×
Ad

Kolom

Dimensi Nilai dalam Sebuah Status

Mukh Imron Ali Mahmudi - detikNews
Kamis, 13 Nov 2025 17:02 WIB
Foto: Ilustrasi identitas (Getty Images/MarLei)
Jakarta -

Hari-hari terakhir, ada banyak perdebatan yang terjadi di media sosial, mulai dari pro kontra pemberian stiker "keluarga miskin" untuk penerima bantuan sosial, sampai pemberian gelar pahlawan untuk sejumlah tokoh.

Dukungan dan resistensi itu sejatinya menunjukkan bahwa di masyarakat masih ada nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi. Akan tetapi, pada derajat tertentu, nilai dan status itu seringkali dipuja melebihi kebutuhan ekonomi dan kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam masyarakat, ada banyak nilai (value) yang dianggap penting atau sebaliknya. Nilai itu memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya, nilai kesederhanaan, ia yang bisa memberi makna yang mendorong masyarakat untuk hanya perlu mengejar sesuatu yang bermanfaat dan mengurangi pengejaran pada sesuatu agar dipandang tinggi oleh orang lain.

Selain itu, nilai juga melekat pada status yang bisa menentukan tinggi rendahnya derajat seseorang dalam masyarakat. Nilai inilah yang seringkali lebih dipuja melebihi kebutuhan yang lain.

Dalam kasus pemberian stiker keluarga miskin untuk keluarga miskin, di satu sisi ia berfungsi sebagai katalisator untuk menyeleksi mana keluarga yang benar-benar membutuhkan dan tidak. Dengan adanya stiker itu, verifikasinya diberikan pada masyarakat secara umum.

Stiker ini ibarat CCTV yang membuat semua orang bisa mengecek kelayakan ekonomi keluarga tersebut untuk menerima bantuan. Fungsi itu bekerja ketika rumah-rumah yang nampak layak, kemudian viral karena ternyata menerima bantuan.

Di sisi lain, stiker itu tentu saja punya disfungsinya tersendiri, yaitu mendiskriminasikan orang-orang yang benar-benar butuh. Ia dianggap "mempermalukan" orang yang kalangan kelas bawah.

Oleh karena itu, penentangan pada label stiker itu kemudian membandingkan dan mengusulkan untuk memberi stiker "koruptor" pada rumah mereka yang tertangkap KPK.

Pro kontra stiker ini juga menunjukkan bahwa stratifikasi dalam masyarakat tidak hanya ditentukan oleh ekonomi, tapi juga status sosial. Dari sisi ekonomi orang mungkin benar-benar butuh bantuan. Akan tetapi dari sisi status sosial, orang jadi merasa tidak butuh bantuan karena harus memasang stiker itu.

Pengejaran Status melebihi Kekuasaan

Tingginya penghormatan pada status melebihi ekonomi ini lebih nampak dalam fenomena pemberian gelar pahlawan untuk sejumlah tokoh. Pemberian gelar itu membuat mereka berhak akan tunjangan berkelanjutan dari negara.

Bantuan dari negara itu tentu bernilai ekonomi juga dan bisa diwariskan pada keluarga. Namun, yang lebih penting dari nilai ekonomi dari gelar itu adalah status yang melekat pada gelar pahlawan itu.

Dalam label pahlawan itu, paling tidak melekat makna bahwa ia sudah berjasa banyak untuk bangsa, melebihi apa yang ia lakukan untuk diri sendiri. Pemaknaan-pemaknaan lain bisa berbeda, oleh karena itu penolakan pemberian gelar pada tokoh tertentu seperti pada Soeharto baru-baru ini juga bisa dipahami.

Di satu sisi, orang menaruh nilai (value) yang sangat tinggi pada gelar pahlawan itu. Di sisi lain, orang kemudian mengevaluasi seberapa pantas nilai itu dilekatkan pada orang yang diberi gelar pahlawan.

Bagi para pendukung, Soeharto dianggap sudah berjasa pada pembangunan Indonesia selama ia menjabat sebagai presiden. Jasa itu tentu sedikit banyak harus diakui karena ia yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Akan tetapi, bagi para penolak, gelar itu tentu tidak pas, mempertimbangkan berbagai rekor masa lalu yang ia jalani.

Penolakan dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) seperti Kyai Mustofa Bisri dan berbagai aktivis reformasi tentu beralasan karena mereka menganggap nilai-nilai kepahlawanan itu tidak pantas dilekatkan pada sosok Soeharto dengan segala rekam jejaknya. Itu tidak lain juga karena pemaknaan nilai pahlawan itu sendiri yang begitu tinggi.

Oleh karena itu, nilai yang melekat pada status ini sekali lagi sangat penting dalam masyarakat. Dalam kasus pemberian stiker label "miskin" untuk keluarga penerima bantuan sosial, adakalanya ia melebihi kebutuhan ekonomi mereka.

Dalam kasus penolakan pada pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto, pemaknaan nilai itu melebihi ekonomi dan juga kekuasaan. Dua faktor itu, baik ekonomi dan kekuasaan sudah didapatkan Soeharto selama ia menjabat sebagai presiden. Sedangkan citra, status, dan persepsi masyarakat terhadapnya seringkali buruk karena rekam jejak masa lalunya. Oleh karena itu pemberian gelar ini begitu dipuja bagi para pendukungnya, sekaligus juga ditentang para penolaknya.

Hal yang sama kita bisa lihat dalam banyak hal, mulai dari hal-hal remeh seperti foto diri dengan smartphone di depan cermin sampai pada hal-hal besar seperti polemik pergantian kekuasaan Raja. Paling tidak, di situ selalu melekat derajat ekonomi, status, dan kekuasaan yang bisa terpisah tapi bisa juga berkelindan satu sama lain.

Mukh Imron Ali Mahmudi. Mahasiswa S3 Antropologi dan Sosiologi, Leiden University.

Lihat juga Video: Pakar Nilai Kinerja Ekonomi Tahun Pertama Era Prabowo




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork