Kemarin, divisi HRD kembali mengonfirmasi status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)saya di tahun 2025. Saya pun meminta agar tahun ini status PTKP saya diubah dengan menambahkan ibu sebagai tanggungan.
Sebelum memenuhi permintaan saya, ia sempat mengonfirmasi jika ibu saya memang benar menjadi tanggungan, bukan pensiunan, dan sudah tidak memiliki penghasilan.
Tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, istri saya menyampaikan pesan dari Wira (9 tahun). Katanya, bertepatan dengan Hari Ayah, ia mengirim pesan WhatsApp dan berterima kasih kepada saya yang telah menggantikan peran ayahnya. Wira adalah salah satu murid isteri saya yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Beberapa bulan lalu, isteri saya menyampaikan keinginannya untuk mengangkat Wira sebagai anak kami. Sebelum mengiyakan, otak saya sudah berlarian ke sana ke mari, memikirkan bagaimana saya yang masih menjadi sandwich generation. Dan, bahkan untuk anak-anak kandung pun saya merasa belum bisa menjadi sosok ayah yang baik.
Sebagai pekerja yang berangkat dan pulang kerja dengan KRL, di usia yang sudah lebih dari 30 tahun, energi yang tersisa tidak lebih dari ketika usia masih dikurangi satu jari tangan. Di saat anak masih mengajak untuk bergulat, dengan sisa tenaga yang ada saya cuma ingin rebahan.
Namun, pada akhirnya saya tetap memenuhi keinginan istri untuk memasukkannya ke dalam bagian dari keluarga kecil kami. Meski tidak setiap hari berjumpa, tapi setidaknya di saat-saat tertentu Wira masih bisa merasakan kehadiran sosok seorang ayah.
Pertimbangan utama saya cuma satu, yaitu menjaga mimpinya tetap menyala. Wira adalah bintang di kelasnya. Saya hanya tidak ingin mimpinya padam hanya karena kebodohan ayah kandungnya.
Suatu hari, saat menjemput Wira di sekolah, ia berlari kecil dan memanggil saya "Abah" tanpa ragu. Suaranya pelan, tapi cukup membuat dada saya sesak. Mungkin bagi orang lain itu hal sepele, tapi buat saya, panggilan itu seperti pengakuan tak resmi bahwa saya sudah menjadi bagian dari hidupnya. Hari itu, saya baru benar-benar mengerti apa arti tanggung jawab emosional di balik kata "ayah".
Saya tidak mau dibilang geer, tapi dibanding banyak anak-anak lain, Wira termasuk anak yang beruntung karena bisa mendapat sosok ayah pengganti. Faktanya, sekitar 20,1 persen dari total 79,4 juta anak Indonesia berusia di bawah 18 tahun tergolong fatherless. Data tersebut berdasarkan Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada Maret 2024.
Dari jumlah tersebut, sekitar 4,4 juta anak hidup dalam keluarga tanpa kehadiran ayah sama sekali. Sebanyak 11,5 juta anak lainnya tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau setara lebih dari 12 jam per hari.
Data tentang anak-anak fatherless bukan sekadar angka di tabel statistik. Di balik setiap persen, ada kisah anak yang kehilangan panutan, kehilangan arah, dan sering kali kehilangan kepercayaan diri. Jika ayah-ayah di negeri ini lebih banyak absen karena tekanan hidup, maka yang sedang kita hadapi bukan hanya krisis keluarga, tapi juga krisis generasi. Anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah sering kali harus belajar menjadi dewasa lebih cepat, tapi dengan luka yang lebih dalam.
Banyak ayah di kota besar mungkin tidak pernah bermaksud meninggalkan anaknya, tapi waktu mereka habis di jalan dan kantor. Jam kerja yang panjang dan beban mental sebagai pencari nafkah membuat sebagian bapak-bapak menjadi sosok ayah yang hanya dikenang lewat amplop gaji. Kami pulang saat anak sudah tidur dan berangkat saat mereka belum bangun.
Saya terkadang lupa bahwa menjadi ayah bukan hanya tentang bekerja keras agar anak bisa sekolah atau makan cukup. Lebih dari itu, menjadi ayah adalah tentang bagaimana kita bisa hadir dan menjadi tempat anak bertanya, bercerita, bahkan menangis. Sesederhana mendengarkan celotehnya sepulang sekolah bisa membuat mereka merasa dihargai. Dan, ketika itulah kadang saya merasa gagal karena terlalu sering melewatkan momen-momen kecil itu.
Saya mungkin bukan ayah yang sempurna. Dan, mungkin tidak akan pernah bisa sempurna. Tapi setiap kali melihat Wira dan anak-anak saya tertawa bersama, saya sadar bahwa kehadiran, sekecil apa pun, tetap lebih berarti daripada kesempurnaan yang absen. Jika setiap ayah mau meluangkan waktu beberapa menit lebih lama untuk anaknya, mungkin angka 20,1 persen itu perlahan bisa menurun.
Menjadi bagian dari sandwich generation berarti hidup di antara dua arah tanggung jawab yang sama beratnya. Di satu sisi, saya masih harus menanggung kebutuhan orang tua yang sudah tidak produktif. Di sisi lain, saya juga harus memastikan masa depan anak-anak berjalan dengan baik. Di tengah tekanan ekonomi yang semakin ketat, saya sering merasa seperti roti lapis yang ditekan dari dua sisi, tetapi harus kuat agar tidak hancur.
Namun, saya belajar bahwa menjadi bagian dari sandwich generation juga memberi pelajaran berharga tentang makna tanggung jawab dan kasih. Bahwa lelah bukan alasan untuk berhenti, dan keberpihakan kepada keluarga tidak selalu harus sempurna. Saya hanya berharap, kelak anak-anak saya tidak perlu memikul beban seberat ini, karena mereka tumbuh dalam keluarga yang saling hadir dan saling menguatkan.
Pada akhirnya, saya sadar bahwa menjadi ayah bukan soal seberapa kuat menanggung beban, melainkan seberapa tulus mau berbagi kasih. Jika setiap ayah mau meluangkan sedikit lebih banyak waktu untuk hadir di hidup anak-anaknya, mungkin angka fatherless itu perlahan akan menurun. Tidak ada hadiah terbesar bagi seorang anak selain sosok ayah yang selalu hadir.
Muhamad Rahmat. Seorang abah yang bekerja sebagai Internal Auditor di Badan Pengelola Dana Perkebunan, Kementerian Keuangan.
Simak juga Video KuTips Pesan Kemenkes Agar Anak Tak Alami Fatherless: Komunikasi Terus
(rdp/imk)