Jalan Membangun Ekosistem Sekolah yang Humanis
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jalan Membangun Ekosistem Sekolah yang Humanis

Rabu, 19 Nov 2025 09:55 WIB
Achmad
Achmad Siswanto Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FISH UNJ sedang menempuh pendidikan Doktor di Prodi Sosiologi Pedesaan, IPB University
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi sekolah
Foto: Ilustrasi kelas dalam sekolah (Getty Images/GlobalStock)
Jakarta -

Peristiwa ledakan di SMA 72 Jakarta mengejutkan banyak pihak. Tentu peristiwa ini tidak bisa dilihat sebagai tindakan individual, seolah ada satu siswa yang bermasalah, satu guru yang lalai, atau satu keluarga yang tidak harmonis.

Padahal, ledakan bom di sekolah adalah gejala yang menyingkap rapuhnya ekosistem pendidikan kita.

Berbagai Informasi awal menunjukkan bahwa pelaku bukan bagian dari jaringan teroris, melainkan siswa yang meniru konten digital bermuatan kekerasan dan dipratikkan di sekolah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Motifnya dilatari oleh rasa kesepian, kehilangan ruang berkeluh kesah, atau pengalaman penindasan atau bullying menandai adanya keretakan dalam interaksi dan relasi sosial di sekolah dan keluarga.

Untuk memahami krisis ini, setidaknya ada dua dimensi masalah yang saling berkelindan: krisis interaksi dan relasi sosial dan krisis literasi dan pengawasan digital.

ADVERTISEMENT

Interaksi dan Relasi guru-siswa serta orang tua-anak kini kian dangkal secara emosional. Berdasarkan pengalaman saya sebagai dosen yang mendampingi mahasiswa praktik mengajar di sekolah-sekolah menengah negeri di Jakarta, banyak sekolah menghadapi persoalan serius dalam distribusi guru yang tidak proporsional antar mata pelajaran.

Ada sekolah yang mengalami kelebihan guru di bidang mata pelajaran tertentu, sementara bidang lain justru kekurangan guru. Kondisi ini disebabkan lemahnya pemetaan kebutuhan guru yang aktual di tiap sekolah.

Di sekolah yang kekurangan tenaga pengajar, beban kerja guru menjadi over load. Waktu mereka habis untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran, sehingga ruang untuk refleksi, komunikasi personal, dan pendampingan emosional menjadi sangat terbatas.

Kondisi ini semakin kompleks ketika kapasitas sekolah negeri yang jumlahnya stagnan. Data BPS (2024) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri di Indonesia hanya naik tipis, dari 6.987 menjadi 7.049 unit.

Di DKI Jakarta, jumlah SMA Negeri tidak berubah, tetap 117 sekolah, sementara jumlah siswa terus meningkat. Akibatnya, satu sekolah dapat menampung tujuh hingga delapan kelas per jenjang, yang berarti perhatian guru terhadap setiap siswa semakin menipis.

Dalam tekanan administratif dan tuntutan reputasi akademik, fokus pendidikan bergeser menjadi perlombaan nilai. Keberhasilan sekolah diukur dari capaian akademik, rangking, dan peluang siswa masuk perguruan tinggi papan atas.

Sebagian orang tua memperkuat orientasi ini dengan menilai angka rapor sebagai indikator utama keberhasilan anak.

Di tengah ekosistem yang serba angka, ruang interaksi bermakna antara guru, siswa, dan keluarga makin berkurang. Relasi sosial di sekolah kehilangan kedalaman, kedekatan, dan kehangatan yang mestinya menopang tumbuhnya kematangan emosional dan sosial siswa.

Ketika sekolah dan keluarga terbatas menyediakan ruang dialog yang hangat, siswa mencari pelarian di media sosial. Algoritma digital, yang kerap menampilkan konten ekstrem atau kekerasan, secara perlahan membentuk pola pikir dan emosional mereka.

Di banyak kasus, gadget menjadi "pendamping setia" yang lebih sering berinteraksi dengan siswa dibanding guru atau orang tuanya. Tanpa pendampingan yang memadai, aneka macam konten, termasuk yang mengandung kekerasan dapat menjadi rujukan identitas dan pemaknaan dunia siswa.

Dengan demikian, krisis pendidikan kita tidak hanya berpangkal pada sekolah yang kehilangan fungsi humanis, tetapi juga pada arus informasi digital yang tak terkendali.

Secara sosiologis tekanan sistemik semacam ini dapat melahirkan kekerasan simbolik-sebagaimana dijelaskan Pierre Bourdieu-muncul sebagai mekanisme dominasi yang bekerja secara halus dan tak kasat mata (Bourdieu, 1992).

Kekerasan simbolik tidak hanya berlangsung dari guru kepada siswa, tetapi juga dapat terjadi di antara sesama siswa, dari orang tua kepada anak, bahkan dari institusi sekolah kepada seluruh warganya melalui aturan, bahasa, dan standar yang dianggap "wajar".

Ketika sekolah hanya menilai keberhasilan melalui angka, siswa yang tidak memenuhi standar akademik akan terpinggirkan secara simbolik: dianggap kurang cerdas, malas, atau tidak kompetitif.

Siswa juga dapat mengalami kekerasan simbolik Ketika kelompok siswa tertentu mendominasi temannya melalui ejekan, standar pergaulan, atau simbol-simbol status yang dilegitimasi oleh kultur sekolah.

Guru pun dapat mengalami kekerasan simbolik ketika dibebani administrasi, tuntutan prestasi, dan penilaian kinerja yang serba kuantitatif. Ruang profesionalitasnya mengecil, namun tuntutannya makin membesar.

Kekerasan simbolik inilah yang perlahan memutus kedekatan emosional dan menggerus rasa aman di sekolah. Dalam kondisi tertentu, tekanan emosional yang berlapis-lapis ini bisa menjadi pemantik bagi kekerasan fisik di arena sekolah.

Menghadapi krisis sosial pendidikan hari ini, solusi tidak bisa lagi bersifat reaktif-misalnya sekadar menambah guru konseling atau mengadakan kegiatan seremonial. Yang dibutuhkan adalah penguatan ekosistem pendidikan secara menyeluruh.

Sekolah harus dikembalikan sebagai ruang dialog yang menghargai martabat manusia, tempat guru, siswa, dan orang tua bisa bertemu secara rutin untuk berbagi pengalaman, tekanan, dan evaluasi tanpa rasa saling menghakimi.

Tekanan administratif guru-mulai dari laporan, akreditasi, hingga perlombaan angka-angka-perlu dievaluasi secara serius. Selama beban ini terus menumpuk, guru akan sulit memiliki ruang emosional untuk hadir secara hangat dan manusiawi bagi siswanya.

Padahal, pendampingan emosional justru menjadi kebutuhan paling mendesak di tengah kerentanan remaja yang hidup dalam ekosistem digital yang serba cepat dan intens hari ini.

Memulihkan ekosistem pendidikan tidak bisa dilakukan sendiri. Kompleksitas persoalan siswa hari ini membutuhkan kolaborasi lintas profesi-psikolog, pekerja sosial, konselor digital, serta lembaga pemerhati anak-sebagai bagian sistematis dari pendidikan, bukan sekadar "panggilan darurat".

Pada akhirnya, orientasi pendidikan harus digeser dari kontestasi akademik menuju pembentukan karakter, empati, dan kecakapan sosial-emosional.

Selama kesuksesan masih didefinisikan oleh nilai, ranking, dan akses ke perguruan tinggi bergengsi, sekolah akan terus memproduksi tekanan yang berpotensi melahirkan kekerasan simbolik hingga fisik.

Pendidikan yang humanis hanya mungkin lahir jika sekolah kembali menjadi ruang tumbuhnya akal sehat, kedewasaan emosional, serta hubungan sosial yang saling menjaga.

Achmad Siswanto. Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FISH UNJ. Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor di Prodi Sosiologi Pedesaan, IPB University.

Tonton juga video "Puan Minta Kasus Bullying di Sekolah Tak Terulang: Ini Darurat"

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads