Transformasi Pendidikan Indonesia: Jadikan Bahasa Sebagai Alat Berpikir
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Transformasi Pendidikan Indonesia: Jadikan Bahasa Sebagai Alat Berpikir

Selasa, 11 Nov 2025 14:05 WIB
Miftah Sabri
Pendiri Akademi Kader Bangsa.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Miftah Sabri, Pendiri Akademi Kader Bangsa.
Foto: Miftah Sabri, Pendiri Akademi Kader Bangsa (Dok Pribadi)
Jakarta -

Kita sering menemukan seseorang yang mampu melafalkan ayat Al-Qur'an dengan sangat fasih, tetapi tidak mampu menjelaskan makna setiap kata yang diucapkannya. Kita juga melihat anak muda yang hafal lagu Barat dari awal hingga akhir, namun tidak mengerti arti satu kalimat pun di dalamnya. Fenomena seperti ini tampak sederhana, tetapi bagi otak perbedaannya sangat fundamental.

Dalam neurosains, bahasa tidak dipahami sebagai bunyi belaka. Bahasa adalah alat berpikir. Saat seseorang mengetahui arti kata, hubungan antar gagasan, dan konteksnya, otak mengolah bahasa sebagai mesin bernalar. Wernicke's area bekerja memahami makna, Broca's area menyusun struktur, dan prefrontal cortex mengolah logika, sebab akibat, serta pengambilan keputusan.

Bahasa yang dipahami berubah menjadi instrumen intelektual. Bahasa menghasilkan kemampuan menjelaskan ulang, menarik kesimpulan, berargumentasi, dan melahirkan ide baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebaliknya, ketika bahasa hanya dihafal bunyinya tanpa pemahaman, otak memperlakukannya seperti ritme musik. Auditory cortex menangkap suara, hippocampus menyimpan ingatan, dan kalimat yang dihafal kembali keluar sebagai tiruan bunyi, bukan hasil pemikiran.

Dalam kondisi itu seseorang dapat mengulang kata-kata dengan akurasi tinggi, tetapi tidak mampu menerjemahkan, menafsirkan, atau membangun makna baru. Hafalan seperti ini memang meningkatkan daya ingat, tetapi tidak melatih kemampuan berpikir.

ADVERTISEMENT

Di antara dua kutub ini terdapat sebuah jembatan yang sering dianggap tujuan akhir padahal masih jauh dari cukup yaitu grammar. Dalam tradisi pembelajaran bahasa, terutama bahasa Arab dan bahasa Inggris di Indonesia, grammar sering menjadi pusat perhatian. Secara neurolinguistik, mempelajari tata bahasa memang penting karena ia mengaktifkan sistem pola dan struktur dalam otak.

Grammar membuat bahasa teratur. Namun grammar tanpa makna hanya menjadikan bahasa sebagai rumus. Banyak pelajar mengetahui apa itu past tense, future perfect, atau i'rab dalam bahasa Arab, tetapi tidak mampu menulis esai, memahami bacaan ilmiah, atau mengolah argumen karena bahasa belum menjadi alat berpikir.

Inilah akar persoalan besar dalam pendidikan bahasa di Indonesia. Untuk bahasa Indonesia, kita sudah mencapai tingkat terbaik. Kita tidak sekadar tahu bunyinya, tetapi berpikir dengan bahasa Indonesia. Kita berdebat, menulis, meneliti, dan menganalisis dalam bahasa Indonesia. Tetapi ketika masuk ke bahasa asing, terutama Inggris dan Arab, kita kembali ke pola lama. Bahasa diajarkan sebagai aturan, bukan sebagai makna.

Anak-anak menghafal tenses, mengisi lembar irregular verbs, tetapi tidak membaca buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Inggris, sehingga mereka tidak terbiasa mengakses pengetahuan dunia. Di pesantren, santri sangat piawai mengurai nahwu dan sharaf, tetapi tidak mampu menggali pesan moral, nilai filsafat, atau kedalaman tafsir Al-Qur'an. Bahasa berhenti di bibir, tidak pernah sampai ke nalar.

Akibatnya sangat besar. Indonesia kesulitan mengakses ilmu global karena gerbangnya adalah bahasa Inggris. Dalam waktu yang sama, umat Islam di Indonesia kesulitan menggali kedalaman makna Al-Qur'an karena bahasa Arabnya tidak hidup sebagai alat pemikiran. Kita melahirkan generasi yang cerdas menghafal tetapi tidak kuat bernalar, rajin mengulang tetapi tidak mampu mencipta, baik dalam imitasi tetapi lemah dalam inovasi.

Jika Indonesia ingin menjadi bangsa penemu dan bukan sekadar bangsa pemakai, revolusi pembelajaran bahasa adalah syarat utama. Bahasa Inggris perlu diajarkan sebagai alat memahami ilmu pengetahuan.

Bahasa Arab perlu diajarkan sebagai alat memaknai wahyu dan tradisi intelektual Islam. Ketika bahasa menjadi alat berpikir, anak-anak tidak hanya menerjemahkan, tetapi mampu menafsirkan, mengkritik, dan menciptakan gagasan baru. Pada titik itu pendidikan tidak lagi melahirkan penghafal, tetapi melahirkan ilmuwan.

Transformasi ini memerlukan peran guru yang sangat besar. Guru bahasa tidak cukup menjadi pengawas tata bahasa. Guru harus menjadi fasilitator cara berpikir. Agar itu terjadi, guru sendiri harus mendapat pelatihan baru. Pelatihan yang menekankan meaning-based learning, membaca buku ilmiah dalam bahasa Inggris dan Arab, menulis argumen, serta berdiskusi. Terutama pada mata pelajaran STEM, yaitu sains, teknologi, teknik, dan matematika.

Sejak usia dini, pembelajaran matematika dan sains seharusnya mulai diantarkan dalam bahasa Inggris. Idealnya ketika anak mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, mereka juga membaca dan menulis awal dalam bahasa Inggris. Dengan cara itu mereka tidak sekadar menghafal kosakata, tetapi langsung mengakses pengetahuan dunia.

Model seperti ini bukan angan-angan. Ini bukan eksperimen teori. Praktek ini sudah dilakukan di sekolah-sekolah swasta di kota-kota besar. Sekolah yang sering menyebut dirinya nasional plus telah lama menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran STEM. Hasilnya terlihat. Siswa mereka tumbuh lebih percaya diri, lebih terbuka pada dunia, dan lebih mudah memahami buku akademik internasional. Mereka tetap berbahasa Indonesia dengan baik, tetap mengenal budaya lokal, tetapi memiliki kunci untuk membuka pintu pengetahuan global.

Pendekatan seperti ini juga bukan hal baru dalam sejarah dunia. Singapura adalah contoh nyata. Negara kecil itu menjadikan bahasa Inggris sebagai working language, tanpa mencabut atau mematikan bahasa ibu warganya.

Generasi Singapura tetap mampu berbahasa Mandarin, Tamil, atau Melayu, tetapi bahasa Inggris menjadi bahasa pendidikan, bahasa kerja, dan bahasa ilmu pengetahuan. Itulah alasan Singapura berhasil memproduksi tenaga profesional kelas dunia dalam jumlah besar. Indonesia dapat melakukan hal yang sama. Bahasa Inggris tidak perlu menjadi ancaman bagi bahasa ibu, tetapi menjadi jembatan menuju masa depan global.

Dalam konteks budaya populer, kita juga melihat fenomena bahasa Inggris ala Jaksel. Selama ini ia sering dicemooh sebagai pengkhianatan budaya, padahal fenomena itu justru menunjukkan tumbuhnya generasi bilingual dan bahkan multilingual.

Alih-alih mengejek, kita seharusnya melihatnya sebagai fase transisi menuju kelas menengah global. Generasi yang berbicara dengan campuran bahasa bukan sedang meninggalkan Indonesia, tetapi sedang membangun kemampuan baru untuk hidup di dunia yang semakin terhubung lintas negara. Ini adalah modal masa depan.

Pada titik ini, peran presiden akan sangat menentukan. Presiden Prabowo memiliki waktu sepuluh tahun ke depan untuk memimpin transformasi ini. Ia bahkan dapat mencontohkan pada dirinya sendiri. Penguasaannya atas bahasa Inggris tidak pernah membuatnya kurang Indonesia. Ia tumbuh dalam keluarga yang multibahasa, belajar di American School in London, dan sejak muda terbiasa membaca literatur dunia dalam bahasa Inggris.

Ketika masuk Akademi Militer, ia bahkan belum sepenuhnya fasih berbahasa Indonesia. Pelan-pelan ia mempelajarinya melalui disiplin pendidikan dan lingkungan militer. Hasilnya terlihat sampai hari ini. Ia dapat berpidato dalam bahasa Inggris dengan indah dan berargumen dalam bahasa Indonesia dengan runtut. Prabowo adalah contoh konkret bahwa menguasai bahasa dunia tidak berarti menghilang dari identitas bangsa. Justru melalui kemampuan berbahasa asing, ia terhubung dengan dunia, dan dengan bahasa Indonesia, ia terhubung dengan rakyatnya.

Karena itu, Presiden Prabowo memiliki posisi moral dan historis untuk memimpin revolusi ini. Bukan sekadar berbicara tentang perubahan, tetapi menjadi contoh hidup dari perubahan itu sendiri. Jika pembelajaran bahasa Inggris dan STEM dalam bahasa Inggris diterapkan secara nasional, Indonesia akan melahirkan generasi baru yang tidak hanya menghafal teori, tetapi menghasilkan gagasan. Mereka tidak hanya mengikuti arus pengetahuan dunia, tetapi ikut menciptakan arusnya.

Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang kuat tidak dibangun oleh penghafal, tetapi oleh penemu. Manusia tidak berpikir dengan suara. Manusia berpikir dengan makna. Dan bangsa yang ingin maju tidak boleh berhenti pada hafalan. Bangsa itu harus menjadikan bahasa sebagai mesin berpikir, sebagai pintu menuju ilmu, dan sebagai jembatan masa depan.


Miftah Sabri. Pendiri Akademi Kader Bangsa.

(rdp/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads