Tepat pada hari Rabu, 19 November 2025, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) melangkah dalam perjalanan satu tahun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Kabinet Merah Putih. Usia satu tahun ini bagaikan membuka halaman pertama buku besar tata kelola Kementerian baru. Beragam kebijakan dan sistem dibangun untuk memperkuat fondasi "Guard and Guide" dalam menjaga gerbang kedaulatan negara dan keamanan masyarakat. Fondasi ini jua menunjukkan kesempatan kedua bagi Warga Binaan melalui pendekatan pembinaan yang humanis.
Namun, pada awal perjalanannya, Kementerian ini masih dihantui dua tantangan besar yang menggerogoti fondasinya yaitu fraud (penggelapan) dan korupsi. Bagaikan kanker, keduanya tumbuh diam-diam di dalam organisasi, menyebar melalui budaya permisif, menormalisasikan penyimpangan integritas, dan kerap bersembunyi di balik sistem yang tampak sehat.
Berdasarkan data Inspektorat Jenderal per 26 Oktober 2025, 480 pegawai tercatat melakukan pelanggaran disiplin dan 240 pegawai di antaranya harus menjalani pembinaan mental di Nusakambangan. Data tersebut tidak hanya menyajikan angka-angka bisu, melainkan juga cerminan bahwa penyakit lama juga belum sembuh. Jika penyakit ini dibiarkan, tujuan luhur dalam mewujudkan pelayanan Imigrasi dan Pemasyarakatan yang bersih dan berkeadilan hanyalah sebuah jargon semata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warisan Masa Lalu yang Masih Membayangi
Di satu tahun pertamanya, Kementerian ini kini tengah berhadapan dengan penilaian Indeks Reformasi Birokrasi (RB) dan salah satu komponen penilaian terbesar dari RB adalah Sistem Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK. Sebagai Kementerian baru, baseline Kemenimipas merujuk pada nilai SPI Kementerian Hukum dan HAM yang sebelumnya menunjukkan fluktuasi. Maknanya, modal awal Kementerian ini belum sepenuhnya stabil dalam pengendalian integritas. Dengan demikian, Kemenimipas berada di garis start yang rapuh pascatransformasi.
Selain itu, rendahnya Indeks Efektivitas Pengendalian Korupsi (IEPK) memberi beberapa catatan krusial, antara lain, (1) belum tersedianya kebijakan antikorupsi yang menjadi rujukan pengendalian; (2) pelaksanaan penilaian risiko yang terbatas baik dari sisi kualitas maupun keberlanjutan; serta (3) belum adanya rencana tindak pengendalian risiko korupsi sebagai panduan perbaikan secara sistematis.
Sering kali kita menganggap fraud dan korupsi lahir dari lemahnya integritas individu pegawai. Padahal, jika berkaca dari catatan nilai SPI dan IEPK, fondasi tata kelola kita belum benar-benar kuat dan mekanisme pengendalian belum bergerak seirama. Kejahatan kerah putih memang tidak semata-mata beban dari pelaku perseorangan, tetapi juga bisa membentuk sistem dan lingkaran setan yang perlu diputus total.
Model Tiga Lini sebagai Manifestasi GRC
Di sinilah peran Governance, Risk, Compliance (GRC) menjadi penting. Konsep ini bukan sekadar rangkaian istilah teknis, melainkan kerangka kerja yang terintegrasi dalam memastikan (1) seluruh aktivitas organisasi selaras dengan tujuan strategis; (2) risiko dikelola secara terukur, serta (3) kepatuhan ditegakkan berdasarkan nilai dan aturan yang berlaku.
Kita tentu berharap konsep GRC tidak berdiri di atas menara gading atau sekadar menjadi diskursus tanpa eksekusi nyata. Oleh karena itu, Menteri Imigrasi Pemasyarakatan (IMIPAS), Agus Andrianto, telah menetapkan Keputusan Menteri Nomor: M.IP-27.OT.01.01 tentang Tata Kelola Pengawasan Intern dan Pedoman MIP-OT.02.02-20 Tahun 2025 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Kedua beleid tersebut menjadi manifestasi nyata konsep GRC, sekaligus upaya untuk menjawab tantangan fraud dan korupsi yang masih mendarah daging.
Kedua regulasi ini mentransformasikan tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian intern melalui Model Tiga Lini (Three Lines Model) berdasarkan The Institute of Internal Audithors (2024). Model berjenjang dan berlapis ini menegaskan bahwa pengendalian integritas adalah tanggung jawab kolektif, bukan sekadar domain Inspektorat Jenderal sebagaimana sebelumnya.
Pengawasan internal model tiga lini berfungsi sebagai kerangka operasional dan pengendalian organisasi Kemenimipas yang struktur organisasinya sangat luas di setiap daerah hingga pelosok perbatasan negara. Setiap lini memiliki peran dan ruang lingkupnya masing-masing secara berjenjang untuk memastikan pelaksanaan kebijakan antikorupsi serta pengelolaan risiko secara efektif. Secara umum, peran dan ruang lingkup setiap lini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Lini Pertama (Unit Pelaksana Teknis): Sebagai garda terdepan, berperan mencegah, mengidentifikasi risiko, menangani pengendalian langsung dan penerapan kebijakan antikorupsi.
Lini Kedua (Unit Kepatuhan Internal): Melakukan pemantauan berkala, memonitor dan mengevaluasi keberhasilan penerapan kebijakan serta mengelola risiko-risiko yang muncul.
Lini Ketiga (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/Inspektorat Jenderal): Melakukan penilaian independen dan objektif atas efektivitas kontrol dan kebijakan antikorupsi, mengidentifikasi manajemen risiko yang perlu diperbaiki serta memberikan jaminan melalui audit berbasis risiko.
Melalui keselarasan ketiga lini ini, potensi kecurangan dan pelanggaran integritas tidak hanya bisa dideteksi, tetapi juga dapat dicegah sejak awal. Apabila ketiga lini tidak selaras, tumpang tindih kewenangan akan terjadi. Di sisi lain, lini pertama bisa jadi mengalami kewalahan atau assurance fatique yang disebabkan tidak ada komunikasi antara lini kedua dan ketiga. Di samping itu, tanpa pemetaan risiko yang komprehensif dan pembagian peran yang jelas, area risiko tertentu bisa luput dari pengawasan karena tidak ada yang merasa bertanggung jawab.
Untuk mencegah hal-hal tersebut, diskursus combined assurances yang mengintegrasikan antarlini sangat diperlukan. Harapannya, diskusi antarlini juga akan menghasilkan gambaran komprehensif dan holistik tentang efektivitas tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian serta penyusunan assurance map yang jelas.
Kesempatan dan Tantangan Model Tiga Lini
Kemenimipas dapat menempuh empat langkah strategis sehingga model tiga lini dapat berjalan secara efektif dan optimal. Pertama, penyusunan petunjuk pelaksana dan teknis yang jelas agar setiap lini memahami batas ruang lingkup dan tanggung jawabnya. Tanpa pedoman operasional yang tegas, peran dan penyimpangan wewenang yang tumpang tindih hanya tinggal menunggu waktu. Kedua, penguatan kapasitas harus menjadi prioritas. Tanpa pengetahuan yang cukup, semangat integritas tidak akan bisa diterjemahkan menjadi tindakan konkret. Lini pertama dan kedua perlu dibekali pelatihan dan bimbingan teknis terkait manajemen risiko dan asistensi aktif dari lini ketiga.
Ketiga, pembelajaran eksternal benchmarking ke lembaga yang telah berhasil menerapkan model tiga lini secara efektif. Pembelajaran ini bagaikan cermin sekaligus sumber inspirasi yang nantinya akan menyesuaikan model serupa dengan konteks Kemenimipas. Keempat, komitmen kuat dan pengelolaan ego sektoral antarlini adalah harga mati. Implementasi tiga lini bukan ajang untuk menunjukkan kekuasaan atau kewenangan, tetapi ruang untuk membangun sinergi dan kolaborasi.
Foto: Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Ika Yusanti (dok istimewa) |
Meski terkesan ideal, setiap lini masih menyisakan pekerjaan rumah bernama ego sektoral yang perlu dikikis hinga akhirnya benar-benar hilang. Ego sektoral pada level lini pengendalian tidak hanya dirasakan pada ruang kebijakan, tetapi juga getarannya sampai tataran pelaksana. Ketika lini kedua dan lini ketiga saling menjaga jarak; pegawai di lapangan ikut merasakan ketidakpastian, arahan menjadi tumpang tindih, dan mengikuti siapa yang berbicara. Efek dominonya adalah standar kerja makin tidak pasti dan pengawasan terasa seperti tekanan, bukan bimbingan. Dampaknya, kekhawatiran pegawai pun muncul karena dianggap memilih "kubu tertentu", bukan karena mengikuti aturan yang berlaku.
Untuk memulihkan keharmonian antarlini, ruang komunikasi harus selalu terbuka tanpa perlu ditutup-tutupi. Lini Kedua perlu menyajikan data, proses, dan pemantauan secara transparan. Sementara itu, Lini Ketiga harus menempatkan audit bukan sebagai ajang mengoreksi, tetapi sebagai mekanisme penguatan organisasi. Pertemuan rutin-yang membahas pembahasan risiko bersama, serta tindak lanjut rekomendasi yang disepakati antarlini-menjadi jembatan dalam upaya memulihkan kepercayaan, baik secara internal maupun kepada masyarakat. Dengan cara itu, model tiga lini kembali bekerja sebagai kesatuan sistem yang saling menguatkan, bukan tiga ruang yang berdiri sendiri.
Komitmen ini harus dijalankan secara sistematis, konsisten dan terukur. Lini pertama perlu menjadikan lini kedua sebagai mitra yang memberi masukan konstruktif, sementara lini ketiga harus membangun rencana pengawasan bersama, berbagi informasi dan menghindari duplikasi. Audit internal juga harus dapat mengandalkan pekerjaan lini kedua yang berkualitas. Tanpa kolaborasi yang baik antarlini, konsep ideal hanya sekadar hitam di atas putih, tanpa dirasakan dampak dan manfaatnya di kehidupan sehari-hari.
Akselerasi Pengawasan melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi
Selaras dengan transformasi tersebut, Kemenimipas juga perlu bergerak menuju pengawasan berbasis teknologi informasi. Transformasi ini semakin solid jika didukung dengan digitalisasi pengawasan. Melalui manajemen risko berbasis teknologi informasi, proses pengawasan tidak lagi bergantung pada laporan manual atau intuisi semata.
Seluruh pengendalian dilaksanakan berbasis data dan analitik yang memungkinkan identifikasi risiko yang lebih presisi, pemantauannya real-time, serta hasilnya transparan dan dapat diverifikasi. Teknologi digital juga akan mengakselerasi kecepatan proses pengawasan, menguatkan akuntabilitas, dan menghasilkan data yang mendukung setiap keputusan. Sistem informasi manajemen risiko pun tidak hanya menciptakan pengawasan yang lebih modern, tetapi juga lebih terpercaya serta akan menjadi fondasi integritas di Kemenimipas.
Penguatan pengawasan berbasis teknologi informasi sejatinya merupakan investasi jangka panjang bagi Kemenimipas. Dengan keandalan data dan sistem yang terintegrasi, tata kelola risiko dapat dikendalikan secara sistematis dan terukur, sekaligus menjadi landasan dalam menjaga marwah integritas institusi secara berkelanjutan.
Karena Preventif Lebih Kokoh daripada Kuratif
Pada akhirnya, keberhasilan model tiga lini tidak diukur dari banyaknya pegawai yang ditindak dan dijatuhi hukuman disiplin, tetapi sejauh mana seluruh jajaran benar-benar menghidupkan integritas dalam praktik sehari-hari. Inti pengendalian risiko bukanlah menghitung jumlah pelanggaran, melainkan mencegah dan membudayakan kepatuhan. Upaya pencegahan dan deteksi dini menjadi garda yang harus paling diandalkan serta dikelola secara berkelanjutan.
Prinsipnya sederhana, tetapi fundamental: prevention is stronger than punishment. Ketika setiap lini bekerja serempak, membaca sinyal risiko lebih cepat, dan menyusun rencana mitigasinya; organisasi tidak hanya berhasil menindak pelanggaran, tetapi mampu mencegah sebelum tumbuh menjadi masalah. Inilah esensi pengawasan modern yang ingin diwujudkan oleh Kemenimipas.
Jika semangat "Guard and Guide" benar-benar ingin diwujudkan, Kementerian harus terlebih dahulu menuntun dirinya sendiri-keluar dari jebakan formalitas dan ego sektoral-untuk menjaga gerbang integritas dengan tegas dan membimbing pelanggar melalui semangat pemulihan kembali. Dengan demikian, Kementerian ini tidak sekadar menjadi penjaga kedaulatan dan keamanan negara, tetapi juga penjaga integritas bagi seluruh aparat yang hidup dan berkehidupan di dalamnya.
Ika Yusanti. Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan












































