Multipolaritas Timur Tengah dan Ujian Solidaritas G20 Johannesburg
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Multipolaritas Timur Tengah dan Ujian Solidaritas G20 Johannesburg

Jumat, 28 Nov 2025 13:29 WIB
Aji Cahyono
Founder dan Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence; lulusan Master of Arts (MA) Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Italys Prime Minister Giorgia Meloni Deputy Chief of Staff of Russias Presidential Executive Office Maxim Oreshkin, Turkeys President Recep Tayyip Erdogan, Japans Prime Minister Sanae Takaichi, Indonesias Vice President Gibran Rakabuming Raka, European Commission President Ursula Von der Leyen, European Council President Antonio Costa, Chinas Premier Li Qiang, Australias Prime Minister Anthony Albanese, Brazils President Luiz Inacio Lula da Silva, South Africas President Cyril Ramaphosa, President of Angola and Chairperson of the African Union Joao Lourenco, Canadas Prime Minister Mark Carney, Frances President Emmanuel Macron, German Chancellor Friedrich Merz, Indias Prime Minister Narendra Modi, South Koreas President Lee Jae Myung, Britains Prime Minister Keir Starmer, Saudi Arabias Foreign Minister Prince Faisal bin Farhan Al Saud and Argentinian Foreign Minister Pablo Quirno and other government officials pose for the β€œfamily photo” at the G20 Summit, in Johannesburg, South Africa, November 22, 2025.     Leon Neal/Pool via REUTERS
Foto: Pemimpin Dunia di KTT G20 Johannesburg (via REUTERS/Leon Neal)
Jakarta -

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Johannesburg pada 22-23 November 2025 yang lalu, menegaskan bahwa dunia sedang berada dalam masa turbulensi geopolitik.

Tema besar "Solidaritas, Kesetaraan, dan Keberlanjutan" menjadi sorotan sekaligus ujian bagi Afrika Selatan sebagai ketua bergilir. Namun, ketegangan global yang semakin tajam menegaskan satu hal-tata geopolitik Timur Tengah kini bergerak menuju multipolaritas, di mana pengaruh negara-negara Global South semakin terlihat dan peran tradisional kekuatan Barat mulai diuji.

Sejak awal, KTT G20 Johannesburg berlangsung dalam atmosfer yang timpang. Sejumlah pemimpin kunci absen, termasuk Presiden AS Donald Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Argentina Javier Milei, dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, tokoh-tokoh penting seperti Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka, dan Perdana Menteri China Li Qiang hadir penuh.

Konfigurasi ini menampilkan polarisasi yang kian dalam dalam tatanan global-negara-negara Barat yang masih dominan, kekuatan Asia yang naik daun, serta negara-negara Global South yang mulai memproyeksikan suara mereka secara lebih berani.

ADVERTISEMENT

Afrika Selatan berupaya menegaskan bahwa G20 bukan sekadar forum ekonomi, tetapi ruang dialog global yang mampu menyeimbangkan kepentingan negara maju dan berkembang. Tema solidaritas dan kesetaraan dipilih untuk menegaskan pesan moral bahwa ekonomi dunia hanya dapat pulih bila ketimpangan dijawab secara kolektif. Namun, pesan ini justru memantik kritik dari Washington.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menilai slogan tersebut berwatak anti-AS dan bertentangan dengan orientasi pemerintahan Trump, yang menekankan fokus ekonomi semata dan menolak agenda sosial yang dianggap "ekstrem kiri."

Ketegangan ini tidak hanya terjadi dalam ranah simbolis, tetapi juga mencerminkan dinamika nyata di Timur Tengah. Absenya AS, pemain kunci di kawasan tersebut, memperlihatkan bahwa pengaruh tradisional Washington kini tidak lagi absolut.

Forum multilateral seperti G20 kini menjadi panggung di mana negara-negara Global South, termasuk Afrika Selatan, Brasil, India, dan Indonesia, berusaha membangun narasi perdamaian dan pembangunan Timur Tengah yang lebih inklusif.

Ini menandai pergeseran menuju multipolaritas, seperti keputusan mengenai konflik, rekonstruksi, dan pembangunan di Timur Tengah tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh Barat.

Sejak lahirnya G20 pada 1999, forum ini berfokus pada stabilitas ekonomi global. Representasi 85 persen PDB dunia dan dua pertiga populasi menempatkan G20 sebagai pengatur kebijakan makro global. Namun, tantangan hari ini jauh lebih kompleks. Perubahan iklim, krisis pangan, ketimpangan ekonomi, dan konflik bersenjata saling terkait dan menuntut solusi multidimensi.

Laporan terbaru dari Komite Luar Biasa Ahli Independen untuk Ketimpangan Global yang dipimpin Joseph Stiglitz menegaskan bahwa darurat ketimpangan ekonomi telah menjerumuskan miliaran orang dalam kelaparan, sementara kekayaan miliarder mencapai rekor tertinggi. Dalam konteks ini, stabilitas Timur Tengah-dengan perang, krisis energi, dan eksodus pengungsi-tidak bisa dilepaskan dari koordinasi global yang inklusif.

Namun, upaya Afrika Selatan menghadirkan agenda Global South menemui resistensi. Ketidakharmonisan antara Pretoria dan Washington menjadi simbol pergeseran kekuatan global. AS memboikot pertemuan tingkat pemimpin dan hanya mengirim delegasi kedutaan junior.

Hal ini dianggap Afrika Selatan sebagai penghinaan diplomatik. Presiden Cyril Ramaphosa menegaskan bahwa kedaulatan negara harus dihormati, sementara Gedung Putih merespons keras, menyatakan tidak ikut dalam pembicaraan resmi.

Ketegangan ini tidak hanya simbolik; ia mencerminkan perubahan struktur kekuatan global yang berdampak langsung pada Timur Tengah. Jika AS absen dari forum multilateral, negara-negara kawasan Timur Tengah kini semakin bergantung pada jaringan multipolar, termasuk negara Arab G20, Cina, dan negara-negara Afrika Selatan.

Selain AS-Afrika Selatan, ketegangan Jepang-Tiongkok juga menandai dinamika multipolar. Isu Taiwan memicu protes Beijing dan menghentikan sementara kerja sama diplomatik, sementara Jepang menegaskan stabilitas Asia Timur terkait langsung dengan stabilitas global.

Meski secara geografis jauh dari Timur Tengah, ketegangan ini menunjukkan bahwa G20 kini menjadi arena di mana kepentingan regional dan global saling bersinggungan.

Hal ini berimplikasi bagi Timur Tengah: forum multilateral semakin harus menyeimbangkan kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik berbagai blok kekuatan, bukan hanya Barat dan Timur Tengah secara tradisional.

KTT G20 juga memperlihatkan posisi Rusia yang strategis. Meski Presiden Putin absen karena alasan hukum, Moskow tetap menggunakan forum ini untuk membangun hubungan dengan negara Global South.

Rusia berfokus pada pembangunan, energi, dan keuangan, sambil melewati isolasi Barat. Ini adalah contoh nyata multipolaritas: Timur Tengah kini menjadi arena interaksi kompleks di mana Rusia, Cina, negara Arab, dan negara Global South lainnya bersaing sekaligus bekerja sama, sementara pengaruh AS relatif menurun.

Indonesia, yang diwakili Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tetap memainkan peran penting. Delegasi Indonesia menyoroti pembangunan berkelanjutan, perdagangan global, transisi energi berkeadilan, dan kecerdasan buatan-isu yang relevan untuk negara-negara Timur Tengah yang menghadapi krisis energi, konflik, dan ketimpangan sosial.

Kehadiran delegasi aktif, meski Presiden tidak hadir, menunjukkan bagaimana negara-negara berkembang dapat menjadi jembatan antara agenda Global South dan kepentingan Timur Tengah.

G20 Johannesburg menegaskan satu fakta penting-multipolaritas Timur Tengah bukan sekadar teori, tetapi kenyataan. Forum ini menunjukkan bahwa negara-negara Global South mulai membentuk arsitektur alternatif untuk konflik, pembangunan, dan keamanan. Solidaritas G20 diuji, tetapi peluang untuk membangun tata kelola global yang lebih inklusif terbuka lebar.

Multipolaritas Timur Tengah memungkinkan negara-negara kawasan, terutama Arab, untuk memiliki suara lebih besar dalam menentukan masa depan politik dan ekonomi mereka.

Namun, tantangan tetap besar. Perbedaan kepentingan negara besar, ketegangan bilateral yang merembes ke forum multilateral, dan ketidakpastian kepemimpinan AS berpotensi menunda implementasi agenda besar. Solidaritas tetap menjadi ideal, tetapi realitas multipolar memaksa diplomasi menjadi lebih kompleks dan fleksibel.

Bagi Timur Tengah, G20 bukan lagi sekadar forum ekonomi; ia menjadi panggung diplomasi multipolar, tempat suara Global South bisa mempengaruhi stabilitas dan pembangunan kawasan.

Di tengah turbulensi global, G20 masih memegang peran penting sebagai penjaga dialog internasional. Johannesburg membuktikan bahwa multipolaritas Timur Tengah semakin nyata, dan dunia kini harus belajar beradaptasi.

Forum ini menjadi laboratorium diplomasi modern, di mana negara-negara harus belajar menavigasi konflik, kepentingan ekonomi, dan agenda pembangunan secara bersama. Solidaritas mungkin terguncang, tetapi peluang membangun tatanan global yang inklusif dan multipolar tidak pernah sebesar sekarang.

Aji Cahyono. Founder dan Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence; lulusan Master of Arts (MA) Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads