Selama ribuan tahun, manusia memindahkan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui figur yang kita sebut "guru". Mereka adalah medium tempat memori kolektif manusia ditularkan kadang dengan cerita, kadang dengan angka, kadang dengan moral.
Namun pada abad ke-21, untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia berhadapan dengan kecerdasan Buatan yang bukan manusia yang juga mampu mengajar yaitu algoritma.
Hari ini, seorang anak bisa belajar sejarah revolusi Prancis melalui video animasi, memecahkan soal matematika bersama kecerdasan buatan, atau mempelajari biologi dari simulasi tiga dimensi yang jauh lebih menarik daripada papan tulis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi sebagian orang, ini menimbulkan godaan untuk mempertanyakan: jika mesin dapat mengajarkan apa saja, masihkah manusia membutuhkan guru?
Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyentuh inti dari apa yang membuat kita unik. Selama ratusan ribu tahun, manusia bertahan bukan karena tubuhnya paling kuat atau giginya paling tajam, tetapi karena kemampuannya menciptakan shared reality, realitas bersama yang dibangun melalui bahasa, empati, dan imajinasi.
Di sinilah peran guru tidak pernah benar-benar hilang: mereka adalah penjaga realitas bersama itu.
Mesin dapat memberikan informasi, tetapi tidak dapat menciptakan kepercayaan. Mesin dapat mensimulasikan penjelasan, tetapi tidak dapat menenangkan murid yang cemas menjelang ujian, atau memahami rasa malu seorang anak yang salah menjawab.
Peran guru bukan sekadar mengoperasikan kurikulum, melainkan merancang ruang aman di mana seorang manusia kecil berani mengeksplorasi dunia yang jauh lebih besar daripada dirinya.
Di negara mana pun, ruang aman belajar adalah fondasi peradaban. Tanpa ruang itu, anak-anak tidak akan pernah belajar mengambil risiko intelektual. Mereka akan mengejar jawaban, tetapi kehilangan kemampuan bertanya.
Mereka akan hafal, tetapi tidak memahami. Dan pada akhirnya, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang cerdas secara teknis tetapi rapuh secara mental.Sebuah risiko yang tidak pernah dihadapi umat manusia di masa-masa sebelumnya.
Indonesia tengah melangkah masuk ke zaman yang diwarnai atensi, di mana perhatian anak-anak direnggut oleh notifikasi, konten pendek, dan algoritma yang mempelajari psikologi mereka dengan kecepatan yang tak terbayangkan oleh siapa pun, termasuk guru.
Tidak ada sekolah yang dapat sepenuhnya mempersiapkan murid menghadapi kekuatan ini. Tetapi guru, sebagai manusia yang hidup dalam ritme sama dengan murid, mampu menciptakan jeda ruang untuk berpikir pelan, ruang untuk membaca dengan tenang, ruang untuk bertanya tanpa takut ditertawakan.
Ironisnya, ketika tugas guru semakin kompleks, bahkan lebih kompleks daripada seratus tahun yang lalu, kita justru memberikan penghargaan material yang paling rendah di kawasan ASEAN.
Singapura menempatkan guru sebagai profesi elit dengan gaji awal setara Rp 44-75 juta per bulan. Malaysia dan Thailand memberikan kisaran Rp7-19 juta kepada para pendidiknya, lengkap dengan tunjangan yang menunjukkan negara memandang profesi guru sebagai tiang peradaban.
Vietnam, yang ekonominya masih berkembang, tetap memberi rentang Rp 3,1-7,4 juta per bulan bagi guru-gurunya. Filipina menunjukkan dukungan yang relatif stabil bagi profesi ini.
Sementara Indonesia negara dengan populasi murid terbesar di ASEAN , menempatkan banyak guru pada kisaran penghasilan Rp1,5-3 juta per bulan untuk golongan dasar. Banyak guru honorer hidup dengan gaji yang lebih rendah dari itu.
Kita menuntut mereka mendidik generasi yang akan menghadapi mesin supercerdas, tetapi kita memberi mereka imbalan yang bahkan tidak memungkinkan hidup layak di banyak kota.
Sejarah mengajarkan bahwa sebuah peradaban runtuh bukan karena kekurangan informasi, melainkan karena kehilangan institusi yang mampu mengubah informasi menjadi kebijaksanaan.
Dalam konteks itu, guru adalah institusi berjalan. Saat seorang anak belajar mengendalikan rasa takut ketika tampil di depan kelas, saat ia menemukan keberaniannya untuk bertanya, atau ketika ia memahami bahwa kesalahan adalah bagian dari tumbuh, guru sedang mentransmisikan sesuatu yang jauh lebih penting daripada materi pelajaran: stabilitas psikologis.
Algoritma tidak memiliki intuisi. Mereka tidak tahu kapan seorang murid diam karena malu atau karena tidak mengerti. Mereka tidak bisa merasakan ketegangan kelas setelah satu anak menangis diam-diam. Mesin dapat membaca pola, tetapi tidak bisa membaca manusia. Kita sering lupa bahwa sekolah tidak dibangun untuk memproduksi pengetahuan sebanyak-banyaknya, tetapi untuk memproduksi manusia seutuhnya.
Jika Indonesia ingin melangkah ke masa depan yang tidak dikuasai mesin, kita harus memulai dari menghargai para penjaga kemanusiaan itu. Bukan dengan pujian seremonial, melainkan dengan menghadirkan kondisi kerja yang memungkinkan mereka menjalankan profesinya secara bermartabat.
Negara tidak akan runtuh karena kurangnya kecerdasan buatan, tetapi akan goyah jika tidak lagi memiliki guru yang cukup kuat untuk membentuk generasi yang mampu berpikir jernih di tengah banjir informasi yang liar.
Pada Hari Guru Nasional ini, kita perlu merenungkan hal yang sangat sederhana tetapi mendalam: jika algoritma adalah masa depan, maka guru adalah pengingat bahwa masa depan itu hanya berarti sesuatu jika manusia tetap memegang kendali.
Dan kendali itu dimulai dengan satu keputusan moral: memperlakukan guru bukan sebagai roda kecil dalam mesin administrasi pendidikan, melainkan sebagai fondasi yang menopang seluruh imajinasi kolektif bangsa.
Selama peradaban masih membutuhkan manusia yang bisa merasa, memahami, dan memaknai, selama itu pula guru tidak akan tergantikan. Mesin dapat menyalin informasi, tetapi hanya guru yang dapat mengajarkan bagaimana menjadi manusia. Semoga kita akhirnya berani membalas pekerjaan besar itu dengan penghargaan yang setara.
Waode Nurmuhaemin. Doktor Manajemen Pendidikan Kolumnis & Penulis Nasional serta Research Fellow Pada Kampus INTI INTERNATIONAL Malaysia.











































