Di Balik Alunan Bagpipe: Menengok Dinamika Strategis RI-Australia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Di Balik Alunan Bagpipe: Menengok Dinamika Strategis RI-Australia

Senin, 17 Nov 2025 16:55 WIB
Probo Darono Yakti
Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP Universitas Airlangga serta Founder Nusantara Policy Lab. Fokus pada studi pertahanan, diplomasi maritim, dan politik luar negeri Indonesia dalam dinamika Global South.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Prabowo didampingi PM Australia Anthony Albanese meninjau kapal HMAS Canberra milik AL Australia, Rabu (12/11/2025).
Foto: Presiden Prabowo didampingi PM Australia Anthony Albanese meninjau kapal HMAS Canberra milik AL Australia, Rabu (12/11/2025). (Cahyo - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta -

Di atas geladak HMAS Canberra, alunan khas bagpipe menyambut Presiden Prabowo Subianto dengan hangat. Candaan ringan Prabowo: "You know that I like bagpipe," disambut tawa Anthony Albanese, memperlihatkan seolah kedua pemimpin tengah memasuki babak baru hubungan yang teduh, akrab, dan penuh simpati personal.

Di hadapan publik, momen semacam ini mudah dibaca sebagai tanda bahwa Jakarta-Canberra sedang dalam kondisi terbaiknya: saling menghormati, saling terbuka, dan siap memperluas kerja sama strategis melalui perjanjian keamanan baru yang diumumkan hari itu.

Namun hubungan Jakarta-Canberra selalu mengajarkan satu hal yang tak boleh kita abaikan: kehangatan diplomatik tidak pernah menghapus sepenuhnya lapisan sejarah dinamika strategis yang lebih dalam. Canberra adalah salah satu mitra paling dekat Indonesia. Namun ia juga adalah mitra yang punya persepsi tidak pasti, seiring dengan iklim politik domestik dan pergantian Perdana Menteri (PM).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kita pernah melihat bagaimana pada masa awal Presiden Joko Widodo, PM Tony Abbott membuka hubungan dengan optimisme besar namun kemudian berubah menjadi lebih skeptis dan bahkan mendingin akibat isu penyadapan, eksekusi hukuman mati, hingga kebijakan "turn back the boats" yang memicu ketegangan.

Dinamika itu berlanjut pada era Turnbull dan Morrison yang cenderung memperkeras retorika keamanan, hingga akhirnya tiba pada era Albanese yang kembali mencoba merajut kehangatan melalui hubungan barunya dengan Presiden Prabowo Subianto.

ADVERTISEMENT

Oleh karena itu, sambutan bagpipe di Australia memang menciptakan kesan persahabatan. Namun Indonesia tetap harus eling lan waspodo terhadap realitas strategis yang mengatur hubungan dua negara ini. Hangatnya suasana tidak serta-merta menjamin stabilitas jangka panjang.

Sebab jika menengok sejarah, hubungan bilateral ini selalu dipengaruhi oleh siklus politik, persepsi ancaman, dan orientasi strategis Australia yang sewaktu-waktu bisa kembali berubah.

Dalam konteks itulah Indonesia perlu menjaga kewaspadaan, tetap berhati-hati, dan punya kemampuan untuk membaca arah angin. Hal ini ditujukan agar keakraban tidak berubah menjadi ketergantungan dan kerja sama tidak melunturkan prinsip bebas-aktif yang menjadi fondasi politik luar negeri kita.

Strategic Constraints yang Tidak Hilang di Balik Kehangatan

Di balik suasana akrab Prabowo-Albanese di atas HMAS Canberra, relasi Indonesia-Australia sesungguhnya bergerak dalam lanskap strategis yang jauh lebih rumit.

Australia adalah pilar penting arsitektur keamanan Barat di Indo-Pasifik, terikat erat pada kepentingan Amerika Serikat, serta memiliki orientasi geopolitik yang tidak selalu sejajar dengan sikap bebas-aktif Indonesia. Kehangatan personal tidak otomatis meniadakan perbedaan mendasar ini.

Australia berada dalam dua kerangka besar yang menjadi perhatian utama Indonesia: Quad dan AUKUS. Melalui Quad, Australia berkolaborasi erat dengan AS, Jepang, dan India dalam isu maritim dan teknologi strategis. Sedangkan AUKUS, membawa Australia ke arah pengoperasian kapal selam bertenaga nuklir.

Indonesia memandang hal ini sebagai pemicu perlombaan senjata regional. Sementara Australia bandwagon dengan Washington, Indonesia justru memilih jalan nonalignment, hedging, serta menjaga jarak dari rivalitas blok. Karena itu, sedekat apa pun hubungan kedua negara, Indonesia tidak akan dan tidak ingin menjadi sekutu formal ala ANZUS.

Ketidaksinkronan posisi strategis ini diperparah oleh trust issue Indonesia terhadap Australia yang panjang. Canberra beberapa kali dianggap masuk terlalu dalam ke urusan domestik Indonesia: peran dalam krisis Timor Timur pada 1999, skandal penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013, keterlibiatan dalam aktivisme kelompok pro-kemerdekaan Papua, hingga kebijakan "turn back the boats" yang meremehkan sensitivitas tetangga.

Pola naik-turun itu pernah terlihat jelas ketika hubungan yang awalnya optimistis pada era PM Tony Abbott pada masa awal Presiden Jokowi berubah menjadi pesimis dan skeptis. Pola yang sama juga kembali muncul di era Turnbull dan Morrison sebelum menghangat lagi bersama Albanese.

Oleh sebab itu, meski momen bagpipe menciptakan kesan persahabatan tanpa jarak, Indonesia tetap harus eling lan waspodo. Ada peluang besar untuk memperdalam kerja sama keamanan melalui treaty baru, namun bayang-bayang dinamika strategis yang naik-turun serta kepentingan Australia yang bisa berubah ketika lanskap politik atau kepemimpinan mereka berganti.

Kehangatan diplomatik penting dirawat, namun kewaspadaan strategis wajib dijaga agar kedekatan tidak berubah menjadi ketergantungan sekaligus kerja sama tetap berada dalam koridor bebas-aktif yang menjadi fondasi politik luar negeri Indonesia.

Mitra Sewajarnya, Seteru Seperlunya

Pada akhirnya, sehangat apa pun sambutan di atas HMAS Canberra, sedekat apa pun chemistry Prabowo dan Albanese, hubungan Indonesia-Australia tetap dibayangi oleh dinamika strategis yang fluktuatif. Australia adalah negara demokrasi parlementer yang sangat dipengaruhi siklus elektoral. Pergantian PM juga hampir selalu berarti pergantian gaya diplomasi terhadap Indonesia.

Kita telah melihat spektrumnya: dari Paul Keating yang sangat pro-engagement; John Howard yang hawkish di Timor Timur; Tony Abbott yang memulai dengan optimisme namun berakhir dengan ketegangan; hingga era Turnbull dan Morrison yang keras dalam isu migran dan keamanan maritim. Albanese memang tampak lebih hangat, namun itu bukan berarti jaminan bahwa kehangatan ini akan bertahan kala nanti kursi PM kembali berganti.

Di sisi lain, politik domestik Indonesia juga sarat sensitivitas. Publik kita sangat cepat merespons berbagai isu, tidak terkecuali isu kedaulatan negara. Kedekatan dengan Australia bisa sewaktu-waktu dibaca sebagai keberpihakan pada Barat, atau malah sebagai manuver yang terlalu dekat dengan aliansi yang kita hindari.

Itulah sebabnya setiap langkah Indonesia harus selalu mempertimbangkan opini domestik, konsistensi prinsip bebas-aktif, dan kehati-hatian strategis agar tidak terseret dalam urusan rivalitas kekuatan besar.

Dengan memahami dinamika strategis inilah relasi Indonesia-Australia seharusnya ditempatkan. Australia adalah mitra penting, namun bukan berarti mitra tanpa syarat. Ia memang tetangga dekat, namun ia juga aktor dalam arsitektur keamanan Barat yang kerap membawa konsekuensi strategis bagi kawasan.

Kita dapat bekerja sama erat, tetapi harus tetap menjaga jarak strategis; kita dapat bertetangga dengan baik, tetapi tetap menyiapkan ruang antisipasi bila kebijakan Canberra kembali berubah.

Karena itu, Indonesia perlu memandang Australia sewajarnya sebagai mitra sewajarnya, seteru seperlunya. Sebab potensi seteru selalu menjadi bayang-bayang kemitraan ini. Seteru seperlunya bukan dalam arti permusuhan, melainkan kesadaran bahwa kepentingan nasional kita tidak selalu selaras dengan kepentingan negara yang sedang berpihak kuat pada blok tertentu.

Di tengah rivalitas geopolitik Indo-Pasifik, kedekatan harus dirawat, tetapi kewaspadaan harus dijaga. Eling lan waspodo adalah sikap yang paling tepat bagi Indonesia dalam menyikapi hubungan bilateral yang hangat. Tidak hanya kepada Australia, namun juga kepada negara lainnya.

Probo Darono Yakti. Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP Universitas Airlangga serta Founder Nusantara Policy Lab.

Lihat juga Video: Bertemu PM Albanese, Prabowo Bahas Penguatan Bidang Pertahanan-Keamanan

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads