Dunia modern lahir dari keyakinan besar bahwa manusia adalah pusat segalanya. Sejak abad pencerahan, manusia melepaskan diri dari otoritas ilahi dan menemukan makna hidup melalui kebebasan berpikir dan pengalaman pribadi.
Gagasan itu berkembang menjadi liberalisme, sistem nilai yang menempatkan individu sebagai sumber makna dan kebenaran.
Namun, seperti diingatkan Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2016), abad ke-21 menandai babak baru: manusia tidak lagi memuja Tuhan atau dirinya sendiri, melainkan data.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam senyap, muncul sebuah 'agama baru' yang disebutnya dataisme - agama tanpa Tuhan, tanpa kitab suci, tetapi dengan miliaran pengikut yang setiap hari membuka gawai dan mempersembahkan waktu serta perhatian kepada algoritma.
Dari Tuhan ke Manusia, dari Manusia ke Data
Harari melihat sejarah kepercayaan manusia sebagai pergeseran berlapis. Pada masa lampau, manusia hidup dalam dunia teistik: Tuhan menjadi sumber kebenaran dan makna.
Sejak era modern, manusia menjadi pusat: humanisme dan kemudian liberalisme memuliakan kebebasan individu, perasaan, dan pengalaman pribadi.
Namun kini, dengan berkembangnya bioteknologi dan kecerdasan buatan, pusat otoritas moral kembali bergeser. Dataisme menempatkan data dan algoritma sebagai sumber pengetahuan tertinggi.
Dalam paradigma ini, yang "benar" bukan lagi apa yang dirasakan manusia, melainkan apa yang dikatakan data.
Dalam keseharian, kita melihatnya di mana-mana. Media sosial menentukan apa yang kita pikirkan; aplikasi menentukan siapa yang kita cintai; dan sistem digital menentukan apa yang harus kita beli. Perlahan-lahan, manusia kehilangan kedaulatan atas hidupnya sendiri.
Krisis Liberalisme
Krisis ini, menurut Harari, berakar pada kelemahan internal liberalisme. Liberalism berasumsi bahwa manusia adalah makhluk otonom dengan kehendak bebas. Namun, biologi modern menunjukkan bahwa keputusan manusia hanyalah hasil proses algoritmik di otak.
Bahkan, algoritma digital kini mengenal manusia lebih dalam daripada dirinya sendiri. "Once Google knows you better than you know yourself, authority shifts from humans to algorithms," tulis Harari.
Dengan demikian, nilai-nilai dasar liberalisme-kebebasan, pilihan, dan otoritas individu-mulai kehilangan pijakan. Bila algoritma lebih memahami kita, mengapa masih percaya pada intuisi dan perasaan? Maka lahirlah "agama baru" di mana data menggantikan manusia sebagai pusat makna.
Dalam istilah yang lebih tajam, dataisme adalah anak kandung liberalisme yang menelan induknya sendiri.
Jika liberalisme berkata: "Dengarkan hatimu," maka dataisme menjawab: "Dengarkan datamu."
Agama Baru Bernama Data
Harari menulis, dataisme memiliki semua ciri agama. Keyakinan dasarnya: bahwa informasi adalah nilai tertinggi. Ritualnya: berbagi, menggulir, mengunggah, memberi tanda "suka".
Imam: para ilmuwan data dan pengembang teknologi. Bahkan kitab sucinya: algoritma yang tak terbaca oleh manusia biasa.
"Jika kehidupan adalah aliran informasi," tulis Harari, "maka makna hidup adalah meningkatkan arus data." Nilai tertinggi agama ini bukan lagi kasih, keadilan, atau kebajikan, melainkan efisiensi dan keterhubungan.
Masalahnya, agama ini lahir tanpa jiwa. Ia memuja kecepatan tetapi kehilangan makna, memuja keterhubungan tetapi melupakan keintiman. Manusia tidak lagi menjadi pencari kebenaran, tetapi penyedia data bagi sistem yang lebih besar dari dirinya.
Bahaya Kehilangan Kemanusiaan
Kritik terhadap dataisme bukanlah penolakan terhadap teknologi, melainkan peringatan etis. Ada tiga bahaya utama yang perlu diwaspadai.
Pertama, reduksionisme ekstrem. Manusia direduksi menjadi mesin biologis tanpa jiwa. Cinta, iman, dan makna hidup dianggap sekadar algoritma kimiawi. Padahal, dimensi terdalam manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab moral yang tidak bisa direduksi menjadi data.
Kedua, hilangnya kebebasan dan tanggung jawab. Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) mengingatkan bahwa kejahatan terbesar terjadi ketika manusia berhenti berpikir dan hanya menjalankan sistem. Di era digital, bahaya itu tampak ketika manusia hanya mengikuti algoritma tanpa refleksi kritis.
Ketiga, ketimpangan kekuasaan digital. Perusahaan teknologi menjadi "imam-imam besar" yang mengatur perilaku umat manusia lewat data. Dalam konteks ini, demokrasi liberal kehilangan fondasinya: bagaimana rakyat bisa bebas jika algoritma menentukan pilihan mereka?
Menemukan Iman di Era Data
Kita tidak mungkin kembali ke masa lampau. Data dan teknologi akan tetap menjadi bagian dari hidup manusia. Namun kita perlu mengingat bahwa data tidak pernah bernilai tanpa manusia.
Yang harus diselamatkan bukan hanya kebebasan, melainkan kemanusiaan itu sendiri. Kita perlu menumbuhkan tiga kebajikan baru di era data.
Pertama, melakukan refleksi yaitu kemampuan berhenti dan merenung di tengah kebisingan algoritmik. Kedua, mempunyai belas kasih artinya ada kesadaran bahwa di balik setiap data ada manusia. Ketiga, memiliki tanggung jawab moral bermakna bahwa keberanian menggunakan teknologi untuk melayani kehidupan, bukan sebaliknya.
Bagi bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa paling religius, tantangan ini relevan. Kita hidup di zaman ketika "like" dianggap sebagai ukuran nilai, dan algoritma menentukan arah opini publik. Namun Indonesia masih memiliki modal spiritual: iman, gotong royong, dan kebijaksanaan kolektif.
Agama-agama tradisional tidak perlu menolak data, melainkan menuntunnya--agar data tetap melayani martabat manusia, bukan menggantikannya.
Selama manusia masih mampu bertanya tentang makna, mencinta, dan berbelas kasih, maka iman tidak akan mati. Yang perlu dijaga bukan hanya "akses ke data," tetapi akses ke hati nurani.
Pormadi Simbolon. Alumnus pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, pemerhati isu Pendidikan dan kebudayaan, tinggal di Banten.
Simak juga Video Paus Fransiskus Soroti Gaza: Situasi Kemanusiaan yang Menyedihkan











































