Ekonomi Tanpa Warna
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ekonomi Tanpa Warna

Senin, 17 Nov 2025 08:53 WIB
Aceng Hidayat
Aceng Hidayat, Dekan Sekolah Vokasi IPB, dosen Departement ESL IPB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gambaran pembangunan berkelanjutan
Foto: Ilustrasi ekonomi (freepik/Freepik)
Jakarta -

Ternyata ekonomi itu punya warna. Bahkan warna warni. Dikutip dari tulisan Fanny Yolan Tamba (2024), paling tidak ekonomi itu memiliki 11 warna. Yaitu, ekonomi hitam, abu-abu, merah, perak, putih, ungu, emas, biru, hijau, kuning dan coklat. Namun, dari sebelas warn itu, ada tiga warna dominan. Yaitu, coklat, hijau dan biru. Atau bahasa kerennya: brown, green dan blue economy.

Ketiga warna ini dilihat dari implikasi ekonomi atau perekonomian pada lingkungan. Dalam tulisan singkat ini, saya akan mencoba mengurai ketiganya, dan berusaha menemukan mana yang cocok untuk kita terapkan. Salah satunya atau bukan ketiganya.

Ekonomi Coklat

Entah siapa yang pertama kali mengemukakan istilah ekonomi coklat (brown economy). Namun, secara definisi, seperti dikutip dari tulisan Change Oracle (2022), ekonomi coklat merujuk pada sistem ekonomi yang bersifat destruktif terhadap lingkungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sistem ekonomi ini memacu dan memicu pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan energi fosil (minyak, batu bara dan gas), sumberdaya alam (hutan, laut, air dan tanah) dan mengabaikan kerusakan lingkungan dan depelesi sumberdaya alam sebagai dampaknya.

Meminjam istilah Herman Daly, dalam karya magnum opusnya, Ecological Economic, hubungan antara perekonomian semacam ini dengan lingkungan bersifat linear. Ambil bahan baku dari alam, lalu diproses, ambil manfaatnya, buang sisanya pada lingkungan dan abaikan kerusakannya. Itulah sebabnya perekonomian ini bersifat destruktif alias tidak berkelanjutan.

ADVERTISEMENT

Timbul pertanyaan, sejak kapan ekonomi coklat ini dimulai dan siapa penggagasnya? Sejak adanya perubahan sistem produksi dan konsumsi, dari demand side ke supply side serta rekayasa keinginan menjadi seolah-olah kebutuhan. Dan itu dimulai sejak sistem ekonomi kapitalisme lahir lalu diterapkan, kemudian menguat dan mendominasi sistem perekonomian dunia.

Sisetm ekonomi kapitalisme saat ini telah menjadi mindset kebanyakan orang. Mulai dari kaum berdasi yang menduduki gedung-gedung pencakar langit, ilmuwan bertoga yang menghuni kampus-kamus megah dan ternama, hingga lapisan masyarakat bawah yang menghuni rumah-rumah kumuh bantaran kali, atau masyarakat pedesaan terpencil.

Lantas, siapa yang pertama kali memunculkan istilah ekonomi kapitalisme? Merujuk pada sejumlah referensi, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Louis Blanc, pada tahun 1850 dan Pierre Joseph Proudon, pada tahun 1861. Kemudian dipopulerkan oleh Karl Marx, dalam karya besarnya, Das Kapital. Adam Smith sendiri yang dianggap bapak ekonomi kapitalisme klasik, tidak pernah menggunakan istilah tersebut, dalam bukunya The Wealth of Nations.

Ia hanya meletakkan urgensi kebebasan pasar (invisible hand), minim campur tangan pemerintah (laissez faire), spesialisasi dan kepemilikan pribadi (property right) dalam menciptakan kesejahteraan bangsa-bangsa.

Karl Marx menggunakan istilah kapitalisme dalam rangka mengkritisi sistem ekonomi gagasan Adam Smith sebagai perekonomian yang menciptakan ketimpangan (enequality) dan eksplotasi kaum buruh.

Lantas, apa itu kapitalisme dan apa kaitannya dengan ekonomi coklat? Banyak definisi ynag dikembangkan oleh para ahli mengenai sistem ekonomi kapitalisme. Namun, salah satunya adalah definisi dari Andrew Zimbalist dalam bukunya Comparing Economic Systems: A Political Economy Approach, terbit tahun 1988.

Menurut Andrew, sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana faktor produksi berupa barang (mesin, lahan) dan uang (financial capital) dimiliki dan diusahakan secara pribadi (kaum kapitalis) dengan tujuan utamanya untuk mendapatkan laba dan mengakumulasi kapital dengan cara reinvestasi laba yang didapat.

Sementara, mereka yang tidak memiliki modal, cukup menjadi pekerja para kapitalis untuk mendapatkan upah. Para pekerja, siapa pun ia, baik direksi maupun buruh kasar, sejatinya adalah buruh yang tidak punya saham atas perusahaan dan tidak berhak atas produk yang dihasilkan. Ia hanya pekerja kaum kapitalis dengan tugas untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Apakah mengakumulasi kapital sebuah kesalahan? Tentu tidak. Kesalahannya terletak pada nafsu mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya dengan berusaha sekuat tenaga untuk menguasai kapital, termasuk menguras sumberdaya alam, dan mengabaikan dampaknya. Mengapa mereka mengabaikan dampak lingkungan? Karena mengurusi lingkungan, dalam pandangan bisnis mereka, akan meningkatkan biaya dan menurunkan keuntungan. Meskipun saat ini ada kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR), aslinya tidak gratis.

Seberapa pun uang yang dikeluarkan harus menguntungkan perusahaan. Paling tidak keuntungan intangible, berupa citra baik perusahaan yang sekan-akan peduli pada urusan sosial dan lingkungan.

Jadi, penurunan kualitas lingkungan, baik lokal, regional maupun global seperti kelangkaan air, kenaikan suhu global, penurunan kualitas udara, air dan tanah, adalah akibat ulah para kapitalis. Oleh karena itu, ekonomi coklat tiada lain adalah wajah asli sistem ekonomi kapitalisme yang rakus, boros dan serakah. Ibarat serigala tanpa topeng. Kelihatan wajah aslinya.

Ekonomi Hijau

Setelah sekian ratus tahun sistem kapitalisme global menguras bumi dan mengotorinya, lalu mereka tersadar bahwa ada ancaman terhadap keberlanjutan bisnisnya bila model bisnis itu tetap dipertahankan. Namun di sisi lain, ia tetap tidak ingin mengubah tujuannya untuk memperoleh keuntungan dan mengakumulasi kapital. Ada konflik antara ekonomi dan lingkungan. Maka, dibuatlah konsep ekonomi hijau untuk keberlanjutan.

Apa itu ekonomi hijau? Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi kapitalisme yang dalam menjalankan perekonomiannya mencoba untuk mengurangi dampak lingkungan dan berusaha menghemat sumberdaya. Mengurangi dampak lingkungan dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi produksi dan mengolah sisa yang dihasilkan, baik sisa produksi maupun sisa konsumsi, menjadi produk lain yang bermanfaat.

Sedangkan penghematan sumberdaya dilakukan dengan cara mencari subtitusinya. Sebagai contoh untuk mengganti bahan bakar fosil sebagai sumber energi maka dicarilah sumber energi non fosil yang dapat diproduksi sehingga lahir konsep energi dan terbarukan (EBT).

Tujuan di balik itu semua bukan untuk memikirkan keberlanjutan bumi demi generasi mendatang melainkan untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis kaum kapitalis. Itulah sebabnya, ekonomi hijau dan keberlanjutan terus digaungkan, dikampanyekan, diperlombakan dan diajarkan. Sehingga membentuk mindset global.

Kita merasakan hal itu saat ini di mana setiap merindukan ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Jadi, ekonomi hijau adalah sistem ekonomi kapitalisme yang rakus dengan tujuan utama tetap untuk meraup keuntungan dan mengakumulasi kapital namun berlindung dibalik warna hijau yang seakan menyejukkan. ekonomi hijau itu seperti serigala namun berbulu domba.

Ekonomi biru

Konsep ekonomi biru pertama kali dikemukakan oleh Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul 'Blue Economy'. Awalnya, konsep ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perairan (darat dan laut) untuk kesejahteraan. Kata blue bisa jadi merujuk pada warna air laut yang nampak berwarna biru.

Konsep ini terus berkembang, tidak terbatas hanya pada pemanfaatan potensi sumberdaya perairan, melainkan menjadi gambaran sebuah sistem ekonomi yang menyerupai ekosistem perairan. Dimana nutrisi dan energi terus mengalir tanpa menghasilkan limbah. Belakangan, ekonomi biru pun meliputi sistem produksi tradisional seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat.

Itulah sebabnya, para pegiat ekonomi biru, merasa berada pada kasta lebih tinggi dari ekonomi hijau karena ia mengusung nilai-nilai tradisional dan ekonomi tanpa limbah. Secara konsep sih cocok banget. Terasa ada keluruhan budi. Namun, dalam pelaksanaannya apakah konsep ini dapat bertarung pada aras global? Setahu saya, blue ekonomi baru sampai pada wacana dari seminar ke seminar. Tidak memiliki instrument yang kuat untuk bisa menjelma dalam kehidupan.

Ekonomi Tanpa Warna

Mungkin ketika Adam Smith melahirkan bayi kapitalisme tidak membayangkan bayinya itu akan menjadi serigala yang rakus dan opportunistic. Ia hanya memimpikan sistem ekonomi berkeadilan dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk berusaha; transaksi diatur secara natural dengan menggunakan mekanisme pasar (invisible hand); dan minim intervensi pemerintah.

Mengapa hal ini menjadi spiritnya dalam upaya menciptakan kesejahteraan? Karena, kala itu, ketiga hal tadi merupakan barang mahal. Kita ketahui bahwa pada era Adam Smith, ekonomi dikuasai oleh tuan tanah yang berselingkuh dengan penguasa yang lalim. Rakyat kebanyakan hanya berperan sebagai buruh atau budak yang dibayar sangat murah. Menurut berbagai referensi, selama kurun 200 ratus tahun, upah buruh di Eropa tak pernah naik. Rakyat hidup dalam kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan.

Di mana letak kesalahan Adam Smith? Ia abai terhadap intervensi pemerintah. Ini yang dikritik habis oleh Thorten Veblen (1899), penggagas aliran ekonomi kelembagaan, dalam bukunya The Leisure Class, mewanti-wanti bahwa ketidakhadiran pemerintah dalam sistem ekonomi maka ekonomi akan dikuasai oleh segelintir orang yang rakus dan serakah. Yang sekarang menjadi kenyataan. Dan ini mengulang kembali sejarah era Adam Smith. Bisa jadi ia menyesal dalam keabadiannya.

Atas dasar itu, maka saya berpandangan, pemerintah harus hadir dalam perekonomian yang mengatur sekaligus menjadi wasit demi terwujudnya pemerataan yang berkeadilan. Mengendalikan kerakusan yang besar sekaligus menguatkan yang kecil agar ekonomi tumbuh secara merata. Inilah ekonomi tanpa warna. Yang bening dan bersih dari noda ketidakadilan.

Aceng Hidayat. Dekan Sekolah Vokasi IPB, dosen Departement ESL IPB.

Simak juga Video Hanif: Tata Kelola Karbon untuk Pastikan Transisi Menuju Ekonomi Hijau

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads