Mengembalikan Marwah Guru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengembalikan Marwah Guru

Selasa, 25 Nov 2025 09:20 WIB
Galun Eka Gemini
Dosen di Prodi Pendidikan IPS Universitas Bale Bandung; Mahasiswa S3 Sejarah Universitas Diponegoro; Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kab. Majalengka
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Newtons Equations. Rear view, close-up on young man standing back against green chalkboard. He explains, solves physics tasks, retro style. Processing for retro bleached look, slight vignette added.
Ilustrasi guru / Foto: Getty Images/iStock
Jakarta -

Setiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional. Peringatan ini merujuk pada momentum bersejarah Kongres Guru di Surakarta, 24-25 November 1945 – yang melahirkan organisasi guru bernama PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Pembentukan PGRI dilatari tekad tunggal: menjadi wadah perjuangan guru dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, diusianya yang ke-80 tahun, profesi ini masih dihadapkan pada dinamika dan kompleksitas masalah yang belum usai.

Bukan hanya isu kesejahteraan, terutama bagi para guru honorer yang nasibnya sering terkatung-katung. Permasalahan yang tak kalah mengiris hati adalah menipisnya penghormatan dan minimnya perlindungan hukum bagi para pendidik. Marwah guru seakan hilang di mata masyarakat dan hukum saat ini.

Mengiris Hati

Betapa tidak, dalam beberapa bulan ini, kita menyaksikan berbagai kasus yang membuat publik menggelengkan kepala. Di Banten, bulan Oktober lalu, seorang kepala sekolah sempat dicopot dari jabatannya karena mendisiplinkan siswa yang ketahuan merokok. Ia bahkan dilaporkan oleh orang tua siswa ke polisi, meski berujung damai.

Kejadian serupa menimpa dua orang guru PNS di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dibui karena memungut dana dari orang tua murid. Keduanya dikenai pasal tindak pidana korupsi. Padahal, dana tersebut diniatkan untuk menggaji guru honorer yang selama 10 bulan tidak mendapatkan upah. Naasnya lagi keduanya berujung pemecatan (PTDH) oleh dinas setempat.

Tak kalah memilukan, seorang guru di SMPN 2 Jalancagak, Subang, mengalami perundungan dari orang tua siswa karena mendisiplinkan anaknya yang kabur melompati pagar sekolah. Tak terima, orang tua siswa itu mendatangi sekolah dan memaki-maki guru yang bersangkutan. Kejadian ini membuat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, turun tangan ikut meredam kekisruhan ini.

Kasus-kasus di atas, sesungguhnya, hanyalah puncak gunung es dari ketiadaan kewenangan guru dalam mendidik. Guru yang semestinya dihormati perannya, kini rentan diintervensi dan direndahkan martabatnya.

Raja Menghormati Guru

Sejarah selalu menawarkan kearifan. Di masa lalu, sosok guru sangat dihormati. Masyarakat menganggap guru sebagai orang suci, "wakil Tuhan" di bumi. Guru bukan saja sebagai sumber pengetahuan, melainkan juga sebagai jembatan manusia dalam mencapai kesempurnaan hidupnya. Kata dan sikapnya dipercaya mengandung tuah dan tulah, sehingga penghormatan kepada guru melampaui siapapun, termasuk raja.

Sikap penghormatan raja kepada guru terdokumentasikan di dalam beberapa prasasti tinggalan Mataram Kuno: Prasasti Sankhara dan Kalasan. Prasasti Sankhara (abad 8 M), merekam bagaimana Raja Sanjaya sangat menghormati sosok guru. Sementara itu, Prasasti Kalasan (778 M) memberikan informasi lebih lengkap lagi, di mana Raja Syailendra membangun bangunan suci untuk pemujaan Dewi Tara atas perintah para gurunya. Pembangunan dilakukan atas persetujuan juga dari Maharaja Dyah Rakai Panangkaran, keturunan dari Dinasti Sanjaya.

Selain itu, didirikan juga sebuah bangunan untuk para bhiksu yang dimuliakan dan ahli dalam ajaran Budha Mahayana berupa vihara. Dengan didirikannya bangunan vihara untuk para bhiksu itu, manfaat yang didapat adalah segala pengetahuan suci, hukum sebab-akibat dan pengetahuan tentang kelahiran tiga dunia sesuai ajaran Budha didapatkannya. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa pendirian vihara sebagai tempat pendidikan Agama Budha (Mahayana), seperti Nugoho (2016) tuliskan.

Kewajiban Menghormati Guru oleh Sisya dan Masyarakat

Menghormati guru tidak saja dilakukan oleh raja. Menghormati guru wajib dilakukan juga oleh sisya dan masyarakat. Itu karena bagi sebagian besar masyarakat (terutama di kampung), seringkali sosok guru sudah bak manusia "setengah dewa". Ia menjadi tumpuan manakala muncul berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat.

Cukup banyak sumber informasi yang menerangkan tentang itu. Pertama, penghormatan terhadap guru dalam tradisi masyarakat Jawa dan Sunda terlukiskan di dalam filosofi: guru ratu wong atua karo, wong tua gawe wiwitan, wong anom dharma lakoni (guru, raja, dan orang tua memberikan teladan, yang muda wajib mengikuti teladan itu). Dalam kalimat ini, kata "guru" diletakkan lebih awal, menunjukkan betapa tinggi derajatnya menyoal ilmu dan pengetahuan.

Keluhuran derajat guru tercermin pula dari lokasi di mana mereka tinggal dan tempat pendidikannya yang disebut kamandalaan dan/atau karesian. Biasanya mereka menempati daerah pegunungan atau perbukitan. Dalam tradisi Hindu-Indonesia, gunung dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa atau sanghyang. Oleh karena itu, maka penyebutan guru sebagai orang suci atau "wakil Tuhan" di masa klasik tidaklah berlebihan.

Kedua, dalam menghormati guru, masyarakat Jawa Kuno memiliki konsep "Panca Mahataka", berarti lima dosa besar. Adapun yang dimaksud lima dosa besar itu, yakni: (1) membunuh brahmana; (2) melakukan pemerkosaan; (3) durhaka kepada guru; (4) membunuh janin; dan (5) berhubungan dengan orang yang telah melakukan empat kejahatan tersebut.

Ketiga, sikap menghormati dan memuliakan guru dilakukan juga oleh masyarakat Sunda masa Pajajaran. Beberapa naskah yang menginformasikan tentang itu di antaranya: Sanghyang Sasana Maha Guru, Sanghyang Siksakandang Karesian, Sewaka Darma dan Carita Waruga Guru. Naskah-naskah Sunda Kuno tersebut, secara garis besar, menekankan pentingnya etika, moralitas dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (hablumminallah), manusia dengan alam semesta (hablumminalalam), dan hubungan sesama manusia (habluminannas), termasuk penghormatan terhadap figur otoritas spiritual dan pengajar.

Misal saja, naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518), di dalam Parwa III, tertulis, "guru ma panayaan urang reya, nya mana dingaranan guru ing janma". Memiliki arti, guru itu tempat bertanya banyak orang, maka dinamakan guru manusia. Oleh karenanya, seorang guru pantang berbuat nista dan amoral, sebab ia bertanggungjawab pada banyak orang.

Lebih lanjut, masih setali penghormatan terhadap guru, masyarakat Sunda Kuno berpijak pada konsep Dasa Prebakti. Dasa Prebakti adalah sepuluh kewajiban atau bentuk bakti dalam hierarki hubungan sosial dan kekuasaan masyarakat Sunda Kuno, bahwa "anak bakti kepada bapak; istri bakti kepada suami; hamba bakti kepada majikan; siswa bakti kepada guru; petani bakti kepada wado; wado bakti kepada mantri; mantri bakti kepada nangganan; nangganan bakti kepada mangkubumi; mangkubumi bakti kepada raja; raja bakti kepada dewata: dewata bakti kepada hiyang".

Kembalikan Kewenangan Guru

Ajaran-ajaran moral di atas tentu sudah seharusnya menjadi pijakan kita di masa sekarang dan masa mendatang. Mengingat sejarah bukan berarti kita kembali ke masa lalu secara harfiah, tetapi mengambil nilai-nilai adiluhung itu sebagai adonan kebijakan dan perbuatan, sehingga kita menjadi pribadi yang bijaksana.

Pemerintah, masyarakat dan orang tua harus duduk bersama. Perlu ada regulasi yang jelas dan kuat untuk melindungi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya dalam mendidik siswa.

Guru membutuhkan "payung hukum" yang memberikan kewenangan diskresi saat mendisiplinkan siswa, tanpa harus takut dikriminalisasikan. Di sisi lain, guru juga tentunya wajib menjaga profesionalisme dan martabatnya.

Di Hari Guru Nasional ke-80 ini, kado terbaik bagi para pendidik bukanlah sekadar ucapan "selamat" semata. Lebih penting dari itu adanya jaminan perlindungan dan pengembalian marwah mereka sebagai pilar utama pembentuk generasi bangsa. Tanpa itu, isak tangis mereka di ruang kelas akan terus terdengar.

Selamat Hari Guru Nasional. Guru Berdaulat, Indonesia Bermartabat.

Galun Eka Gemini. Dosen di Prodi Pendidikan IPS Universitas Bale Bandung; Mahasiswa S3 Sejarah Universitas Diponegoro; Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kab. Majalengka

(imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads