"Apa yang guru lakukan lebih penting daripada apa yang ia ajarkan."
Kira-kira begitulah kata psikiater dan penulis asal Amerika Serikat, Karl Menninger. Ungkapan itu menggambarkan betapa besar peran seorang guru, bukan hanya dalam menanamkan ilmu, tetapi juga menuntun arah moral dan akal sehat murid-muridnya.
Guru sejatinya bukan sekadar pengajar, tetapi penjaga nurani peradaban. Namun, pertanyaannya kini, apakah semua pendidik masih menjadi teladan dalam berpikir dan bersikap?
Data Ombudsman RI menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Di tengah tuntutan memberi kejernihan logika dan keteladanan moral, perilaku sebagian pendidik malah bergeser. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, misalnya, pengaduan masyarakat terkait pungutan di lingkungan sekolah meningkat tajam.
Tahun 2021 hanya tercatat 1 aduan, naik menjadi 2 aduan pada 2022, melonjak menjadi 18 pada 2023, kemudian 39 aduan pada 2024, dan pada 2025 mencapai 71 aduan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin yang memperlihatkan bahwa sebagian pendidik telah terjebak dalam cara berpikir yang keliru, bahkan sesat.
Carl Sagan, seorang astronom dan penulis "The Demon-Haunted World" pernah mengingatkan, "Iblis-iblis tak kasatmata berupa kesesatan dan kebodohan bisa jauh lebih berbahaya daripada musuh yang terlihat." Ironinya, mereka yang seharusnya mengajarkan logika semakin tergelincir dalam kekeliruan bernalar.
Kutipan Sagan itu sangat tepat menggambarkan kondisi kita. Kesesatan logika bekerja secara senyap. Tidak terlihat, namun merusak pondasi berpikir seseorang. Sekali dibiarkan, ia berkembang menjadi budaya pembenaran, dan pada titik itulah sistem runtuh.
Dalam pendidikan, kesesatan logika lebih berbahaya, karena ia berasal dari figur yang seharusnya paling dipercaya. Seorang guru yang keliru dalam bernalar akan membentuk pola pikir keliru pada banyak murid. Efek berantainya jauh lebih besar dibanding kesalahan teknis dalam administrasi.
Tujuh Kesesatan Logika di Dunia Pendidikan
Sedikitnya ada tujuh pola kesesatan berpikir (logical fallacy) yang kerap muncul dalam kasus maladministrasi terkait isu pungutan di satuan pendidikan.
Pertama, strawman fallacy yakni memelintir argumen lawan agar mudah diserang. Ketika Ombudsman mendorong agar pendidikan dasar bebas pungutan, sering muncul respons, "Ombudsman ingin sekolah gratis total, padahal sekolah juga butuh biaya operasional!"
Padahal yang dilarang bukan sumbangan sukarela, melainkan pungutan wajib. Fenomena strawman ini menandakan dua hal yaitu minimnya pemahaman regulasi, atau adanya upaya sadar untuk menggiring opini publik agar memihak. Keduanya berbahaya karena menciptakan ruang kabur antara fakta dan persepsi.
Kedua, ad hominem yaitu menyerang pribadi, bukan gagasan. Kalimat seperti, "Apa hak Ombudsman menilai kami? Mereka kan bukan guru!" bukanlah argumen rasional, melainkan serangan identitas.
Padahal otoritas Ombudsman diatur jelas dalam UU Nomor 37 Tahun 2008, yang memberi mandat untuk mengawasi seluruh penyelenggara layanan publik, termasuk pendidikan. Serangan personal ini juga merupakan mekanisme defensif klasik, ia mencoba mengaburkan isu dengan mengalihkan sorotan. Alih-alih menjawab masalah, perhatian publik dialihkan ke pihak yang menyampaikan kritik.
Ketiga, slippery slope, menakut-nakuti tanpa dasar. Argumen seperti, "Kalau semua pungutan dilarang, sekolah tak punya dana dan mutu pendidikan hancur," terdengar logis tapi menyesatkan. Faktanya, banyak sekolah berprestasi tanpa pungutan karena telah ditopang oleh dana BOS, BOP, dan berbagai sumber dukungan lain.
Jika kita memeriksa lebih jauh, kekhawatiran seperti ini biasanya muncul bukan karena kekurangan anggaran, tetapi karena lemahnya manajemen keuangan sekolah. Mutu tidak jatuh karena pungutan dihapuskan, tetapi karena transparansi dan perencanaan tidak berjalan baik.
Keempat, appeal to tradition, yakni menganggap benar karena sudah biasa. Ucapan "Dari dulu juga begini, pungutan sudah tradisi sekolah" adalah pembenaran atas kesalahan yang diwariskan. Tradisi yang salah tetap perlu diperbaiki bukannya dipelihara. Dalam dunia pendidikan, tradisi seharusnya dibangun di atas nilai, bukan di atas kebiasaan yang keliru. Jika tradisi dibiarkan berdiri tanpa kritik, ia berubah menjadi dogma yang membutakan.
Kelima, bandwagon fallacy, menganggap mayoritas selalu benar. "Sekolah lain juga melakukan hal sama, jadi kami tidak salah", adalah argumen keliru yang juga sering muncul. Padahal salah atau benarnya tindakan bukan dilihat dari jumlah pelaku. Kalaupun mayoritas melakukan pungutan, bukan berarti tindakan itu benar.
Kecenderungan ini umum terjadi ketika integritas tidak dijadikan standar. Ketika banyak sekolah melakukan kekeliruan yang sama, kesalahan berubah menjadi budaya. Dan celakanya budaya salah jauh lebih sulit dibetulkan dibanding kesalahan individual.
Keenam, appeal to pity, menggunakan belas kasihan sebagai pembenaran. Ada lagi argumen seperti "Kasihan kami, tanpa sumbangan wajib guru honorer tidak bisa dibayar." Benar bahwa empati itu penting, tetapi empati tidak boleh menggantikan aturan. Jika pelanggaran dilegalkan atas dasar rasa kasihan, maka wibawa hukum akan runtuh.
Ketujuh, false dichotomy yakni menganggap hanya ada dua pilihan. Argumen seperti, "Kalau tidak ada pungutan, mutu sekolah pasti turun," menciptakan dikotomi palsu antara biaya dan kualitas. Padahal banyak alternatif pembiayaan lain yang sah dan transparan. Banyak satuan pendidikan justru mampu berprestasi tanpa melakukan pungutan.
Refleksi dan Transformasi Nalar
Mari duduk tenang dan merenung. Harus diakui bahwa salah satu akar dari kesesatan-kesesatan ini adalah rendahnya literasi nalar kritis di lingkungan pendidikan. Kita selama ini terlalu sibuk mengurus kurikulum, tetapi lupa mendidik cara berpikir. Tidakkah ini ironi besar? Sekolah mengajarkan logika kepada murid, namun banyak pendidiknya tidak pernah mendapatkan pelatihan logika yang memadai.
Kesesatan berpikir seperti ini menandakan bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya menumbuhkan kejujuran, tanggung jawab, dan nalar kritis. Guru seharusnya sadar akan kesesatan berpikir yang bisa menyesatkan murid-muridnya.
Kode Etik Guru Indonesia menegaskan, guru wajib menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, disiplin, empati, dan loyalitas. Nilai-nilai itu bukanlah hiasan moral, melainkan kompas berpikir.
Lalu bagaimana memperbaikinya? Setidaknya ada tiga langkah sederhana yang bisa ditempuh oleh Pemerintah Daerah. Pertama, mulai perbanyak pelatihan literasi logika dan etika berpikir kritis bagi tenaga pendidik. Banyak guru piawai mengajar kurikulum, tetapi belum tentu terlatih mengenali kesesatan berpikir.
Kedua, lakukan penguatan sistem penilaian integritas dan pelayanan publik di sekolah agar perilaku profesional guru terpantau dan terukur.
Ketiga, peran kepala sekolah, pengawas sekolah dan dinas pendidikan perlu bergeser dari sekadar administratif menjadi pembina karakter dan logika nalar di lingkungan satuan pendidikan.
Seperti diingatkan Richard Paul, pakar critical thinking, "kesesatan berpikir bukan sekadar kesalahan logika, melainkan tembok yang menghalangi kebenaran". Kalimat itu menjadi pengingat bahwa mendidik adalah pekerjaan nurani.
Guru yang mampu bernalar jernih akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana. Dan bila setiap guru memegang teguh logika dan integritas, maka pendidikan kita tak hanya mencerdaskan bangsa, tetapi juga memuliakan kemanusiaan. Sudah saatnya dunia pendidikan berhenti mencari pembenaran, dan mulai mencari kebenaran.
Kgs Chris Fither. Asisten Ombudsman Republik Indonesia.
Tulisan ini disusun dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional, sebagai refleksi atas peran guru sebagai penjaga moral dan integritas bangsa.
(rdp/imk)