Marwah Gus Dur Pahlawan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Marwah Gus Dur Pahlawan

Rabu, 12 Nov 2025 10:51 WIB
Nasyirul Falah Amru
Anggota Komisi III DPR RI dan Pengurus PBNU
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940  meninggal di Ciganjur, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001.
Foto: Gus Dur (Istimewa/Getty Images)
Jakarta -

Indonesia sedang menjalani fase refleksi atas peran-kemimpinan lintas generasi. Sebuah inisiatif pemerintah melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang menyerahkan daftar nama ke Presiden Prabowo Subianto, membuka ruang nasional untuk menilai ulang jasa-tokoh besar bangsa.

Dalam 49 daftar tokoh bangsa yang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, nama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) muncul bersanding dengan nama tokoh lainnya, termasuk mantan Presiden Soeharto dan Marsinah.

Fakta ini bukan hanya soal pencantuman nama, tetapi momentum simbolik: soal bagaimana bangsa ini menempatkan nilai kebangsaan, demokrasi, dan penghormatan terhadap minoritas sebagai bagian dari warisan kenegaraan. Dengan demikian, pengakuan formal bagi Gus Dur akan membawa makna lebih jauh - bukan hanya pemakluman sejarah, tetapi penegasan arah bangsa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 25 September 2024, Pimpinan MPR RI periode 2019-2024 menyatakan bahwa Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pemberhentian Presiden KH Abdurrahman Wahid tidak lagi berlaku. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Gus Dur tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dituduhkan dalam kasus "Bulog-Gate dan Brunnei-Gate".

Keputusan itu disambut dengan keharuan di kalangan para santri, aktivis, dan kalangan minoritas yang pernah merasakan perlindungan Gus Dur. Sebab selama lebih dari dua dekade, nama Gus Dur seolah dibiarkan menggantung di antara pujian dan penyingkiran: dielu-elukan sebagai "Bapak Pluralisme", tetapi juga dicatat secara formal sebagai Presiden yang dimakzulkan.

ADVERTISEMENT

Kini, setelah keputusan MPR 2019-2024 tersebut, sejarah memberi kesempatan kedua: untuk menilai, dengan kepala dingin dan hati jernih tentang jasa Gus Dur bagi kehidupan bangsa ini.

Dari Pesantren ke Istana

Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940, dari keluarga ulama besar yang mengasuh pesantren Tebu Ireng. Ia cucu pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, dan putra KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama Republik ini. Sejak muda, Gus Dur menapaki dunia pemikiran Islam dan humanisme dengan semangat yang tak lazim: membaca sastra Barat, menulis esai keislaman, dan memandang agama sebagai ruang dialog, bukan pagar pembatas.

Di bawah kepemimpinannya pada 1984 hingga awal 1999, Nahdlatul Ulama (NU) berubah arah dari peran politik praktis (Partai Nahdlatul Ulama) menuju jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah-organisasi sosial-keagamaan yang menekankan pendidikan, kebudayaan, dan pemberdayaan. Langkah itu bukan hanya kebijakan organisatoris, tetapi keputusan moral: menegakkan independensi umat dari kooptasi politik Orde Baru. Dari titik itu pula Gus Dur tampil sebagai simbol perlawanan kultural yang halus namun tajam.

Ketika Reformasi 1998 membuka kran demokrasi, arus perubahan mengantarkan Gus Dur-dengan dukungan koalisi Poros Tengah-ke kursi Presiden Republik Indonesia ke-4. Ia memimpin dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, periode singkat yang sarat badai politik, tetapi juga melahirkan keputusan-keputusan yang berani dan melampaui zamannya.

Salah satu jasa paling dikenang dari Gus Dur ialah keberpihakannya pada kelompok minoritas, terutama etnis Tionghoa. Selama lebih dari tiga dekade Orde Baru, kebudayaan Tionghoa dilarang tampil di ruang publik. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala bentuk perayaan, simbol, dan bahasa Tionghoa di muka umum.

Ia juga mendorong agar Tahun Baru Imlek diakui sebagai hari libur fakultatif, yang kelak-pada masa Presiden Megawati-dinaikkan statusnya menjadi hari libur nasional.

Kebijakan itu bukan semata-mata administratif; ia adalah pernyataan politik yang menantang prasangka lama. Dalam satu langkah, Gus Dur membongkar diskriminasi struktural yang telah mengakar selama 30 tahun. Ia menegaskan bahwa menjadi Indonesia berarti mengakui semua warisan budaya yang ada di bumi Nusantara. Tak heran, komunitas Tionghoa kemudian memanggilnya dengan penuh kasih sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia."

Selain pada minoritas etnis, Gus Dur juga menaruh perhatian pada kebebasan beragama. Ia membuka ruang bagi penganut Ahmadiyah dan penganut kepercayaan lokal untuk berdialog; ia menolak tafsir tunggal atas kebenaran. Dalam banyak tulisannya-yang kini dikumpulkan dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita-ia menegaskan bahwa keimanan tak seharusnya menjadi alat untuk menindas. Di tengah gejolak politik dan tekanan kelompok keagamaan, Gus Dur berdiri di sisi yang sepi: sisi kemanusiaan.

Reformasi Kelembagaan dan Etika Demokrasi

Dalam bidang politik dan pemerintahan, Gus Dur memegang peran penting dalam menata ulang hubungan sipil-militer setelah 32 tahun dominasi ABRI. Ia menegakkan prinsip bahwa TNI harus kembali ke barak dan memisahkan Polri menjadi lembaga penegak hukum sipil.

Proses itu ditandai dengan Ketetapan MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000, yang mempertegas pemisahan TNI-Polri serta pembatasan peran militer dalam politik praktis. Walau bukan satu-satunya arsitek, Gus Dur memainkan peran moral dan politik yang menentukan agar ketetapan itu benar-benar dijalankan.

Ia juga membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dua lembaga yang pada masa Orde Baru kerap dijadikan alat hegemoni ideologi. Langkah itu-sering disalahpahami sebagai tindakan emosional-sejatinya adalah bagian dari strategi desentralisasi kekuasaan: mengembalikan tanggung jawab komunikasi publik dan kesejahteraan sosial kepada masyarakat dan pemerintah daerah.

Gus Dur menolak logika kekuasaan yang memusat. Ia percaya, demokrasi Indonesia tak akan tumbuh dari atas ke bawah, melainkan dari bawah ke atas: dari rakyat yang belajar bicara, berbeda, dan mengatur diri sendiri. Ia tahu betul bahwa kebebasan bisa berantakan; tetapi baginya, risiko itu lebih baik daripada kembali ke keteraturan yang menindas.

Namun idealisme itu akhirnya bertabrakan dengan kenyataan politik. Koalisi yang rapuh, konflik dengan DPR, dan perbedaan gaya komunikasi menjelma badai. Pada 23 Juli 2001, Sidang Istimewa MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001, yang memberhentikan Gus Dur dari jabatan Presiden dan mengangkat Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai penggantinya. Dalam dokumen sejarah hukum Indonesia, TAP itu menjadi preseden pertama dalam pemakzulan Presiden pasca-Reformasi.

Selama bertahun-tahun, status hukum tersebut menempel seperti noda di biografi Gus Dur. Ia wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta tanpa pernah melihat rehabilitasi formal atas namanya. Namun keadilan sejarah kadang datang dengan langkah yang lambat.

Dua puluh tiga tahun kemudian, pada 25 September 2024, pimpinan MPR RI periode 2019-2024 menyampaikan keputusan penting: menyatakan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tidak berlaku lagi. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa keputusan itu merupakan langkah untuk "meluruskan sejarah dan memulihkan nama baik Presiden KH Abdurrahman Wahid." Keputusan tersebut disetujui oleh seluruh pimpinan MPR lintas fraksi dan DPD, menandai konsensus moral bahwa bangsa ini telah cukup dewasa untuk berdamai dengan masa lalunya.

Dengan dicabutnya TAP itu, penghalang hukum terhadap penghormatan negara bagi Gus Dur praktis telah sirna. Ia kini berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh bangsa yang telah lebih dahulu diakui jasanya oleh negara.

Mengapa Gus Dur Layak Disebut Pahlawan?

Gelar Pahlawan Nasional bukan semata penghargaan kepada tokoh yang gugur di medan perang, melainkan kepada siapa pun yang jasanya melampaui kepentingan dirinya sendiri. Dalam arti itu, Gus Dur layak disebut pahlawan karena berani menanggung risiko politik demi nilai-nilai yang ia yakini benar.

Ia memperjuangkan keindonesiaan yang plural dan manusiawi, di saat bangsa ini baru belajar melepaskan diri dari monolitisme ideologis. Ia mengajarkan bahwa iman tanpa kemanusiaan hanyalah kesombongan spiritual, dan politik tanpa moral hanyalah permainan kekuasaan. Ia menolak untuk membenci-bahkan kepada mereka yang menjatuhkannya. "Tidak ada musuh dalam politik, yang ada hanya teman yang belum sepakat," katanya suatu kali, dengan senyum yang mengandung ironi.

Jasanya tidak berhenti di masa jabatannya. Setelah wafat pun, gagasan-gagasannya terus hidup di berbagai lembaga keagamaan, pendidikan, masyarakat sipil dan dialog lintas agama. Di tengah menguatnya polarisasi identitas hari ini, warisan Gus Dur terasa semakin relevan: ia mengingatkan bahwa nasionalisme sejati bukanlah penyeragaman, melainkan kemampuan hidup bersama dalam perbedaan.

Menyebut Gus Dur pahlawan berarti mengakui bahwa jalan kepahlawanan tak selalu lurus. Ia bukan pahlawan yang sempurna; ia manusia dengan segala kontroversi dan paradoksnya. Ia bisa ceroboh secara politik, tapi jujur secara moral; bisa tertawa saat diserang, bisa memaafkan ketika disingkirkan. Justru di sanalah letak nilai kepahlawanannya: keberanian untuk tetap menjadi manusia di tengah sistem yang cenderung mematikan kemanusiaan.

Mungkin inilah cara sejarah memaafkan dirinya sendiri. Setelah dua puluh tahun lebih nama Gus Dur terbungkus kontroversi, kini negara bersiap mengabadikannya sebagai teladan. Bila Bung Karno dikenang karena telah memerdekakan bangsa dan telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, maka Gus Dur dikenang karena mengajarkan keberanian untuk hidup dalam perbedaan. Ia mengajarkan bahwa bangsa ini tidak akan runtuh oleh keragaman, justru tumbuh karenanya.

Dalam khazanah Islam yang menjadi napas hidupnya, Gus Dur kerap mengutip ungkapan rahmatan lil 'alamin-rahmat bagi semesta. Di tangan dan pikirannya, frase itu menjelma menjadi politik kebangsaan: menjadikan negara sebagai rumah bersama. Kini, ketika MPR telah memulihkan nama baiknya, tugas kita hanyalah satu: memastikan nilai-nilai itu terus hidup, bukan sekadar dalam upacara atau nisan, melainkan dalam perilaku kenegaraan sehari-hari.

Sebab mungkin benar apa yang pernah ia katakan dengan tawa khasnya: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak belajar memanusiakan manusia, ia belum sepenuhnya berilmu."

Dan barangkali, di titik itulah, KH Abdurrahman Wahid sudah lama menjadi pahlawan, jauh sebelum negara sempat menyadarinya. Demikianlah marwah kebajikan beliau yang abadi.

Nasyirul Falah Amru. Anggota Komisi III DPR RI dan Pengurus PBNU.

Lihat juga Video 'Momen Istana Sebutkan Kontribusi Para Pahlawan Nasional 2025':

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads