Masa Depan Keberagamaan di Tengah Pemanfaatan AI
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Masa Depan Keberagamaan di Tengah Pemanfaatan AI

Rabu, 19 Nov 2025 10:05 WIB
Firman Kurniawan S
Pendiri Literos, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Salam Semua Agama (Andhika Akbarayansyah)
Foto: Ilustrasi simbol berbagai agama (Andhika Akbarayansyah)
Jakarta -

Rentang pemanfaatan teknologi--yang mewadahi aktualisasi keberagamaan dalam wujud ibadah--bergerak dari formulasi simulasi digital hingga ke konversi pahalanya, sebagai material nyata di kehidupan. Perannya menggantikan aktivitas yang semula memerlukan keterlibatan tubuh untuk berada di suatu ruang dan waktu, dengan simulasi di ruang-ruang ibadah virtual.

Demikian pula, niat, ketaatan, kepedulian, kasih, terkonversi oleh aplikasi-aplikasi berbasis artificial intelligence (AI), sebagai material pahala yang nyata wujudnya.

Salah satu uraian aktual soal itu, ditulis Farisha Sestri Musdalifah dan Annisa Rahmawati, 2025. Judulnya: "Belajar Agama di Roblox: Inovasi Dakwah yang Mengaburkan Realitas Beragama". Diuraikan, adanya upaya inovatif berupa aktivitas pengajian virtual di platform permainan Roblox. Ini dilakukan dengan dikirimkannya avatar para pemain, ke arena yang disimulasikan serupa masjid.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian berlangsunglah aktivitas pengajian, selayaknya di dunia nyata. Penggagasnya adalah Majelis Roblox Indonesia, MARIO, yang Inovasinya tampak memperoleh sambutan. Karena selain inovatif, juga mampu memenuhi kebutuhan menyerap informasi agama, sekaligus mempraktikkan sebagai ibadah. Tak mustahil di waktu berikutnya, pengajian virtual macam ini dapat menjadi alternatif medium dakwah baru, lanjut penulisnya.

Simulasi pengajian virtual ini, dapat jadi alternatif. Lantaran janji terpeliharanya keseriusan menghayati informasi agama, namun tanpa perlu beranjak dari perangkat game. Setidaknya memenuhi sedikit kebutuhan: menghilangkan rasa bersalah, akibat banyak menggunakan waktu di arena permainan.

ADVERTISEMENT

Esensi keberagamaannya terpenuhi, dengan terserapnya informasi dan ditunaikannya ibadah. Bukan kehadiran tubuh di ruang-ruang fisik. Cukup log in di perangkat Roblox dan terbentuklah pengalaman melalui konsumsi informasi.

Namun yang menjadi kritik penulisnya -dan ini tersurat sebagai judul yang dipilihnya-- yang hadir di sana bukan tubuh, melainkan avatar di ruang ibadah virtual. Dengan hanya diwakili avatar pengalaman spiritual tidak sepenuhnya hadir melalui tubuh, ruang, maupun suasana fisik. Yang hadir sebagai pengalaman, sebatas simulasi masjid virtual dan interaksi yang didukung oleh visualisasi dalam platform Roblox.

Konsekuensinya, logika simulasi akan berdampak pada esensi praktik keagamaan. Representasi digital --sebagai simulasi dari ritual keagamaan-- menjadi lebih dominan dan menarik perhatian. Ini jika dibandingkan dengan pengalaman spriritual yang otentik. Tampaknya, bukan ibadah yang dilakukan. Tapi seolah-olah beribadah yang dicapainya. Demikian keberatan kedua penulisnya.

Pertanyaan yang senada, juga dapat diajukan: apakah para penganut ajaran agama, akan menjadi lebih taat jika semua pahalanya, dapat dimaterialisasi dengan nyata? Perwujudannya sebagai material, tak mustahil lewat pemanfaatan aplikasi berbasis artificial intelligence (AI). Perangkat yang sudah masuk di semua sisi kehidupan hari ini.

Salah satu jawaban untuk pertanyaan itu, dapat disaksikan penggambarannya lewat serial Netflix yang tayang sejak Desember 2024. Judulnya: "Tomorrow and I". Serial yang disutradarai Paween Purijitpanya ini, berisi 4 episode dengan kisah yang berbeda-beda. Namun dengan payung judul itu, terefleksi kehidupan masa depan yang berkelindan dengan teknologi. Tema-tema di dalamnya menyangkut cita-cita sekaligus teka-teki, yang selalu meletup dalam pikiran manusia.

Mungkinkah kemajuan teknologi, membangkitkan manusia dari kematiannya? Bagaimana posisi etika, saat manusia mengeksploitasi kesenangan tanpa batas dengan obyek teknologis? Dan juga pertanyaan semacam di atas: lebih taatkah manusia pada ajaran agama, ketika pahalanya dimaterialisasi secara nyata?

Episode-episode yang mengingatkan pada genre science fiction yang lebih dulu populer --Black Mirror-ini, daya tariknya memuncak di episode ke-3, "Buddha Data". Sesuai judulnya, episode ini menceritakan tentang seorang Biksu Buddha -Anek-- yang dulunya adalah seorang programer. Sebelum Ibu Anek meninggal, menginginkan anaknya yang terlahir dengan pertanda relijius tertentu itu, ditahbiskan sebagai pemuka agama Buddha.

Namun Anek yang tenggelam dalam keasyikan bekerja, tak mengindahkan keinginan Sang Ibunda, hingga wafat. Penyesalan dan rasa putus asa Anek datang, saat program yang dikerjakannya gagal masuk pasar dan dihentikan pengembangannya. Rasa sesal kehilangan Sang Ibunda dan kegagalan pekerjaan, nyaris mendorongnya bunuh diri. Untunglah diselamatkan seorang kepala biara, yang kemudian menahbiskan sebagai Biksu. Anek menarik diri dari keramaian duniawi.

Pergantian profesi itu, justru mengantarnya pada sebuah perenungan: orientasi manusia dalam beragama, sering tak dituntun oleh ajaran agama itu sendiri. Manusia tak jarang, lebih tertarik pada perolehan pahala baiknya. Bukan pada perbuatan baiknya itu sendiri. Dalam pikiran Anek, cara seperti itu akan menghilangkan makna ajaran Buddha dan direduksi sebatas perburuan pahala. Pengamalan ajarannya, tak lebih sebagai tindakan pragmatis.

Kegelisahan Anek memuncak, saat gejala pragmatisme itu makin mewabah dan teraktualisasi oleh kehadiran aplikasi berbasis AI. Namanya ULTRA. Aplikasi ini selain diisi dengan rujukan ajaran-ajaran agama, juga memiliki fasilitas pencatat poin kebaikan. Poin kebaikan yang diubah sebagai algoritma, dan dapat ditukarkan untuk memenuhi kebutuhan praktis. Membayar tagihan listrik misalnya.

Puncak euforianya terjadi, saat warga kota keranjingan melakukan kebaikan. Menyeberangkan orang renta di jalan raya, memperoleh poin. Memberi makan orang kelaparan memanen poin. Demikian pula dengan kebaikan-kebaikan lainnya, jadi sarana pengumpul poin.

Kehidupan kota yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan baik, namun justru jadi tak nyaman. Ini ketika mulai ada kategorisasi-kategorisasi perbuatan baik. Misalnya, memberi makan orang biasa yang kelaparan akan memanen poin lebih tinggi, dibanding memberi makan seorang Biksu.

Niat berbuat baik bukan lagi berdasar kebutuhan penerimanya, melainkan dipertimbangkan berdasar besarnya poin yang akan diterima. Seperti itukah agama mengajarkan?

Yang menarik dari episode ini, saat Anek yang berusaha mengembalikan niat beragama dan manifestasi ibadahnya. Ini ditempuh lewat penciptaan teknologi juga. Anek meluncurkan IBuddha. Sebuah perangkat yang diisi salinan memori para Biksu Buddha, berikut ajaran-ajaran yang dimilikinya, Kehadirannya sekaligus mengoreksi kelemahan-kelemahan ULTRA. Tujuan diciptakannya aplikasi itu, agar para pemakainya dapat menerima ajaran para Biksu, kapan pun dibutuhkan.

Menerima ajaran agama berikut manifestasi ibadahnya dengan perangkat berbasis AI, untuk menghilangkan keengganan tubuh memasuki ruang dan waktu tertentu. Landasan berpikirnya, tak berbeda dengan yang dilakukan MARIO dengan pengajian virtual.

Lantas, tujuannya gagal, lantaran proses penyalin memori para Biksu tak mampu memilah memori yang baik dengan yang buruk. Para Biksu yang hari ini adalah manusia mulia, tak jarang memiliki masa lalu yang buruk. Dan keburukan itu saat diakses pengguna perangkat, tampil tanpa pemilahan. Tampak aspek teknis AI ini, belum sepenuhnya mampu, mewujudkan kebutuhan relijius manusia.

Menanggapi tujuan pragmatis keberagamaan yang ditawarkan teknologi, Neil McArthur, 2023, dalam "Gods in the Machine? The Rise of Artificial Intelligence May Result in New Religions", menyebut: agama berbasis AI, akan menampilkan peran yang berbeda dari agama tradisional. Ini lantaran, pertama: manusia dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan setiap saat. Agama-agama tak lagi hierarkis, karena tidak ada lagi yang dapat mengaku mempunyai akses khusus terhadap kebijaksanaan ilahi.

Kedua: para pengikutnya akan terhubung satu sama lain secara online, untuk berbagi pengalaman dan mendiskusikan doktrin kebenaran yang diterimanya. Dan ketiga: karena akan tersedia banyak chatbot yang berbeda oleh produsen yang berlainan, agama-agama berbasis AI akan sangat beragam doktrin kebenarannya.

Penyebab perubahan di atas, lantaran perangkat agama berbasis AI akan selalu berada dalam genggaman para penganutnya. Akibatnya, akses pada Sang Ilahi dapat dilakukan tanpa perantara dan komunikasinya dapat dilangsungkan setiap saat. Seperti berelasi dengan aplikasi berbasis AI lainnya, cukup mengetikkan prompt akan diperoleh produk kecerdasan yang dibutuhkan. Mengggunakan aplikasi agama berbasis AI akan diperoleh petunjuk--yang bahkan dalam sensasi--turun langsung dari Tuhannya.

Menakjubkannya pengalaman itu, akan membentuk jejaring pengguna, terakumulasis ebagai sekte-sekte yang fanatik. Para pengguna disatukan dalam algoritma yang serupa. Demikian pula, akibat diproduksi oleh perusahaan yang berbeda, chatbot-nya akan menghasilkan doktrin kebenaran yang berbeda pula. Penganutnya akan terpengaruh oleh doktrin kebenarannya masing-masing. Terbentuk kelompok-kelompok penganut, dengan rasa kebenaran masing-masing. Seluruhnya, mengubah agama dari bentuknya yang tradisional.

Maka dapat diduga selanjutnya: keragaman aplikasi berbasis AI dengan doktrin yang dihasilkannya, akan memunculkan peningkatan perselisihan di antara sekte-sekte berbasis AI itu.

Agama akhirnya tak lagi jadi penuntun hidup baik, justru menyebabkan konflik atau kekacauan. Agama pun kemudian mendorong penganutnya menjadi pemburu kepentingan pragmatis belaka. Inikah masa depan keberagamaan dan manifestasi ibadahnya di hadapan teknologi?


Firman Kurniawan S. Pendiri Literos, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital.

Tonton juga video "Mungkinkah AI Jadi Asisten Peneliti di Dunia Medis?"

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads