Peneliti Utama di Pusat Studi Hukum dan Advokasi Pertanahan.
Simak juga Video Kabasarnas: 447 Orang Tewas Akibat Bencana Sumatera, 33.620 Jiwa Terdampak
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT











































